Menjadi Bagian dari Proses Mutimmu Nuurihi


Kalau keberadaan tangan kanan dan kiri, konsep atas dan bawah, hitam dan putih, tinggi dan rendah, kaya dan miskin serta sejumlah kutub dikotomis lainnya dipahami sebagai ketimpangan, maka software berpikir kita perlu diinstal ulang.
Apabila yang dimaksud ketimpangan adalah dua kutub yang saling berlawanan, mustahil kita menghilangkan salah satunya, karena lampu dapat menyala berkat “ketimpangan” arus listrik positif dan negatif.
Persoalannya adalah pada dua dasawarsa terakhir jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Empat orang paling kaya di negeri ini memiliki harta lebih banyak dibandingkan 100 juta warga termiskin. Kesenjangan sosial merupakan produk dari ketimpangan dan ketidakadilan.
Secara laten kita tidak mungkin mengubur semua orang miskin. Selain karena terkait dengan bagaimana konsep ekonomi memandang warga miskin yang dipelihara oleh hasil riset dan didukung data statistik, miskin dan kaya bukan sekadar soal kesenjangan yang diukur dengan indeks Gini—dikembangkan oleh Corrado Gini dari Italia pada 1912.
Cara pandang, cara bersikap, mentalitas seseorang menjalani hidup serta keteguhan ngugemi prinsip Gusti Allah mboten sare menentukan “indeks” ketangguhan menaklukkan kemiskinan.
Kita juga tidak akan pernah tuntas mengikis pemahaman tentang pintar dan bodoh, liberal dan radikal, muslim dan kafir selama kita sendiri terkurung oleh cara berpikir khas Indonesia yang stereotip dikotomis.
Berawal dari Ketidakadilan
Dua kutub yang dipahami secara dikotomis sesungguhnya tidak pernah berdiri sendiri, dan kita sepakat soal itu. Dialektika antara dua kutub bergantung pada konteks ruang dan waktu. Ketidakadilan adalah menempatkan salah satu kutub pada ruang dan waktu yang tidak tepat. Merasa miskin dan fakir di hadapan Allah itu baik, tapi tidak manakala kita berhadapan dengan dunia dan manusia. Para penghamba kekuasaan adalah segerombolan fakir miskin yang tidak puas merakusi isi dunia.
Kita selalu disodori fakta baik berupa data statistik maupun narasi tentang kesenjangan dalam berbagai bidang yang sekaligus menyeret kita pada kemiringan baru. Data statistik ekonomi dan pendidikan misalnya, melaporkan sejumlah kesenjangan yang memprihatinkan, tetapi memetakan kemiskinan dan keterpurukan pendidikan tidak cukup dengan menghitung jumlah orang miskin dan anak putus sekolah.
Tidak dipungkiri maraknya aksi demonstrasi massa berbasis keagamaan salah satunya dipicu oleh ketidakadilan ekonomi: ada bagian dari kelompok sosial yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah sehingga memungkinkan konsentrasi kekayaan berada di tangan mereka.
Artinya, ada yang berkecamuk dalam pikiran dan bergolak dalam perasaan manakala ketidakadilan hadir tidak lagi sebagai data dan hasil riset. Mereka mengalami dan merasakannya secara langsung. Ketidakadilan menjadi pengalaman aktual yang menyakitkan. Sentimen religius primordial yang kemudian dieksplorasi ke dalam penggunaan simbol-simbol agama adalah akibat atau produk dari ketimpangan serta ketidakadilan yang lebih luas dan mendasar.
Pada koteks ini, pendidikan yang dijanjikan akan meningkatkan peluang memperbaiki status sosial semakin diragukan. Alih-alih mengembalikan akal sehat dan keseimbangan berpikir, pendidikan menjadi ladang bisnis yang digerakkan mulai hulu hingga hilir.
Kekecewaan yang menumpuk itu tidak hanya terkait dengan praktek liberalisasi pendidikan yang semakin tidak terbendung—paradigma pendidikan bahkan berhasil mencacah keutuhan manusia menjadi kepingan-kepingan.
Meminjam ungkapan WS Rendra: papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan pendidikan, bukanlah kecerobohan yang disengaja. Jaring tidak kasat mata politik pendidikan menggiring konsumen pendidikan memasuki satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya.
Sinau Bareng dan Proses Mutimmu Nuurihi
Tidak adakah oase di sana? Maka, datanglah ke Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Bangbangwetan, Kenduri Cinta serta ratusan simpul dan acara Sinau Bareng yang tersebar di berbagai kota.
Oase itu menampung manusia, siapa saja dan apa saja untuk berkumpul dan melingkar, berjamaah dan bersinergi, bergandengan tangan dan berkolaborasi. Mereka adalah para kafilah, para salik, para penempuh jalan kehidupan—lengkap dengan komitmen al-silmu (masih ingat terminologi udkhuluu fissilmi kaaffah?), syari’, sabil, thariq dan shirath.
Ajaibnya—atau kata orang Jawa: kuasane Pengeran—ketika terlunta-lunta berjalan di tanah gersang, didera kezaliman demi kezaliman, para pejalan itu memiliki peluang yang cukup dahsyat untuk menerima hidayah sebagai al-Muthahharun.
Para pejalan berbondong-bondong, duduk semalaman hingga menjelang shubuh, selama delapan jam di majelis Sinau Bareng karena sejak menapaki jalan gelap nan gersang mereka telah disentuh oleh hidayah Allah.
Jalan gelap dan gersang itu adalah “Siapakah yang lebih zalim dari orang yang mengadakan dusta terhadap Allah, sedang dia diajak kepada agama Islam. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Ash-Shaf: 7)
Ketika Cahaya Alah ditutupi bahkan dipadamkan dengan menciptakan ketimpangan, menyuguhkan kemiringan, memelihara disorientasi, memprimerkan yang sekunder, menyekunderkan yang primer, melalui isme, narasi, wacana, paradigma, sihir media—pada ordinat silang ruang dan waktu yang mengatasi semua itu Allah menyempurnakan Cahaya-Nya di hati manusia al-Muthahharun.
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah, dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.” (Q.S. Ash-Shaf: 8)
Membersamai Allah dan Rasulullah, dengan demikian, bukan ketika jamaah Maiyah hadir dan berkumpul di acara Sinau Bareng saja. Getaran hidayah al-Muthahharun tengah dan akan terus berlangsung “di luar” maiyahan.
Naluri tauhid menuntun aku, Anda, kita semua dari tempat-tempat yang sangat jauh untuk menjadi bagian dari proses mutimmu nuurihi di semesta ruang nyaris tanpa batas bernama Maiyah.
Optimisme? Bukan. Ini bukan soal optimisme apalagi gedhe rumangsa. Janji Allah yang tidak mungkin diingkari merupakan cakrawala yang terbentang di semesta jiwa kita. “Dia-lah yang mengutus Rasulnya (Muhammad), dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci.” (Q.S. Ash-Shaf: 9)
Perjalanan panjang ini membutuhkan oase—dan Allah menganugerahkan oase paseduluran dunia akhirat di Maiyah.
Jagalan, 260718