Muslih Berorganisasi, Saleh Bernegara
“Kalau sudah ayu jangan diayu-ayukno ndak malah kemayu. Kamu itu sudah bagus ndak usah dibagus-bagusno ndak malah kembagus. Itu yang namanya tawadlu, andap asor”.
Bolehkah kita mensimulasi dengan sedikit imajinatif uraian Mbah Nun ini menjadi: “Kita sudah ber-Islam, sudah Nusantara. Jadi tidak perlu di…” Wah, agak susah membahasa-indonesiakan pembahasan awal yang dijadikan beberan kloso oleh Mbah Nun ini.
Benar, hal ini dan beberapa hal lainnya benar-benar disebut oleh Mbah Nun sebagai pembeberan kloso, sehingga seiring berjalannya gelar Sinau Bareng pada Rabu malam 5 September 2018 M di Lapangan Lonjong Glagah, Lamongan, para hadirin dan hadirat yang terdiri dari berbagai lapis kelas, usia dan golongan, tak terasa telah mantap hati dan pikiran untuk menerima sajian-sajian yang dihidangkan di atas kloso konteks tersebut. Kalau kloso konteks ini dicabut apalagi dengan semena-mena, maka tentu buyarlah segala hidangan di atasnya, bukan? Maka jangan sampai hilang kloso, konteks.
Beberan kloso ini cukup luas dan jembar sehingga setiap kita bisa datang dan merasa diterima. Banyak konflik yang terjadi di masyarakat kita. Walau variannya selalu berbeda, tapi sering karena lupa soal seni membeber kloso ini. Sayangnya pada teknik komunikasi manusia modern dan pasca modern ini, teknik membeber kloso nampak makin asing saja.
Perluasan kloso ini kemudian sampai pula pada bahasan mendasar mengenai cara berpikir organisasi. Terlanjurnya kita sedang hidup pada organisasi besar bernama negara, bahwa nanti akan seperti apa dan misal apakah negara, masih akan ada atau tidak, itu lain soal. Tapi untuk sekarang, cara berpikir organisasi ini nampaknya memang sangat urgent untuk dielaborasi.
Sebab, walau mendaku diri telah hidup bernegara selama 73 tahun, namun rupanya NKRI ini tidak benar-benar punya usaha yang maksimal untuk memberi pemahaman pada manusia yang ternaung di dalamnya mengenai apa dan bagaimana sebenarnya hidup berorganisasi apalagi bernegara itu. Bila ini terjadi pada pemerintah Hindia-Belanda, maka itu wajar. Karena konsep mereka jelas. Yakni konsep negara perusahaan yang orientasinya pada peningkatan produksi ekonomi, cukup.
Jadi, tidak mengerti bagaimana bernegara dan tidak cinta pada kerajaan bagi Hindia-Belanda dianggap wajar saja, sebab rakyat adalah pekerja. Anehnya ketika sudah jadi NKRI, kesadaran ini tidak berkembang. Bahkan bisa dibilang makin parah. Sudahlah tambah tidak paham apa dan bagaimana bernegara, harus kerja demi produktifitas ekonomi negara pula. Harus ikut nasionalis lagi. Berat betul jadi orang Indonesia ini. Siapa yang menghibur hati? Kapan bergembira?
Maka kegembiraanlah yang terjadi pada pembeberan kloso tersebut. Tawa-tawa riang dengan percik keilmuan di sana-sini. Bersenang-senang yang disenangi oleh Allah Swt. Sambil begitu, Mbah Nun mengambil sampel-sampel dari ayat empiris, Al-Qur`an yang bukan mushaf tapi yang ada di sekitar dan dalam diri kita. Organisasi tubuh misalnya.
Imajinasi kita dibawa melayang-layang oleh Mbah Nun bagaimana apabila tubuh tidak diorganisir, segala sel dalam tubuh tumbuh sekenanya, tiap organ semau-maunya tanpa dibatasi syariat biologis. Bahkan membayangkan bila sesuatu dalam sarung kita itu tumbuh sekenanya higga… Pecah saja kegembiraan malam itu.
“Aku saru ta gak? Gak popo, nek saru ngomong aja. Kalau saya merasa sedang mengajakmu berpikir, berpikir itu berimajinasi, simulasi. Supaya Anda jadi muslih, jadi orang saleh. Muslih itu sesuatu kamu bikin tepat, sesuatu kamu bikin pas. Makanya islah. Maka muslih itu adalah orang yang kebaikan dan kebenarannya sudah disimulasi, sudah diurus, sudah diperhitungkan segala sesuatunya. Sehingga mudaratnya sekecil mungkin. Itu namanya saleh. Semakin rendah mudaratnya semakin tinggi tingkat kesalehannya”, urai Mbah Nun.