CakNun.com

Menyayangi Sesama, Merahmati Semesta

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 4 menit

Cukup terkejut ketika membaca rubrik Tajuk caknun.com, muncul tulisan dengan judul: Sembilan Daur II yang Disimpan Dulu. Mengapa? Tertanggal 20 Desember 2017.

Mengapa disimpan? Padahal tinggal sembilan. Nanggung kan? Saya dan sebagian besar dari kita pasti bertanya-tanya. Mengapa disimpan? Tentu ada alasan-alasan, pertimbangan dan sebab musabab yang melatarbelakangi itu. Dan yang paling tahu alasan-nya jelas sang penulisnya. Ada ngganjel di hati ketika tulisan Daur berhenti. Daur itu laksana mentari yang selalu terbit di pagi hari. Daur seperti air yang terus mengalir menyirami. Daur bak udara yang tiada jeda untuk menyapa. Dan ketika mentari, air, udara itu tidak ada, maka hampa yang terasa.

Kendati Daur II dihentikan sementara, tetapi Tadabbur Daur tidak boleh mandek. Sebab Simbah sudah menyajikan irisan Daur I sebanyak 309, serta Daur II sejumlah 300. Total sampai sekarang ada 609 tulisan Daur yang bisa kita Tadabburi bersama. Kita dapat mengambil baiknya, sarinya, value-nya, hikmah dan manfaatnya. Setiap saat. Setiap waktu. Kapan saja. Di mana saja.

Allah menggambarkan Tadabbur tidak dilakukan oleh orang yang “terkunci hatinya”. Berarti, sementara Tafsir hanya berkutat pada pemahaman pemaknaan, Tadabbur adalah proses yang sangat berdimensi moral dan spiritual, lebih dari sekedar intelektual. Tadabbur mempersyaratkan bahwa kesudahannya adalah lebih berkecenderungan terhadap Allah. Misalnya menjadi lebih dekat, lebih beriman, meningkat akhlaqul-karimahnya, lebih baik hidupnya, lebih saleh perilakunya. 

Sebab kalau tidak demikian maka “ála qulubin aqfaluha”: hatinya terkunci, jiwanya tertutup, imannya tersembunyi dalam kegelapan, akhlaknya tidak terbimbing, akal dan ilmunya tanpa kompas tauhid.” –Daur II-236 – Oligarki Keagamaan.

***

Kita tahu, setiap tanggal 25 Desember umat kristiani di seluruh penjuru bumi merayakan hari Natal. Hari kelahiran Yesus Sang Juru Selamat. Meskipun saya seorang muslim, Natalan bukanlah sesuatu yang aneh atau asing bagi saya. Pasalnya sudah cukup lama saya bersinggungan dengan orang-orang yang berlainan agama. Hal tersebut sudah saya alami sejak duduk di bangku SMP dulu.

Saya mempunyai teman kelas yang beragama kristen protestan. Namanya Natanael Adhi Berhana Purwanto. Akrab disapa Natan. Dia seorang pemeluk kristen taat. Ayahnya seorang pendeta. Bagian depan rumahnya diperuntukkan sebagai Gereja. Oleh Tuhan, kami berdua diakrabkan karena satu hal, yakni musik.

Ya, kita sama-sama suka musik. Saya yang bagian sing song (nyanyi), sedangkan dia bertugas memencet not-not piano. Musik telah menjadi jembatan bagi kami untuk berkomunikasi, bersosialisasi dan bersilaturahmi. Musik adalah bahasa universal yang dapat merangkul, menampung, dan merangkum segala perbedaan.

Adakala saya main ke rumah Natan. Ada saatnya juga dia yang gantian berkunjung ke tempat saya. Keluarga Natan sangat welcome dengan saya, pun demikian sikap keluarga saya kepadanya. Bersebab di rumah (Gereja) Natan terdapat set alat musik yang lengkap (gitar, bass, piano, drum, perkusi dll), maka saya lah yang lebih sering dolan ke rumahnya. Sekadar ngejam bareng atau iseng membuat lagu. Rumah Natan sudah seperti rumah kedua bagi saya.

Selain keramahan keluarga Natan, ada satu hal lain yang membuat saya dan teman-teman lain betah berlama-lama ada di sana. Yaitu rumahnya yang super bersih. T.O.P B.G.T pokoknya. Mulai dari teras depan, halaman, taman, lantai rumah, meja kursi, perabot, kamar, hingga toilet semua nampak kinclong. Tak ada noda, sampah maupun kotoran. Semua nampak clean, clear, tertata rapi. Bila ada pepatah Islam mengatakan: “Kebersihan sebagian dari Iman”, maka keluarga Natan telah sukses meng-aplikasikan-nya. Mereka Kristen, namun berperilaku sangat Islami. Hebatnya lagi ketika saya dan teman-teman main di rumahnya lalu terdengar adzan, Natan atau mungkin ayahnya tak segan mengingatkan kepada saya untuk shalat. Bahkan dipersilakan sholat d irumahnya yang notabene sebuah Gereja. Sepakat dengan yang diutarakan Mbah Nun: “Ketika engkau sujud (sholat), disitulah masjid bagimu.” Entah itu dirumah, sawah, lapangan, hutan, gunung, sampai di Gereja sekalipun.”

