CakNun.com

Menikmati Paseduluran Maiyah

Galih Indra Pratama
Waktu baca ± 4 menit

Bulan Juli lalu adalah bulan yang istimewa bagi saya. Istimewa bukan karena sedang merayakan ulang tahun, tapi istimewa dalam arti bisa menjalin silaturahmi dan menyambung persaudaraan dengan sedulur-sedulur Maiyah di berbagai tempat. Saling jabat erat adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya dengan sedulur-sedulur Maiyah. Semua terjadi bukan karena ada rencana sebelumnya, namun memang kita ikhlas dipertemukan satu sama lainnya.

Peristiwa dan kejadian apapun yang baik di Maiyah, sebenarnya saya ingin selalu mencatatnya. Tapi kadang waktu yang tidak memungkinkan. Di sisi lain saya juga bekerja dan lembur. Belum lagi waktu buat hadir di Sinau bareng, Simpul Maiyah dan Lingkar Maiyah. Kadang memori yang sudah terekam di otak semakin menumpuk, jadi yang bisa saya tangkap dan catat yang saat ini adalah ungkapan yang muncul terus-menerus di memori.

Dari awal bulan Juli sebelum hadir di Kenduri Cinta, saya hadir Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Pati. Di lokasi masyarakat begitu antusias menyiapkan dan menyambut. Saya tiba di lokasi juga disambut oleh masyarakat setempat. Saya dipersilakan merasakan makanan hasil bumi Desa Sundoluhur, Kayen, Pati. Padahal saya hanya jamaah Maiyah bukan kru KiaiKanjeng. Tapi ya sudah saya ucapkan banyak terima kasih kepada panitia dan masyarakat yang menyambut kedatangan saya. Dan saya pun menikmati persaudaraan yang belum pernah sama sekali bertemu sebelumnya.

Terlihat masyarakat Sundoluhur sudah sibuk menyiapkan segala yang akan dipersembahkan kepada Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Tampak sebagian masyarakat dan jamaah juga tidak ingin melewatkan rasa rindunya untuk menyambut. Begitu tiba di lokasi, KiaiKanjeng disambut dengan hangat, seperti persaudaraan yang sudah cukup lama terjalin ketika mereka berjabat tangan. Padahal mereka tidak ada hubungan darah, namun mereka sudah seperti layaknya saudara sendiri. Seperti silaturahmi yang sudah lama tidak bertemu untuk melepas rindu.

Di majelis Kenduri Cinta pun juga begitu. Saya berangkat bersama penggiat Gambang Syafaat dan kelompok musik Wakijo lan Sedulur. Kami berjalan melalui darat dengan mobil, melewati jalan pantura yang begitu padatnya sebelum memasuki jalan tol. Sekitar 500 kilometer lebih jarak yang harus ditempuh untuk tiba di Taman Ismail Marzuki, tempat di mana Kenduri Cinta dilaksanakan setiap bulannya.

Setelah menempuh jarak jauh itu, lelah kami pun berubah menjadi bahagia begitu tiba di Taman Ismail Marzuki. Kami juga disambut para penggiat Kenduri Cinta dengan ramah dan baik. Mereka saling berjabat tangan satu sama lain. Meski kami tiba terlambat 2 jam karena ada kemacetan di pintu tol sepanjang 6 kilometer.

Malam itu kelompok musik Wakijo lan Sedulur tanpa melakukan sound check, karena Kenduri Cinta sudah berlangsung di sesi prolog. Namun mereka semua langsung menata alat musiknya di panggung dan bersiap untuk mengikuti majelis Kenduri Cinta. Penampilan Wakijo lan Sedulur cukup membuat suasana menjadi hangat. Malam itu jamaah Maiyah pun  istiqomah dan konsisten. Mereka tetap bertahan hingga dini hari, meski Mbah Nun dan narasumber lain tidak hadir saat itu. Mungkin mereka merasa asing karena Wakijo lan Sedulur baru pertama kali menginjakan kakinya di Kenduri Cinta, jadi rasa penasaran mereka pun semakin bertambah.

