Merawat yang Lama, Menyapa yang Baru
Tema yang dibawakan malam ini tentu bukan soal Game of Thrones. Tema acara yang digagas oleh pemuda-pemuda Ds Wijirejo ini berkenaan dengan hari jadi desa dengan tajuk seputar merawat budaya, tapi elaborasi malam itu tidak melulu soal romantisme tradisi belaka. Tradisi perlu dirawat untuk menyegarkan ingatan, tapi jangan terlalu jatuh pada kenangan. Kita juga perlu move-on menghadapi tantangan-tantangan yang datang tanpa aba-aba. Setiap zaman punya tantangannya sendiri-sendiri.
Di sisi lain lapangan beberapa pemuda berkumpul. Beberapa remaja putra mencuri kesempatan mencari bahan obrolan dengan yang putri. Ketika semua sudah berlalu, kita mudah sekali mengenal tanda-tanda pedekate semacam ini. Pedekate bergerombol ini tiba-tiba terhenti manakala di panggung KiaiKanjeng membawakan “E dayohe teko, e gelarno kloso, e…” Sontak anak-anak yang sedang bermain berlari-larian keliling dengan ceria sambil menyanyikan kencang-kencang lanjutan tembang dolanan ini. Hingga pada bagian “E pakakno ASUUU…” sambil menunjuk-nunjuk ke kawannya dan tertawa-tawalah. Proyek pedekate buyar, tapi kemesraan abadi.
Belakangan kalau kita perhatikan, inisiatif untuk mengadakan acara Sinau Bareng di berbagai wilayah desa selalu dimulakan oleh kaum muda baik dari Karang Taruna, Remaja Masjid dan sejenis-sejenis itu. Ini sangat diperhatikan oleh Mbah Nun, “Kalau ada persoalan antara karang taruna dan remaja masjid itu perlu diprioritaskan penyelesaiannya. Karena sekarang harapan kita tinggal generasi-generasi muda ini, jangan sampai mereka terpecah-belah juga.” Sepakat sekali, jangan sampai terulang apa-apa yang pernah terjadi pada sejarah kita dulu.
Sebenarnya persolan antar generasi selalu mewarnai sejarah kita. Pada era Hindia-Belanda, terutama ketika mulai merebaknya paham liberal. Pemangku kebijakan terbagi menjadi golongan tua yang konservatif dengan paham romantisme untuk tidak turut campur pada adat, kebiasaan serta kultur pribumi. Sementara di satu sisi ada golongan muda liberal yang berkawin dengan wacana politik etis, mengutarakan wacana bahwa orang Eropa mesti membayar jasa pada negeri-negeri jajahan dengan menyediakan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi. Sementara di kalangan bumiputera sendiri, golongan muda yang lahir pada era akhir 1800-an mendapati diri sedang menghadapi tantangan zaman global baru, wajar mereka merasa wacana orang-orang tua mereka yang lekat dengan tradisi lokal tidak mampu mengakomodir persoalan aktual. Maka itu angkatan muda awal kita kebanyakan berasal dari keturunan priyayi dan ningrat yang berontak pada kultur lama.
Hal semacam Maiyah, yang menampung dua golongan muda maupun tua dengan keresahan dan kelebihan serta kekurangannya masing-masing, rasanya belum pernah lahir sebelum ini. Sehingga ketika perubahan terjadi, jarang perubahan itu memperhatikan sisi-sisi batin mereka yang merasa tersakiti hatinya. Tirto Adhi Soerjo (T.A.S) yang disebut-sebut awal gerakan kaum muda, tentu kita tahu juga adalah seorang putra dari priyayi Mangkunegaran. Wajar dia berjuang dengan jangkauan pandang modernitas yang dia pahami. Wajar juga kemudian beberapa kali dia terlibat konflik dan kasus dengan golongan kaum konservatif.
Hurgronje yang berada pada garda depan golongan konservatif tidak begitu menyenangi dirinya namun T.A.S jelas merupakan kesayangan tokoh etis Van Deventer di Belanda. Siapa salah? Siapa benar? Bukan itu pertanyaan yang perlu kita ajukan, semua punya versinya. Toh ketika akhirnya perjuangan T.A.S menemui jalan buntu, dia juga perlu berlindung dibalik forum previles. Yakni semacam kebijakan Hindia-Belanda yang membatasi diri mereka sendiri untuk menyikapi keras orang-orang dari kalangan ningrat kerajaan. Itulah kenapa para pemberontak di zaman-zaman dulu kebanyakan hukumannya adalah dibuang atau diasingkan, T.A.S megalami pembuangan selama dua bulan di Teluk Betung, Lampung.
Salah satu dasar pikir dalam hukum Hindia-Belanda adalah, setiap golongan yang memiliki patronnya akan diurus oleh patron-patronnya itu. Juga diberlakukan hukum sesuai dengan hukum yang dia anut menurut pada kebangsaan, suku, latar belakang atau agamanya masing-masing. Bila terjadi persidangan, orang mesti didampingi patronnya atau pihak yang mengerti sistem hukum yang dia anut. Pribumi Islam kemudian mengangkat patron-patron lokal menjadi kelas-kelas kiai dan definisi ulama pun bergeser. Warga Tiongkok dan Asia Jauh dipercaya sudah ditanggungjawabi oleh negaranya di seberang sana. Sedangkan warga Kristen dirasa sudah cukup mendapat keistimewaan karena kebanyakan pekerja hukum pada zaman itu adalah Eropa-Kristen.
Begitu pun kaum Timur Tengah baik yang bersetia pada Turki Usmani maupun yang memihak pada poros Hijaz (jauh sebelum Revolusi Arab Ibn Saud, dua poros ini sudah berbeda golongan dan itu tampak pada pergaulan global termasuk di Hindia-Belanda). Ini sisa-sisa tinggalan pemikiran kaum konservatif memang, dan berangsur-angsur lenyap ketika Ekonomi dunia memburuk pada bilangan 1920-1930an, di mana lama-lama dirasa butuh satu kekuasaan tunggal. Era pluralisme kekuasaan di Hindia-Belanda sirna dan menjadi otoritas tunggal hukum, ekonomi dan politik. Itu baru terjadi belakangan dan diwariskan pada negara yang baru lahir kemudian, NKRI.