Meski kami (saya dan Natan) sama-sama suka musik. Namun ada satu kebiasaan antara kami berdua yang sangat jauh berbeda. Bertolak belakang malahan. Saya adalah perokok aktif (smoker), sedangkan Natan antipati sama rokok. “Rokok itu ndak baik untuk kesehatan kita. Kalau kita sudah diberi anugerah kesehatan sama Tuhan, maka kita wajib mensyukuri dan menjaganya”, begitu katanya. Dan saya pun senyum mengiyakannya. Luar biasa.

***

Jelas sudah, perbedaan ternyata bukan menjadi penghalang bagi kita untuk bebrayan. Saya sendiri telah membuktikannya. Banyak cara, alat, atau media untuk mengakrabkan berbagai macam perbedaan. Salah satunya dengan musik. Musik benar-benar menjadi perekat hubungan antara saya dengan Natan.

Pernah satu waktu ketika kakak Natan menikah, kami berdua diminta untuk mempersembahkan lagu untuk kedua mempelai. Setelah acara pemberkatan, saya menyanyi dengan diiringi permainan jari-jemari Natan di atas not piano yang menyayat hati. Membawakan lagu “Make You Feel My Love” milik Bob Dylan, serta “Dealova” dari Once. Musik berhasil membuat perbedaan menjadi harmoni.

Bahkan musik juga sanggup menjadi peredam konflik. Perang Sampit yang melibatkan suku Dayak dan Madura berhasil disejukkan oleh Mbah Nun melalui jalan musyawarah, diplomasi sosial serta lewat alunan nada dan irama musik yang dimainkan KiaiKanjeng. Tentu titik fokusnya bukan pada fisik, melainkan psikis-psikologis manusianya. Dengan musik, yang kasar jadi lembut. Tegang jadi tenang. Gemuruh menjadi teduh. Sekali lagi musik dapat menjadi sarana alternatif untuk membungkus perbedaan. Meredam pertikaian. Mewujudkan perdamaian.

***

Alhamdulillah, hingga detik ini persahabatan kami masih apik terjalin. Meski sudah jarang bertatap muka, namun masih intens bertegur sapa via media sosial. Setiap Idul Fitri tiba, Natan tak segan untuk memberikan ucapan selamat kepada saya. Dengan hati lapang dan gembira, saya haturkan berjuta terimakasih padanya. Pun ketika datang hari Natal, tak sungkan saya sampaikan ucapan selamat Natal dan doa kebaikan baginya.

Mohon maaf, tak usahlah kita berdebat soal boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat Natal. Tak perlu juga kita ribut apakah ada ayat, dalil atau hadits yang mengatur perihal itu. Sederhana saja. Cukup dengan menggunakan rasa. Rasa sebagai sama-sama manusia. Makhluk sosial yang mesti saling menghormati dan membutuhkan satu sama lain.

Umpama kita diberi rambutan oleh teman, maka seyogianya kita mengucapkan terimakasih. Dan sudah sepantasnya jika di kemudian hari kita gantian memberi kelengkeng kepada teman kita. Itu sudah otomatis. Bahwa konsep terimakasih sebenarnya adalah; setelah kita menerima, maka tugas kita selanjutnya adalah mengasih/memberi. Artinya menerima dan memberi itu satu paket yang tidak dapat dipisahkan. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Al-Anbiya: 107).

“Sungguh saya ingin mencatat bagaimana para penafsir menghamparkan betapa Rasulullah Muhammad, Islam dan Al-Qur`an adalah rahmat bagi jagung, burung puyuh, desa Jin, udara, lahar gunung, bahkan bagi Iblis itu sendiri, yang juga makhluk Allah dan berposisi sangat khusus”, kata Seger, “rahmat bagi masing-masing maupun bagi keseluruhannya.” –Daur II-236 – Oligarki Keagamaan.

Dalam surat Al-Anbiya: 107, Allah mengutus Nabi Muhammad Saw tidak lain untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil’alamin). Kalau konteksnya semesta maka semua. Menyeluruh. All. Universal. Jagung, burung puyuh, desa Jin, udara, lahar gunung, cacing, batu, debu, bahkan “iblis” sekalipun berhak mendapat kasih sayangnya Muhammad. Kalau kita mengaku muslim, dan ingin menjadi umatnya Rasulullah, maka tidak ada cara lain selain mengikuti peran beliau untuk berupaya menyayangi sesama, merahmati semesta.

Selamat tahun baru sedulur-dulurku. Semangat nandur, nandur selalu

Gemolong, Pengujung 2017

Lainnya

Perisai Maiyah

Setelah menulis Daur II-318 dengan judul Melingkarkan Cincin pada tanggal 2 Maret 2018, Cak Nun lantas menulis Daur berikutnya dengan judul Telaga Cahaya.

Zaky Ardhiana Devie
Zaky Ardhiana D.

Topik