Nabi Kok Jin, Jin Kok Nabi
Pastilah Allah Maha Tahu dan Maha Perancang Agung atas segala sesuatu sampai detail. Empat anak muda itu pernah bergurau kepada Para Pakdenya: “Bayangkan kalau ummat manusia yang menurut Tuhan ‘kebanyakan mereka tidak menggunakan akal’ ini dikasih Nabi dari kalangan Kaum Jin”.
Tidak bisa dibayangkan betapa alotnya manusia untuk bergerak menuju iman. Betapa banyaknya manusia yang kufur kepada Tuhan. Semua Nabi dan Rasul ditentukan oleh Allah dari kalangan manusia sendiri saja ummat manusia rewelnya bukan main. Manusia Muhammad yang begitu lembut dan bijaksana saja diejek-ejek, dihina, di-bully, dikarikatur-karikaturkan dengan penuh gambaran buruk.
Maka Maha Agung Allah yang mengambil keputusan bahwa makhluk Jin dan manusia dipimpin oleh Nabi dari golongan manusia. Dan syukur kepada-Nya bahwa masyarakat Jin “mengalah” dengan keputusan itu. Maksudnya, Jin tidak lantas cemburu, dengki, mengamuk, melakukan demonstrasi menuntut keadilan Allah dst.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata” [1] (Al-An’am: 59).
Maka kalau masyarakat Jin, sekurang-kurangnya sebagian dari mereka sangat menikmati menabikan Muhammad Saw dan memedomani Al-Qur`an—sebagaimana yang mereka saksikan di telaga kaca itu—tidaklah mengherankan dan memang jelas hulu-hilirnya. “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” [2] (Adz-Dzariyat: 56).
Akan tetapi kalau para jamaah di telaga kaca itu meriah melantunkan “Thala’al Badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’, wajabasy-syukru ‘alaina, ma da’a lillahi Da’. Ayyuhal Mab’utsu fina, ji`ta bil amril mutho’...”—bagaimana asal usulnya? Itu kan lagu gembira penduduk kota Madinah menyambut kedatangan Rasulullah saw yang berhijrah dari Mekah dan mereka siap menjadi Kaum Anshor di Madinah.
Seger, meskipun sedang berada di suatu dimensi alam dan mengalami sesuatu yang ia belum paham, pikirannya tetap berputar. Seger, sebagaimana juga Junit, Jitul dan Toling, mungkin karena interaksinya dengan para Pakde: tradisi berpikirnya menjadi “kurang normal”. Boleh disebut nakal, liar, aneh, atau kreatif dan kritis. Terserah saja. Tergantung sangka baik atau sangka buruk orang lain kepada mereka.
Seger berpikir: yang disambut dengan kegembiraan dan penuh syukur itu Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, ataukah Muhammad sebagai Sesepuh, Pengayom atau tokoh masyarakat dalam arti umum, tanpa terkait dengan keimanan dan tauhid? Tanpa berhubungan dengan apa yang sekarang kita sebut ‘Agama Islam’? Apakah mereka yang mengelu-elukan beliau itu Kaum Muslimin semua? Ataukah, yang menyambut beliau itu bukan hanya Kaum Muslimin, melainkan ada juga yang Yahudi, Nasrani, Animis, Abangan? Seger tak bisa menjawabnya. Ia hanya mencatatnya.
“Ayyuhal mab’utsu fina”, yang diutus kepada kami—itu kami Ummat Islam, atau kami masyarakat heterogen kota Yatsrib? “Ji`ta bil amril mutho’”, engkau datang dengan urusan yang ditaati: itu nilai-nilai Islam ataukah soal-soal penataan sosial, ekonomi dan kebudayaan dalam arti universal?.
Yogya, 25 Februari 2018