CakNun.com

Nada Dasar Kehidupan

Dhobby Saputra
Waktu baca ± 4 menit

Manusia mengalami kesadaran nafas dan gerak yang berlaku saat ini, sekon ini. Satu detik, satu jam, satu hari yang lalu dan seterusnya merupakan bagian dari masa silam. Manusia berada pada getaran allhamdulillah dan astaghfirullah.

Sedangkan satu detik, satu hari, satu bulan, satu tahun ke depan dan seterusnya bagi manusia merupakan harapan bahkan mungkin cita-cita. Sedangkan yang berlaku di keseluruhan itu adalah kehendak Allah, kun fayakun, berlangsunglah. Allah memuat masa silam, masa kini dan masa depan. Muta’alimul ghoib was syahadah. Allah lebih besar dari pada ruang dan waktu yang diciptakan-Nya.

Manusia hanya mampu pada “nada dasar” muhasabah, simulasi, pertimbangan, berjuang, berusaha, waspada serta menyandarkan harapan kepada Allah karena “urip ming mugo-mugo”, hanggayuh kasampurnaning urip, ngudi sejatining becik dan Ihdinash shirothol mustaqim.

Masa kini, masa depan tidak berlaku begitu saja tanpa ada keterkaitan dengan masa lampau. Begitu juga dengan do-re-mi-fa-sol- la-si. Kunci D mayor disebut Re karena Do-nya adalah kunci C mayor. Semua dalam hubungan sebab-akibat yang Allah sendiri memerdekakan manusia untuk memilih pijakan kehidupan dengan bekal akal dan hati.

Tidak ada hal yang tidak terkait dalam metabolisme kehidupan ini. Air mengalir karena syariat Allah. Mengalir dari tempat yang lebih tinggi mengalir ke tempat yang lebih rendah. Pohon tumbuh dan berbuah tak lepas dari hubungannya dengan air, tata kosmos keseimbangan tanah, karbondioksida, cahaya matahari, dan cuaca. Begitupun manusia, tidak bisa lepas begitu saja dari hubungan dengan orang tua dan mbah-mbahnya.

Mikul dhuwur mendhem jero merupakan salah satu khazanah Jawa sebagai pepéling, pengingat kita agar senantiasa menghargai kebaikan-kebaikan orang tua dan mbah-mbah kita.

Mbah Nun sendiri sering berpesan agar kita menghargai pendahulu kita. Jangan sampai orang-orang besar yang kita miliki hanya lewat begitu saja tanpa kita maknai.

***

14 Januari 2018, kakek saya dipanggil oleh Allah Swt menuju ke tahap kehidupan selanjutnya setelah hampir 85 tahun menjalani kehidupan di dunia. Selain ibu dan ayah, bagi saya beliau merupakan seorang pahlawan yang sangat berpengaruh dalam sejarah hidup saya.

Kedua orang tua saya berhijrah ke luar kota ketika saya dan adik kandung saya masih duduk di bangku SMP. Ketika itu kakek saya lah yang mengasuh, membimbing, merawat dan memperhatikan tumbuh kembang kami hingga kami lulus sekolah hingga mulai bekerja.

Saya merasakan bahwa semasa hidupnya di dunia, beliau adalah seseorang yang mampu berada di beberapa nada dasar kehidupan. Beliau adalah kekasih Allah yang diberi fadlilah dalam membimbing anak-cucunya dengan kesabaran, bil hikmah, kebijaksanaan. Bagi saya pribadi, beliau bukan hanya sebagai seorang kakek, namun juga sosok yang mampu berada pada koordinat posisi sebagai ayah, ibu, bahkan guru.

Nada Do dalam hidupnya mampu di kunci C, D, E, F maupun G. Selain perannya dalam keluarga, beliau juga mempunyai riwayat sebagai pelatih sepak bola dan perintis berdirinya SMK di desa saya.

Seorang gitaris tidak serta merta memainkan nada dasar dengan kunci gitarnya tanpa memperhatikan suara vokalisnya terlebih dahulu. Jika Do-nya penyanyi adalah C, tapi gitaris pengiringnya memainkan Do-nya pada E, mungkin seorang penyanyi akan kesulitan ketika bernyanyi di nada-nada tertentu: “suarane ora tekan”.

Begitu pun juga hubungan antara karyawan dengan perusahaan, pemerintah dengan rakyat, dan sebaliknya. Nada dasar keputusan langkah dan solusi permasalahan, faktornya bukan hanya benar tapi harus bijaksana, tepat atau pener. Ketika seseorang menjadi pejabat pemerintahan, “nada dasar” dan orientasinya bukan hanya sanak keluarganya, melainkan pada seluruh rakyat dan alam semesta.

