Muslih Berorganisasi, Saleh Bernegara
Ketepatan pikir, menjangkau kesalehan inilah yang kemudian menjadi capaian Sinau Bareng kali ini. Saleh dalam berorganisasi, dan dalam bernegara. Sudahkah kita mencobanya? Sudah pas kah positioning maqom kita dalam memandang posisi kita sebagai manusia dan sebagai warga negara? Sebagai anggota keluarga? Sebagai warga desa? Warga dunia? Atau bahkan, sebagai massa ormas? Massa parpol? Kalau memang tergabung.
Mana yang mesti menjadi prioritas pertama? Mana yang bisa dinomorduakan? Mana yang harus selalu didahulukan? Mana yang harus didahulukan terus? Mana yang bisa dan atau selalu harus dibelakangkan?
Dalam dunia yang sedang mengalami pembongkaran segala yang baku ini, pertanyaan “manusia vs negara” nampak masih menggelayut di antara bahasan para cerdik cendekia. Namun bahasan ini walau tak benar-benar diungkapkan nampaknya dibawa lebih membumi, digembirakan bahasannya tanpa spaneng meja-meja diskusi para filsuf. Diurai satu-satu di antara derai tawa dan haru. Bersama para warga desa yang oleh sementara orang akan dianggap jelata, awam, yang tak perlu berpikir tentang hal-hal semacam ini.
Ada gugatan yang menceriakan pada malam itu. Revolusi tanpa pekikan alih-alih justru dengan canda tawa dan keriangan. Sebab bukankah “A Revolution without dancing, is a revolution not worth having” kata Emma Goldman, bukan? Atau, inikah yang disebut oleh Asef Bayyat sebagai “Revolution without revolucionarees?”
Revolusi tanpa komrad-komrad dan pekik-pekik revolusioner, tanpa heroisme antagonisme, tanpa penggulingan tapi pembalikan pemahaman menuju kesejatian. Inikah?
Ada pembalikan itu, bisa kita lihat ketika Mbah Nun meminta hadirin secara mandiri membentuk tiga kelompok degan latar belakang sendiri-sendiri dan pengolahan masing-masing pula. Dua dari tiga kelompok, memilih nama yang oleh mainstream mungkin dianggap kurang heroik. Bahkan terkesan antagonis. Misalnya “Batara Kala”. Kelompok kedua menamakan diri “Emprit”. Barulah kelompok ketiga ada sapuan kenangan sejarah yang bukan romantisme masa lalu belaka, mereka menamakan diri “Banawa Sekar”.
Mbah Nun sedikit mengonfirmasi bahwa Batara Kala sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Dia adalah kesadaran waktu manusia Jawa. Kesadaran bahwa kita mesti selalu waspada karena akan pasti ditelan oleh sang Kala. Konsep kita mengenai waktu ini, Denys Lombard pernah menuliskan sedikit mengenai perubahan kesadaran waktu manusia Nusantara dalam bukunya yang tentu sudah konsumsi sejuta ummat itu “Nusa-Jawa Silang Budaya”. Pembaca yang budiman bisa membacanya ulang, karena yang menuliskan reportase ini sudah lupa bagian itu pada jilid dan bab yang mana.
Tiga kelompok tersebut kemudian tenggelam dalam diskusi mereka masing-masing. Sementara elaborasi keilmuan berlangsung juga dengan yang tidak di panggung. Tentu hidangan musikal KiaiKanjeng yang membawakan pelayanan kemesraan tak bisa terlupakan.
Kiai Muzammil juga tentu membantu menjelaskan perihal pemahaman mendasar organisasi. Sebenarnya sejak awal juga. Misal Kiai Muzammil menyampaikan bahwa ada dua sebutan untuk organisasi ini, yakni jam’iyyah dan an-nidhomah. Tapi untuk organisasi dengan struktur dan tujuan capaian seperti yang dibahas sekarang, nampaknya lebih erat kepada pengartian nidhomiyah. Pada saatnya nanti, Kiai Muzammil juga memberi penjelasan mengenai keorganisasian dalam NU, karena memang beliau expert pada hal tersebut.
Ternyata pada warga NU sendiri nampaknya banyak yang tidak ambil pikir dengan hal semacam ini dan tidak tahu-menahu soal keorganisasian. Memang karena basisnya dari kultur tani-desa, NU punya sisi kultural dan struktural, maka kedua hal ini perlu ada kesinambungan. Malam itu kesinambungan tersebut diusahakan sebisa-bisanya pada gelaran Sinau Bareng. Kenapa selama ini terjadi kekurangsinambungan? Itu tentu adalah pertanyaan yang perlu kita gali bersama.