Mewicaksanai Tidar Menuju Peradaban Sinau Bareng
Magelang mesra dan basah, tanggal 14 Desember 2018 M. Sinau Bareng digelar di Untidar, dari namanya kita bisa mudah saja menyimpulkan kaitannya dengan Gunung Tidar. Seharian tadi wilayah Yogya dan Magelang dinaungi mendung-mendung sendu, sejak saya dan istri sore tadi ke acara resepsi pernikahan seorang kawan di daerah Tempel, gerimis tipis-tipis selalu menemani. Mesra sekali.
Panggung berdiri dengan ukuran, jarak, dan bentuk khas Sinau Bareng yang tidak terlalu tinggi. Dibuat menengahi antara teknis panggung dan jarak yang tetap dekat. Mbah Nun beberapa kali dulu sudah jelaskan, “Supaya kalau ada yang tidak Anda setujui, Anda bisa langsung maju menginterupsi.” Sebuah dobrakan atas feodalisme pengajian dengan tahta panggung yang tak terjangkau oleh para awam. Kontur tanah kampus ini agak bergunung-gunung dan berundak-undak. Saya dan istri mengambil tempat di lapangan tennis (tampaknya) yang posisinya agak di bawah tempat panggung berada.
UNTIDAR Islamic Fair, sepertinya sudah episode ketiga, nama rangkaian kegiatan yang sedang dilangsungkan oleh adik-adik mahasiswa kita ini. Ada terasa niatan menghadirkan napas Islami di tengah embun modernitas. Para saudara-saudari mahasiswa kita ini ingin menggali nilai luhur dalam sejarah lokal mereka. Namun apa itu lokalitas? Rasanya dikotomi lokal-global makin menjadi ilusi saja, sebab apa? Karena tidak ada lokal yang tidak terpengaruh global dan tidaklah global tersusun dari lokalitas-lokalitas.
Sejak pukul 20.30 WIB KiaiKanjeng hadir menyapa para hadirin. Sinau Bareng yang hadir di kampus selalu tanpa terasa juga adalah peretakan tembok pembatas kampus dengan wilayah sekitar, juga selalu menjadi pembaur mahasiswa dan masyarakat. Coba lihat yang hadir, dari mahasiswa berpotongan aktivis yang kumal-kumal filsuf, santri-santri sarungan, ibu-ibu sudah mengambil tempat senyumannya, agar bisa melurus-luruskan kaki yang mungkin pegal setelah kegiatan seharian dan pengapuran akibat usia. Sehat terus ya ibu-ibu.
Pak Prof. Joko Widodo sebagai perwakilan rektor menyampaikan bahwa beliau selalu menyempatkan diri menyimak Maiyah lewat internet. Menurut beliau diskusi Cak Nun selalu mencerdaskan karena pertama tidak berteori yang macam-macam, solutif dan selalu dikembalikan pada hadirin agar mendapatkan pemaknaan yang sesuai dirinya masing-masing. “Bukan pemaknaan Cak Nun saja tapi pemaknaan masing-masing.”
Mbah Nun sampaikan bahwa Tidar ini biasa disebut pusar atau pusatnya tanah Jawa. Pemahaman bahwa wilayah di sekitar adalah pusat bumi sebenarnya ada di hampir semua suku baik suku Afrika, Native Indian di Amerika, suku-suku di kepulauan mana-mana selalu punya versi semacam itu. Lantas mana yang benar? Lho bagaimana kalau kita sepakati saja bahwa semua budaya berhak merasa istimewa dan semua berhak menjadi pusat bumi. Bukankah begitu itu idealnya globalisasi? Sinau Bareng bermula, bermartabat menjadi diri sendiri dalam lokal, memesra masyarakat dunia dalam ranah global. Pemaknaan atas kebenaran silakan resapi sendiri-sendiri.