CakNun.com

Nandur Benih Kemesraan Pada Titik Embun Kalimasada

Reportase Sarasehan Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada, 1 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Nama “Embun Kalimasada” memang terdengar unik, kesan kegagahan Kalimasada sang pusaka pamungkas pandawa itu disandingkan dengan embun yang menitik-nitik di pagi hari. Mbah Nun menyebut bahwa ini bermakna estetis. Kebudayaan yang dimaksud juga sebenarnya adalah soal estetika. “Jadi bukan UII ini dulu tidak berbudaya kemudian baru sekarang ingin berkebudayaa, ndak. Semuanya itu budaya hanya sekarang lebih empasis ke makna yang lebih estetika,” begitu Mbah Nun sampaikan.

Mbah Nun juga sampaikan bahwa manusia modern ini penyakitnya adalah kurang jangkep. Sering inginnya melihat sesuatu secara sepotong-sepotong tanpa ada usaha melengkapi sudut, jarak, sisi hingga resolusi pandang. “Yang saya berikan sekarang ini ada satu ajuan cara pandang,” ungkap Mbah Nun.

Kutipan ayat “Walaa tai`asu min rauhillah...” dijadikan Mbah Nun sebagai pengantar pertama. Tapi sambung beliau, “Putus asa itu wajib, kalau melihat Indonesia sekarang ini anda tidak putus asa berarti anda tidak punya otak. Tapi tidak boleh putus asa pada ridho Allah.”

Secara nalar, kognitif dan akademis menurut Mbah Nun akan sangat wajar orang putus asa melihat keadaan Indonesia seperti ini tapi kalau kita dekati dengan pendekatan estetika apalagi ditambah kesadaran “fal ya’budu robba haadzal bait” bahwa semuanya ini adalah bentuk pengabdian pada Robb yang Mengayomi Bait maka semangat perjuangan, ghiroh jihad itu akan terus menyala-nyala saja adanya.

Dari persentuhan Mbah Nun yang intens dengan berbagai jenis rakyat dan masyarakat Mbah Nun mendapat kesimpulan bahwa kekuatan utama bangsa ini bukan pada pemerintahannya yang selalu gagal membedakan dirinya dengan negara, bukan pada intelektualnya, juga tidak pada modal kekayaan belaka. Tapi justru pada keliaran dan kedaulatan manusia-manusianya yang itu masih terdapat pada semangat kaki lima, warga desa, jelata dan orang-orang yang dianggap kecil selama ini. Dan sekali lagi Mbah Nun sebutkan, generasi baru yang sedang tumbuh jelas akan membawa perubahan paradigma ke depannya.

Budaya, disebut oleh Mbah Nun dalam bahasa arab “Ats-Tsaqofah” dan apa yang dihasilkan oleh Muhammad Saw bersama Masyarakat Madinah kala itu yang kita artikan dengan “Piagam Madinah” sebenarnya dalam bahasa Arab disebut Ats-Tsaqafah al-Madinah. “Madinah” juga berarti budaya, dalam lingkup yang lebih luas artinya peradaban. Jadi Rasulullah saat itu sedang mendialektiskan budaya-peradaban dan peradaban-kebudayaan. Mbah Nun mengajak para hadirin untuk berani berpikir lebih berdaulat, keluar dari keterkungkungan dan fakultatif. Fakultas perlu sebagai pengantar menuju universalitas tapi bukan dinding sekat pembatas keilmuan. Kita diajak untuk berpikir lebih holistik dan komperhensif.

Saat sesi tanya jawab, berbagai pertanyaan diajukan dan Mbah Nun merangkum semua pertanyaan itu menjadi satu kesatuan bahasan, dari bagaimana kondisi Islam yang sekarang apakah sedang mengalami kemunduran ataukah tolok ukur peradabannya yang salah? Kemudian persambungan tema “Masjid, Pasar dan Strategi” hingga pilihan UII untuk menjadi kampus kelas internasional dengan standar-standar akreditasi serta berbagai tolok ukurnya apakah itu berarti kita tunduk pada aturan budaya yang dominan. Untuk yang terakhir ini saya rasa perlu dikhususkan sedikit, Mbah Nun menjawab singkat bahwa tidak apa untuk turut dalam ukuran dan standar internasional, yang perlu dihindari adalah kalau ukuran-ukuran itu terlalu meresap ke dalam hati dan pikiran.

Saya rasa itu terjadi pada banyak kita sekarang. Kita terlalu membatinkan banyak hal. Kalau dalam fiqih anjing itu haram dan najis, itu tidak berarti kita harus benci sama anjing. Kalau ada organisasi yang dilarang oleh negara, itu tidak berarti kita harus ikut membenci dan memusuhinya. Mbah Nun sempat menguraikan keruwetan konflik antar ormas belakangan ini, karena dilandasi rasa ridak aman satu sama lain, kecemasan eksistensi, juga kesalahkaprahan pandang.

Bagi Mbah Nun semua bermuara pada pertanyaan “Siapkah anda me-Muhammadkan diri? Kalau ndak juga ndak apa, tapi ya jangan jelek-jelek amatlah,” tentu Mbah Nun membawa bahasan jadi cair dan penuh mesra canda tawa. Tapi pernyataan ini bagi saya sangat saya garis tebalkan. Sangat membekas, kenapa? Karena kalau boleh saya tambahkan sedikit pembacaan kondisi, kita sekarang sedang berada pada era ketanggungan berbagai bidang. Mau ekstrim perubahan tapi tetap mapan dengan kondisi. Mau bicara akademis tapi ranah-ranah bahasan serta batasannya juga sering kelewat. Sekalinya bicara agama justru pakai narasi akademis yang soal salah-benar. Apa-apa sekarang serba tanggung dan bagi saya kalimat Mbah Nun tadi benar-benar merangkum apa yang terjadi di zaman ini.

Lainnya

Topik