Merawat Rindu Kebersamaan


Kenduri Cinta, sudah menjadi satu “brand” Maiyah yang dikenal banyak orang. Bagi sebagian masyarakat bahkan lebih mengenal Kenduri Cinta daripada istilah Maiyah. Tak jarang, orang bertanya; “Kapan Kenduri Cinta di Yogyakarta?”, “Kapan Cak Nun bikin Kenduri Cinta di Surabaya?”. Dan segelintir pertanyaan yang bagi jamaah Maiyah sendiri akan tertawa ketika mendengar pertanyaan itu. Sudah pasti, jamaah Maiyah paham bahwa di Yogyakarta ada forum Mocopat Syafaat yang usianya satu tahun lebih tua dari Kenduri Cinta. Dan di Surabaya, 11 tahun yang lalu lahir Bangbang Wetan yang merupakan forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta.
Delapan belas tahun yang lalu, di pertengahan Juni tahun 2000, ketika dunia menyongsong era millennium, beberapa orang berinisiatif mendirikan sebuah forum serupa PadhangmBulan yang sudah rutin terlaksana di Jombang. Saat itu, Cak Nun sedang sibuk-sibuknya bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, di sela-sela jadwal keliling di berbagai daerah bersama Hammas (Himpunan Masyarakat Sholawat) dan KiaiKanjeng tentunya.
Program acara “Cermin” dan “Gardu” di sebuah stasiun televisi swasta saat itu menjadi salah satu meeting point para inisiator Kenduri Cinta. Pada setiap tapping pengambilan gambar acara tersebut, mereka berkumpul di studio. Setelahnya, jika Cak Nun tidak harus bersegera berpindah tempat untuk menghadiri acara selanjutnya, tak jarang mereka cangkrukan bersama Cak Nun. Terbesitlah kemudian niatan untuk melahirkan sebuah forum di Jakarta seperti PadhangmBulan yang sudah rutin terlaksana di Jombang. Cak Nun kemudian memberi nama forum itu: Kenduri Cinta.
Cak Nun selalu memilih kata-kata yang tidak begitu familiar ketika diminta untuk memberi nama. Beberapa nama bayi yang dimintakan kepada Cak Nun, seringkali terdengar unik. Namun jangan salah, kata-kata yang dipilihkan oleh Cak Nun sarat makna. Cak Nun adalah orang yang sangat kaya akan kosa kata. Memadukan kata-kata menjadi sebuah rangkaian yang sangat berkesan, tidak sembarangan, dan menancap. Tahun 2000, ketika orang menyambut gegap gempita era millennium lazimnya saat itu, ketika akan melahirkan sebuah produk, maka akan memilih nama yang mengikuti zaman. Tetapi tidak dengan Cak Nun, nama Kenduri Cinta dipilih.
Dulu, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, pada setiap pembagian raport hasil Ulangan Umum Catur Wulan, pernah suatu kali saya mendapat rangking 1. Sebuah kalimat penyemangat (peringatan lebih tepatnya) ditulis oleh Wali Kelas di buku raport; “Pertahankan prestasimu!”. Beberapa tahun kemudian, saya baru menyadari memang benar, bahwa mempertahankan itu lebih sulit daripada meraih. Karena setelahnya, saya harus selalu puas untuk berada di peringkat kedua. Sialnya, peringkat 1 itu diraih oleh seorang perempuan. Ya, mempertahankan lebih sulit daripada meraih. Eh….
Di PadhangmBulan “Menyorong Rembulan” akhir bulan lalu, Cak Nun menyampaikan sebuah pesan; “Milikilah Hati Petani, bukan Hati Pedagang”. Seorang petani, semangatnya adalah menanam. Dan ketika ia sudah menanam, ia akan merawat benih yang ia tanam, hingga akhirnya ia memanen. Dan jangan salah, seorang petani selalu memiliki kesiapan diri untuk tidak panen. Petani yang sejati adalah mereka yang sama sekali tidak berorientasi pada seberapa cepat ia akan panen, seberapa banyak uang yang akan ia dapatkan setelah ia panen.
Bagi petani yang sejati, panen adalah urusan Tuhan. Petani yang sejati akan setia menikmati prosesnya. Jika masa panen itu tiba, ia tidak akan terlena merayakan musim panen. Dan jika akhirnya ia harus mengalami gagal panen, ia pun menyadari bahwa Tuhan memang Yang Maha Memutuskan. Sedih ketika gagal panen atau gembira ketika panen melimpah, bukankah itu manusiawi?
Begitulah Kenduri Cinta berproses. Bukan hanya soal merawat ingatan tentang siapa-siapa yang merintis Kenduri Cinta itu lahir, tetapi juga seyogianya kita juga mengenal siapa-siapa orang yang merawat kebun Maiyah di Jakarta ini. Pengetahuan tentang asal adalah sebuah ilmu yang sangat mendasar di Maiyah. Seperti halnya ketika kita sebagai jamaah Maiyah mengenal sosok Cak Nun. Kita tidak akan melupakan peran keluarga Ndalem Kasepuhan Menturo atas prakarsa kelahiran PadahangmBulan. Sehingga forum itu berlangsung secara rutin setiap bulan hingga hari ini.
Seperti juga ketika kita menikmati buah mangga. Kita akan selalu ingat bahwa buah itu berasal dari sebuah pohon yang memiliki daun, dahan, ranting dan juga bunga. Pohon yang juga berasal dari sebuah pelok yang ditanam, kemudian tumbuh dan mengakar, atas prakarsa Allah Swt.
Kesadaran untuk merawat kebersamaan ini bukan datang dengan sendirinya. Ada proses yang juga berlangsung di Kenduri Cinta. Seorang Ksatria yang tangguh, tidak akan lahir dari proses tempaan pertarungan yang penuh kepalsuan. Seorang Pelaut yang handal, lahir dari terjangan ombak yang besar. Setiap orang yang mengambil peran sebagai Penggiat Kenduri Cinta bukanlah orang yang terpilih. Mereka juga bukan orang-orang yang merasa paling mampu untuk mengelola sebuah Komunitas. Bekal mereka hanyalah kesadaran bahwa ada sesuatu yang memang harus dibayar atas Cinta yang telah di-Kenduri-kan oleh Cak Nun di setiap Maiyahan.
Masih terngiang di benak saya, ketika di suatu edisi Kenduri Cinta Cak Nun mengatakan dengan tegas “Aku yo kangen karo awakmu, rek!”. Sebuah ungkapan yang sangat murni dari Cak Nun. Bahkan Cak Nun sendiri pun merawat rasa kangen untuk bertemu dengan jamaah Maiyah di Kenduri Cinta.
Sebulan sekali bersua, kerinduan itu dirawat bersama. Bukan hanya oleh penggiat yang selalu serius mempersiapkan forum. Bukan hanya dengan modal datangnya jamaah setiap jumat kedua di Taman Ismail Marzuki. Pun demikian bukan hanya oleh Cak Nun yang berkomitmen mengganjar kesetiaan kita dengan hadir di Kenduri Cinta.
Tetapi, kita semua menyadari bahwa hidayah dari Allah turun, kemudian kita berinisiatif untuk mengakses hidayah itu. Pada setiap proses perjalanan hidup kita, pada setiap pengalaman persambungan kita di Maiyah, pada akhirnya kemudian melahirkan sebuah keputusan dalam diri kita, pada posisi yang mana kita mengambil peran di Kenduri Cinta, juga di Maiyah.