Si “A” dan Si “B” menjabat menjadi kepala desa di daerahnya masing-masing. Keduanya berposisi sama menjadi kepala desa, namun bisa dikatakan berbeda ketika Si “A” tujuannya menjadi kepala desa adalah mengabdi kepada rakyat dan Si “B” tujuannya adalah karier atau profesi.

Si “Y” dan Si “Z” menjabat menjadi anggota DPRD di komisi C yang kemudian menjalankan proyek pembangunan jalan di wilayahnya masing-masing. Teriakan atau yel-yelnya di panggung masyarakat yaitu “untuk rakyat”.

Si “Y” menjalankan proyek itu dengan tujuan dan harapan agar masyarakat mudah menjangkau tujuan dengan akses jalan yang dibangun, namun berbeda lagi dengan Si “Z” ketika menjalankan proyek itu dengan harapan agar mendapatkan sempalan dana proyek.

Indonesia kaya akan budaya, keberagaman, tambang, kualitas tanah, komponen laut seperti halnya ketika Pak Yon Koeswoyo menyanyikan bagian lirik lagu “…Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu…”.

Nada dasar pijakan Indonesia sudah tepat ketika mensyukuri apa yang dianugerahkan Allah terhadap Indonesia. “Do” Indonesia sudah pener ketika percaya diri sebagai dirinya. Garuda terbang sebagai garuda, bukan sebagai emprit. Indonesia adalah “negara besar”, toh Indonesia tidak akan membesari, sombong, mentakaburi dan meremehkan negara yang lain. Mbah Nun sering menyampaikan bahwa bangsa ini adalah pemangku sekaligus pengayom.

Namun negara besar dan kaya yang dianugerahkan Allah terhadap Indonesia bisa kurang berarti ketika acuannya bukan sebagai garuda itu sendiri. Ketidakpercayaan diri sebagai dirinya. Mudah mengadopsi mindset luar negeri yang membuat garuda tersebut “salah terkam”. Berkapasitas kemampuan bermain futsal namun mengikuti pertandingan sepak bola. Atau justru ahli bermain tenis lapangan namun malah mengikuti pertandingan tenis meja.

Burung apapun jenisnya tidak akan memakan sesuatu melebihi kapasitas temboloknya walaupun makanan itu ialah makanan yang paling ia sukai. Banyak burung penthet sangat suka memakan jangkrik. Namun jika ia rasa cukup, penthet itu tidak akan memakan jangkrik yang lainnya.

Bahkan ketika induk penthet tersebut mempunyai anak, ia akan lebih mengutamakan konsumsi anaknya dengan ngloloh, daripada kepentingan rasa cukup pada kapasitas tembolok induk penthet itu sendiri.

***

Suatu ketika almarhum kakek saya pernah membawa satu bingkisan berisi ayam bakar kemudian diberikan kepada saya. Tentu saya pun menerima dengan senang hati. Beberapa saat kemudian, saya pun mencoba menawarkan kembali bingkisan itu kepada beliau, “Kagem njenengan mawon kung.” Buat jenengan saja mbah.

Beliau menjawab, “Umurku luwih tuwo dibanding kowe, berarti jumlah ayam bakar sing tak maem luwih okeh dibanding kowe sing ijek enom.” Umur saya lebih tua dibanding kamu, berarti jumlah ayam bakar yang saya makan lebih banyak daripada kamu yang masih muda.

Dialog itu terjadi kira-kira 10 tahun yang lalu. Kadang saya berpikir jangan-jangan ada yang tersirat di dalamnya terhadap atsmosfer kemajuan zaman dalam hubungan dengan anak-cucu ketika menjalani pembangunan.

Misalnya terhadap simulasi masa depan terhadap anak-cucu kita mengenai dampak pembangunan. Yang tadinya merupakan lahan pertanian kemudian digantikan dengan pembangunan gedung-gedung. Yang di sisi lain anak-cucu kita juga membutuhkan lahan bercocok tanam namun jumlah populasi penduduknya semakin bertambah. Sudah tepat kah “Do” kita dalam bekehidupan berbangsa? Sudah bijaksanakah nada dasar yang kita jalankan terhadap daya dan kemampuan seluruh komponen bangsa?

Cikarang, 24 Januari 2018

Lainnya