CakNun.com

Nandur Pinaringan Syafaate Kanjeng Nabi

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Berkeliling ke mana-mana, sejak dahulu kala, dengan segala tantangan dan perjuangannya terutama di era Hamas dan MiniKanjeng, untuk mengajak orang bershalawat, mencipta perdamaiaan sesama rakyat dan manusia, serta agar siapapun senang berbuat baik untuk kebersamaan bersama, bagi KiaiKanjeng perjalanan itu dirasakan dan diyakini sebagai sebuah laku “nandur” atau menanam.

Mungkin tidak bisa diformulasikan secara skematis sedari awal nandur atau menanam apa akan panen apa, bagaikan orang pelit berhitung. Tidak. Bahkan tidak perlu dan tidak pantas berkalkulasi seperti itu. Kalaulah ada bolehlah perasaan dan keyakinan kuat bahwa mosok nglakoni ngene iki ora bakal cukul opo-opo suk-suk

Karena dasarnya adalah menjalankan perintah Allah untuk bershalawat kepada Kanjeng Nabi dan percaya akan hak prerogatifnya untuk memberikan pertolongan atau syafaat umatnya. Dasar lainnya adalah mencintai dan mengikuti Kanjeng Nabi karena Allah meminta kepada Kanjeng Nabi untuk mengingatkan umatnya bahwa, “jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu juga.”

Pada mulanya tentu adalah gelap, laylan, dan tak tahu akan gimana-gimana yang bakal terjadi. Pokoknya berjalan dan berjalan. Itu barangkali tampaknya justru yang terbaik. Mengapa? Karena Allah lebih tahu apa-apa yang kita butuhkan melebihi yang kita mampu bayangkan. Maka kalkulasi tadi kurang ada artinya, karena Allah ternyata lebih keren perhitungannya. Setapak demi setapak seiring perjalanan yang dilakoninya, KiaiKanjeng sendiri membuktikan hal itu.

Maka berdasarkan keyakinan dan pengalaman itu, Cak Nun kerap mengingatkan ibu-ibu bapak-bapak di kampung-kampung dan desa-desa yang diajak bershalawat bahwa hidup anda diberi kemudahan, punya hutang bisa mbayar, pendidikan anak-anak lancar, jualan laku, keluarga sakit dianugerahi kesembuhan, kesulitan dijawab kemudahan, semua itu adalah wujud nyata syafaatnya Kanjeng Nabi.

Ini sedikit berbeda dengan sebagian redaksi pernyataan opening ustadz saat berceramah atau MC saat memulai acara, “marilah kita haturkan pula shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw dengan harapan kita mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti.” Intinya, menurut Cak Nun, syafaat Kanjeng itu ya di dunia maupun akhirat.

Now, dari ranah dunia sehari-hari yang menyangkut dan menyentuh hajat normal kehidupan kebanyakan kita, saya harus cuplik sedikit pengalaman yang dialami salah seorang personel senior KiaiKanjeng, dan konklusinya bukan dinyatakan oleh beliau sendiri, tetapi malahan oleh orang lain.

Beberapa tahun lalu, si anak putri dari beliau ini lulus kuliah dan berencana ndaftar CPNS untuk formasi guru musik. Ada dua peluang. Satu di salah satu sekolah kejuruan kesenian di Yogyakarta (wilayah DIY), dan satu lagi ada di Magelang (wilayah Jateng). Dua-duanya coba dia masukkan aplikasi pendaftaran, dengan perhitungan masih ada harapan diterima di Magelang. Pasalnya, di sekolah yang Jogja itu terdapat pesaing berat yaitu kakak kelasnya yang prestasi dan skill-nya sangat mumpuni, bahkan bisa menang kalau duel sama dosennya ketika masih kuliah. IP-nya tinggi, dan laki-laki pula.

Tibalah saat pengumuman. Subuh itu dia buka pengumuman online, dan alhamdulillah di luar dugaan, dia justru diterima di dua sekolah itu. Jogja maupun Magelang. Tapi jelas salah satu harus dipilih. Jogja tentu yang dipilih sesuai keinginan awal. Maka langkah selanjutnya, dia harus mencabut berkas diterimanya sebagai guru di Magelang. Sebab kalau tidak segera dicabut akan dikenai denda administratif cukup besar sekitar sampai lima belas jutaan.

Hari itu juga beliau dan anak putrinya meluncur ke Magelang. Sampai di sana, tak terlalu lama menunggu, akhirnya beliau dipersilakan masuk ke ruangan Kepala Staf yang akan menandatanani berkas pengunduran diri itu. Belum tuntas mengutarakan maksud kedatangannya, Kepala Staf tadi tiba-tiba memotong omongan beliau, ”Sebentar-sebentar… saya kok tidak asing dengan Panjenengan…”

Awalnya beliau pikir apa Kepala Staf mungkin kerabat saudara dari istrinya atau siapa gitu yang memang kebetulan banyak saudara istrinya yang tinggal di Magelang. Lalu dia tanya balik, “Lha Bapak pernah lihat atau ketemu saya di mana, ya Pak? Kemudian ingatan Pak kepala staf mengerucut, “Kalau nggak salah Panjenengan salah satu yang main di grupnya Cak Nun…” Begitulah, akhirnya jelas siapa orang yang sedang bicara kepadanya.

Sembari pengunduran diri anaknya diproses, obrolan pun lalu menjadi lebih akrab dan dekat. Dan menjawab penasaran beliau, Pak kepala staf ini bercerita bahwa dia dulu adalah adalah salah satu tim penentu pemrakarsa di instansinya yang mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng saat itu di kantor Pemda Magelang di Mungkid Mendut beberapa tahun sebelumnya.

Saat mau pamit karena berkas sudah selesai ditandatangai, kepala staf mengatakan kepada beliau, “Wah Mas aku ora gumun nek putrane ketampa loro-lorone neng Jogja karo neng kene… yo mesti wae kui hasile tirakat bareng Cak Nun… kaparingan syafaate Kanjeng Nabi.” Wah mas saya tidak heran kalau anaknya keterima di dua tempat, di Jogja dan di sini… ini karena syafaatnya Kanjeng Nabi.

Detik itu juga beliau terperanjat, kaget, dan sedikit demi sedikit tersadar. Sadar akan betapa nyata syafaat Kanjeng Nabi. Sadar akan syafaat Kanjeng Nabi yang tidak pernah dia sangka kapan diparingi atau kapan datangnya. Putri semata wayang almarhum Pakde Zaenuri, sahabat karib Cak Nun sejak remaja dan setia menemani perjalanan KiaiKanjeng, juga mengalami hal yang sama persis yaitu diterima CPNS di dua tempat. Namun itu satu contoh kecil saja. Dalam bentuk-bentuk beragam, Bapak-bapak KiaiKanjeng lainnya membukukan pengalaman masing-masing.

Sedemikian kuat dan nyata semua itu terjadi di depan mata, sampai-sampai ketika berbincang tentang berbagai peran yang dilakukan Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam lapangan sosial yang lebih besar di dalam masyarakat, misalnya dalam turut melerai konflik etnik Dayak-Madura di empat kota Kalbar yaitu Pontianak, Rasaujaya, Mempawah, dan Sanggau pada 2001, beliau yang saya ceritakan tadi responsnya cuma satu ketika saya tanya bagaimana solusi dan manfaat itu bisa dicapai, “Semua karena shalawat dan syafaat Kanjeng Nabi, Mas.”

Yogyakarta, 17 Februari 2018

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa

Topik