CakNun.com

Monthang-Manthing

Ahmad Syaiful Basri
Waktu baca ± 2 menit

Sebagai generasi millenial, sering kali saya mengalami kebingungan tanpa ada ujungnya. Kita ini bangsa yang dahsyat sekarang menjadi terperdaya. Memang benar kita ini kumpulan manusia-manusia yang multitalent tapi sekarang serabutan mengerjakan hal-hal yang tak sesuai dengan kemampuan kita.

Kita kaya raya tapi jadi pengemis. Kita bermental tangguh tapi sekarang cengeng dan terlalu mudah terpukau. Memang benar, mudah kagum sehingga gampang dikendalikan oleh orang lain. Dan sampai hari ini kita semua hidup remang-remang bahkan gelap pekat seperti terkurung di bawah kolong jembatan.

Semakin dewasa ku bersikap semakin tak paham arti dari kehidupan. Sering ku bertanya pada diri sendiri, apakah ini yang dinamakan kehidupan. Sedangkan di Al-Qur`an surah Ar-Rahman, Allah menegur kita “Maka nikmat tuhan yang manakah yang kau dustakan”. Semakin ku mentaddabburi makna di balik ayat tersebut, semakin kacau pikiranku ini.

Melihat diri ini, di mana letak nikmat yang aku dustakan, sedangkan begitu aku lahir seperti inilah kenyataannya. Sering ku merenung dalam dimensi ketidakpahaman, aku ini termasuk salah satu orang yang diuji kah? Atau dikutuk? Termasuk orang yang dilaknat kah? Apa orang yang diazab?

Sering kali pertanyaan ini keluar dalam pikiran, dengan jawaban aahh... mungkin ini sebuah ujian untuk menjadikanku pribadi yang tangguh.

Ingin sekali aku mencurahkan kegelisahan ini namun mulutku terbungkam. Belum sempat ku menceritakan ternyata bukan aku seorang yang mengalami monthang-manthing seperti ini. Semakin ku meluaskan pandangan, semakin ku pekakan pendengaran, semakin ku tak paham arti kehidupan.

Intan permata yang bersinar di atas cakrawala ini kujadikan panutan. Laah kook... Semakin tak paham aku melihatnya saling berdalih kebenaran di antaranya.

Ketika kuamati di dalamnya sama sepertiku, bahkan banyak orang-orang yang mencari jati diri dengan bernaung kepada figur sebagai panutan. Di dalam naungan emas, intan, permata tsb. Ngeri aku melihatnya saling adu argumen, saling adu hujjah dan penafsiran. Seperti daun kering yang berserakan di mana-mana “tersapu ombak dan angin”. Daun kering yang mudah diremas dan mudah terbakar.

Terus terang membuatku semakin tak paham, apakah ini yang dinamakan kehidupan. Sedangkan suara daun kering yang berisik hanya bisa kusaksikan terus terbakar. Aku membiarkannya karna aku merasa terusik. Dan sejatinya aku mencari ketentraman, kedamaian dan ketenangan.

Tabayyun sekali lagi. Kupilah pilih emas intan berlian dan permata yang menawan, sebagai langkah filterisasi. Sehingga ku menemukan sedikit demi sedikit uraian makna kehidupan yang berserakan di dalamnya, yaitu kebenaran manusia sebatas tafsir. Dan tafsir tidak akan selalu benar, benar dan benar. Karena kebenaran yang selalu benar adalah kebenaran Allah. Kebenaran yang sejati, sehingga Aku memilih berada di antaranya tidak cenderung ke salah satu figur.

Kecemasanku, kegelisahanku ini merupakan tahapan sebuah proses, apa sebelumnya telah terwarisi dosa/kutukan leluhur? Atau mungkin doa orang-orang yang mustajab? Meninjau Daur 01 – Doaku Dosaku.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Tadabbur Pola-pola Daur Sejarah

Tadabbur Pola-pola Daur Sejarah

Ketika membaca Daur II-206 – Tiga Bencana Besar, saya mendapat pengetahuan yang benar-benar baru tentang sosok pemuda Wali Kubro.

Nurhasan Wirayuda
Nurhasan W.