CakNun.com

Meruwat Sumber Bahagia

Liputan Sinau Bareng CNKK dalam Ruwat Desa Kebonagung, 5 Agustus 2018
Redaksi
Waktu baca ± 2 menit

Dari ilmu batas, kesadaran terhadap takaran, tema ruwat desa menemukan kaitannya dengan kondisi aktual warga desa. “Mengapa yang diruwat hanya desa tidak sekalian nusantara?” tanya Mbah Nun. Harapannya, ruwat desa ini akan nyumrambah ke Indonesia.

Tidak cukup mengeluh. Mari belajar mengidentifikasi. Ada persoalan yang bisa diselesaikan; ada yang mungkin bisa diselesaikan; ada yang sulit diselesaikan; ada pula yang tidak mungkin diselesaikan. Untuk yang terakhir ini kita berdoa memohon pertolongan Allah Swt.

Lantas, apa kaitan semua itu dengan ruwat desa? Yang diruwat bukan hanya tanah, sawah, air, udara, pepohonan di desa Kebonagung. Manusia Kebonagung juga perlu diruwat.

Mbah Nun menukik pada inti perasaan masyarakat manakala harga-harga kebutuhan pokok tengah naik. “Menghadapi situasi apapun jangan sampai tidak bahagia,” tutur Mbah Nun. Sumber bahagia tidak berada di luar diri, melainkan bersemayam dalam diri kita.

Menggantungkan bahagia dari luar? Ah yang benar saja. Kita kerap lalai dan tidak waspada. Rasa syukur itu berbanding lurus dengan bahagia. Menemukan sumber bahagia dalam diri, dengan demikian, akan menjadikan kita tak habis-habis untuk bersyukur.

Pada konteks itu kita perlu meruwat diri agar tidak “kintir” terseret arus sejarah.

Terkait dengan sumber bahagia, sebagaimana Ka’bah secara fisik berada di Makkah, ia juga berada dalam diri kita secara rohani.

Silakan terminologi itu dikembangkan sendiri untuk menambah pundi-pundi kesadaran yang bergerak secara rohani.

Monggo menemukan cinta dan kesenangan terhadap hal-hal yang pantas dicintai. Namun, rasa cinta itu jangan menggeser ordinat akurasi terhadap apa yang kita cintai.

“Saya mencintai siapa saja manusia Bangsa Indonesia. Yang maling pun kita cintai dengan cara menghukumnya,” kata Mbah Nun. Indonesia tengah mengalami problem serius dengan konstitusi dan mentalitas kelas menengah serta pejabat publik.

Pada konteks itu pula, Maiyah menanam bibit kasih sayang dan memberi sedekah kepada bangsa Indonesia.

Kita bergeser ke beberapa respons Sinau Bareng yang disampaikan H. Sullamul Hadi, Ketua DPRD. Empat pilar yang menegakkan dunia disampaikan Pak Hadi. Terminologi empat pilar terkait dengan ulama, umara, aghniya dan fuqoro.

Mbah Nun menambahkan bahwa empat pilar tersebut memiliki gradasi dan variasi. Ada fuqara yang ulama, aghniya yang tidak ulama, umara yang ulama dan aghniya. Prinsipnya, empat pilar bergerak dalam irama harmoni yang seimbang.

Maka, antarpilar diperlukan sawang sinawang, bergerak fii maqomihi (sesuai maqamnya), menyadari takaran masing-masing.

Pesan Mbah Nun untuk kita semua adalah sembarang kudu pas. Semua harus pas. Meruwat diri adalah menemukan kembali ilmu batas dan takaran lalu menerapkannya dalam hidup yang paling sehari-hari. (Achmad Saifullah Syahid)

Lainnya

Topik