CakNun.com

Nandur Benih Kemesraan Pada Titik Embun Kalimasada

Reportase Sarasehan Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada, 1 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

“Jangan samakan Islam dengan Ummat Islam,” sekali lagi Mbah Nun tambahkan. Itu pun dibubuhi pula dengan tantangan Mbah Nun agar para akademisi sebaiknya juga meneliti apakah Islam yang sekarang kita terima ini adalah Islam versi Muhammad Saw ataukah versi satu-dua abad pasca Muhammad secara fisik di Mekkah-Madinah? Beberapa peserta berceletuk, “Rasanya sih bukan Islamnya Muhammad sekarang ini.” Tapi Mbah Nun meminta agar waspada dulu, dicari dulu, diteliti dan ditelaah. “Pilihan pertama adalah anda teliti betul, atau pilihan kedua adalah wes tandang ae wes. Bismillah, kerjakan.”

Adalah masuk akal kalau kita coba mereka-reka dalam pikiran bahwa segala proyek pengkitaban baru terjadi setelah generasi Muawwiyah dan itulah yang menjadi cara pandang kita terhadap Islam. Sementara pada era itu, secara kebudayaan, sastra dan cita rasa pandangan budayanya sudah terserap Persia dan Romawi. Persia yang selalu punya tradisi sufistik yang agak romantis soal spiritualitas dan Romawi penuh kemegahan-kemegahan dan keteraturan.

Budaya Islam (kalau mau disebut begitu) kala itu sedang dominan. Jangan kita kira bahwa hanya yang budaya dominan yang mempengaruhi yang di bawahnya, tidak. Justru sering terjadi budaya dominanlah paling terpengaruh oleh yang dia dominasi. Kalau mau contoh dialektisnya, itu seperti kalau kita bermain dengan anak kecil yang belum bisa bicara. Otomatis si bocah ingin meniru kita yang dianggapnya lebih berkuasa, tapi dengan keterbatasan struktur otot wajah yang dia miliki sehingga justru mimik ekspresi yang muncul malah khas. Itu sering membuat kita kepincut dengan kelucuan bocah itu lalu justru kita yang tanpa sadar meniru ekspresinya si bocah.

Begitu pula terjadi dialektika budaya dominan dan budaya sub-dominan. Jangan terlalu kepincut dengan budaya lain baik yang sedang menang maupun yang sedang kalah. Nabi Khidir As bukan psikopat yang tanpa alasan memenggal kepala bocah itu.

Mungkin analogi yang saya coba bikin itu belum benar-benar amat, tapi semoga dengan kesadaran estetis ada sesuatu yang bisa dirasakan. Mbah Nun juga membahas bahwa urusan benar-salah yang jadi kajian akademisi atau fiqih itu urusan paling bawah sedang pada puncaknya adalah sesuatu yang tidak bisa kita ukur, yakni khusyuk. Itu hal-hal yang hanya bisa dijangkau dengan roso– bukan sekadar perasaan, ini istilah yang lebih kuat tapi dia lebih di luar dari segala ukuran dan hanya yang melakukan yang bisa tahu kadarnya.

Budaya akademis sedang mendominasi dunia sekarang ini. Kita tidak anti terhadapnya tapi juga jangan kepincut amat. Dia juga budaya sendiri sebagaimana Mbah Nun sebut, “Demokrasi kan juga budaya.” Hanya tidak adilnya dunia sekarang ini adalah apa yang berada di luar jangkauan pemahamannya dilabeli dengan istilah-isitlah yang menjebak. Seperti ada istilah “local wisdom”. Bagi Mbah Nun semuanya adalah local wisdom, dan memang semua budaya perlu punya martabat sebagai pusat dunia. Orang Jawa yakin bahwa dia adalah pusat peradaban, orang Eropa juga. Orang Skandinavia, orang Arab, orang Amerika semua saja merasa dirinya adalah kebudayaan tinggi dan tidak perlu ribut. “Semuanya merasa pusat bumi ndak apa, karena bumi itu bulat maka semua berhak merasa sentral,” kata Mbah Nun.

Dr. Nasir Tamara saat kembali menyambungkan dengan materi-materi yang lebih akdemis dan ilmiah, ditambah dengan pengalaman-pengalaman beliau melanglang buana ke berbagai tempat sempat sempat berkata, “Mendengarkan Cak Nun bagi saya seperti merasakan Ibn Arabi.”

Sebuah selebaran dibagikan pada para peserta dan wartawan yang hadir. Satu lembar copy-an dari Harian Pandji Poestaka bertanggal 10 Oktober 1943 hal 20. Dari sini kita tahu bahwa ide membentuk lembaga kebudayaan ternyata telah lama digagas oleh para pendiri UII dan perlu puluhan tahun untuk kembali menseriusi ide tersebut.

Acara berakhir pda pukul 12.30 WIB. Semangat baru telah tumbuh, Mbah Nun malam nanti akan kembali bersama warga di tempat yang berbeda pada dimensi yang lain.

Semuanya adalah ikhtiar menabur, menanam, menyemai benih. Perjuangan tanpa henti menuju peradaban yang penuh kegembiraan dan gemilang keilmuan. Kita harus pede bahwa kita ini adalah produk budaya terbaik dan akan melahirkan budaya-budaya paling luhur ke depan. Budaya kita adalah yang terbaik karena budaya lain juga sama the best-nya.

“Semoga Allah meridhoi…” saya hampir menyanyikan Hymne UII lagi, tapi semoga Allah meridhoi kita semua. Amin.

Lainnya

Topik