CakNun.com

Menunda Kungkum Demi Bersama Syaikh Kamba

Suluk Surakartan
Waktu baca ± 4 menit

Suatu keberkahan tersendiri bagi sedulur-sedulur Suluk Surakartan atas kehadiran Syaikh Kamba di Solo. Hadirnya beliau yang kedua kali di Solo ini untuk mengisi serangkaian acara di salah satu Universitas swasta di Solo.

Dan ini sudah sejak jauh-jauh hari diketahui oleh sedulur-sedulur penggiat Suluk Surakartan. Karena salah satu penggiat mendapatkan informasi dari direktur penerbit bukunya Syaikh Kamba dan Mbah Tedjo, yang merupakan kawan lama dari salah satu penggiat di sini. Maka itu hadirnya Syaikh Kamba di Solo tak mau disia-siakan begitu saja oleh penggiat untuk mengadakan sinau bareng bersama beliau.

Walaupun sudah sejak jauh-jauh harimerencanakan untuk menghadirkan beliau, namun seluruh penggiat belum tahu pasti kapan beliau bisa hadir di tengah-tengah sedulur-sedulur. Entah pada hari pertama, kedua atau hari ketiga.

Ya, sebenarnya pada malam minggu ini, sebagian penggiat merencanakan untuk kungkum bersama di salah satu umbul di Boyolali dan dilanjutkan dengan acara bakar-bakar ayam. Namun, sekitar jam 15.30 WIB tiba-tiba di grup Whatsapp penggiat muncul pengumuman kalau Syaikh Kamba jam 20.00-an diagendakan untuk acara bersama sedulur-sedulur penggiat. Menyikapi hal tersebut, dengan senang hati beberapa teman-teman penggiat sepakat untuk menunda acara kungkum pada esok harinya demi sinau bareng bersama salah seorang Marja’ Maiyah tersebut.

Belum sampai dua menit beliau duduk di ruang tamu kediaman Pak Asad bersama-sama sedulur-sedulur penggiat yang lainnya, diskusi pun sudah dimulai dengan tema poster dari Imam Khomaini yang terpajang di ruang tamu Pak Asad Munir. Dialog antara Pak Asad dan Syaikh pun terjadi begitu menarik tentang seputar latar belakang poster tersebut hingga kehidupan sederhana dari gambar poster tersebut.

Sebagai salah satu ulama besar yang pernah ada di muka bumi ini, nampaknya kesederhanaan hidup Imam Khomaini perlu kita jadikan sebagai panutan hidup. Walaupun menjadi seorang tokoh besar yang sangat berpengaruh di Iran, beliau tak segan untuk mengganti sendiri lampu kamar mandi yang mati, dan dengan iklas mau disuruh istrinya untuk mengantarkan roti untuk dibagikan ke tetangganya.

Setelah selesai membahas seputar kesederhanaan dan kebersahajaan Imam Khomaini, Wasis memimpin seluruh jamaah yang hadir di malam itu untuk menyapa Kanjeng Nabi Muhammad. Setelah semua orang yang ada di ruangan 3 X 7 meteran itu selesai menyapa kekasih Gusti Allah dan kekasih kita bersama, forum sinau bareng dimulai dengan dipimpinMas Agus Wibowo penggiat Majelis Gugur Gunung Unggaran yang pada hari itu juga turut hadir menemani penggiat Suluk Surakartan untuk menimba ilmu dari salah satu Marja’ Maiyah tersebut. Mas Agus mengajak kepada seluruh jamaah yang hadir untuk memanfaatkan momentum muwajahah dengan Syaikh Kamba dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sudah disiapkan dari rumah.

Setelah Mas Agus selesai mempersilakan jamaah untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari Syaikh, belum terlintas pertanyaan apa yang akan saya tanyakan ke beliau. Ketika Kang Imam Bedjok menanyakantentang wahyu yang diberikan Gusti Pangeran pada lebah dan kenapa seolah-olah beliau tak bisa mendapatkan seperti halnya lebah dapatkan dari Gusti Allah yang dikontekskan dengan usaha madu beliau yang sering mengalami kerugian. Dan ditengah-tengah Syaikh menjawab pertanyaan dan membantu mengurai permasalahan usaha Kang Imam tersebut, baru satu persatu pertanyaan yang ada dalam diri saya yang sekian lama terpendam, seolah-olah muncul kembali di benak pemikiran saya.

Dari seputar pertanyaan yang dilontarkan penggiat ke belaiau, baik itu seputar rezeki, bersuci, takdir, mahzab hingga seputar Syeikh Siti Jenar, saya melihat perbedaan cara menjawab beliau dengan ulama-ulama yang pernah saya ketemui. Dalam proses menjawab pertanyaan dari penggiat tersebut, beliau dalam penyampaiannya lebih mendalam dengan prespektif yang berbeda. Sehingga wajar kalau hampir semua yang hadir di ruang itu terkesima dan hanyut menikmati penyampaian-penyampaian beliau.

Suatu anugerah yang tak bisa diungkapkan kata-kata Syaikh Kamba diperkenakan mendampingi sedulur-sedulur Maiyah dalam menimba samudra ilmu Gusti Allah, wa bilkhusus bagi sedulur-sedulur jamaah Suluk Surakartan yang hadir di malam itu. Karena tak ingin meninggalkan momentum yang langka tersebut, beberapa jamaah terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau. Bahkan beberapa penggiat setelah selesai mendengarkan jawaban dari beliau tetap terus melontarkan pertanyaan dari beliau.

Kedahagaan akan ilmu di malam itu saya rasakan pada diri saya dan beberapa dulur-dulur yang lainnya. Hal tersebut bisa saya rasakan dari atmosfer diskusi pada malam hari itu. Terutama saya, setelah selesai mendengarkan penyampaian ilmudari beliau, seolah-olah otak saya terpancing untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau.

Sayangnya pertemuan kita pada malam hari itu harus terhenti oleh waktu yang menjelang fajar dan sempritan dari direktur Imania, penerbit bukunya Syaikh Kamba dan Mbah Tedjo melalui pesan whatsapp, meminta kepada Kang Kenyot, bahwa sesi sinau bareng tersebut agar segera diakhiri menginggat padatnya agenda beliau esok hari.

Akhirnya sesi sinau bareng di malam itu diakhiri dengan suasana yang belum puas. Tapi terlintas dalam benak pemikiran saya tentang pesan Simbah seputar akhir sebuah pertemuan apapun itu bentuknya. Kalau bisa jangan sampai klimaks, agar pada pertemuan selanjutnya kita tidak cepat bosan. Pembacaan hasil notulen diskusi dari Mas Agus Wibowo dan doa bersama mengakhiri sesi pertemuan dengan Syaikh Kamba pada malam itu.

Semoga saja Allah mengizinkan Syaikh Kamba suatu saat dapat hadir ditengah-tengah jamaah Suluk Surakartan di acara rutinan Maiyahan Suluk Surakartan yang diadakan tiap Jumat pekan Keempat. Syukur-syukur beliau bisa hadir secara rutin entah itu sebulan sekali, dua bulan sekali ataupun tiga bulan sekali. Amin. (Wahyudi Sutrisno)

Lainnya

Topik