Para jamaah Maiyah juga tidak ingin melewatkan kesempatan foto bersama dengan personel Wakijo lan Sedulur. Seperti saat KiaiKanjeng hadir pada bulan Januari sebelumnya, mereka tetap menjalin persaudaraan meski nantinya kembali ke tempat masing-masing. Keakraban demi keakraban terjalin. Memang di Maiyah atmosfer yang terbangung selalu mempersaudarakan.

Di majelis ilmu Maiyah lainnya juga begitu. Di Gambang Syafaat Semarang misalnya, jamaah datang tidak selalu mengacu kepada narasumber yang hadir, tapi mereka menyambung silaturahmi dan persaudaraan sesama.

Saya sendiri menganggap semua yang ada di panggung ataupun yang duduk bersama adalah guru bagi saya. Itu bisa terbangun karena saya merasa ketika bermaiyah tidak digurui. Para penggiat pun tidak merasa dirinya lebih pintar atau ahli. Siapa saja yang hadir boleh mengutarakan pendapatnya di panggung. Majelis Ilmu Maiyah sudah jelas terbuka bagi siapapun. Maiyah berupaya terus menjadi ruang yang sangat besar untuk menampung siapapun dan bisa dimasuki dari segala sisi. Posisi semua yang hadir adala Sinau bareng, belajar bersama. Dan yang disampaikan di Maiyahan bukan diklaim satu-satunya kebenaran yang mutlak, akan tetapi bersama-sama menikmati proses mencari kebenaran yang sejati. Bisa menikmati karena di Maiyah terbangun juga atmosfer untuk saling memberi rasa aman.

Yang saya rasakan saat menghadiri Majlis Gugur Gunung edisi Juli kemarin lebih berkesan lagi. Selain kemarin dihadiri penggiat dan sedulur-sedulur Maiyah di Jawa Tengah seperti Gambang Syafaat, Juguran Syafaat, Kalijagan Demak, Semak Kudus, dan Suluk Surakartan, sedulur Maiyah dari jauh pun turut hadir. Yaitu Damar Kedhaton Gresik dan Masuisani Bali.

Ketika itu Sinau bareng berlangsung khidmat. Para penggiat saling mengelaborasi setiap pendapat satu dengan yang lainnya. Saling berbagi belakang Simpul Maiyahnya sendiri-sendiri. Dari cerita-cerita itu, pada tiap simpul Maiyah saya melihat punya tradisi sendiri-sendiri. Di Gugur Gunung setelah acara selesai pun ada makan nasi jagung bersama.

Perjalanan saya berikutnya di bulan Juli kemarin adalah nyambangi Sendhon Waton di Rembang. Saya lihat ini berbeda dari simpul Maiyah yang pernah saya kunjungi. Format Sinau Bareng-nya sama. Siapa saja boleh ikut mengutarakan pendapatnya di panggung. Namun yang berbeda adalah ketika penggiat Sendhon Waton mulai menyampaikan apa yang menjadi tema, mereka silih berganti menceritakan tokoh-tokoh dalam pewayangan. Menarik sekali memang malam itu, saya hanya bisa menyimak dan mendengarkan malam itu.

Memang setiap hadir di majelis-majelis ilmu Maiyah di berbagai daerah,  saya selalu menjumpai wajah-wajah jamaah Maiyah yang beragam dan silih berganti. Mereka tentu datang dari wilayah yang berbeda-beda. Ketika hadir di majelis-majelis ilmu itu, saya upayakan untuk tidak menimba ilmu saja. Di kanan kiri, semua saya anggap saudara. Saya silaturahmi dengan mereka. Menyapa dan berbagi kebahagiaan bersama.

Sambang paseduluran di berbagai majelis Ilmu Maiyah ini, mudah-mudahan menjadi ikhtiar menanam dan merawat benih-benih kejernihan berpikir. Semoga selalu tumbuh benih-benih itu, yang kelak nantinya akan diteruskan generasi penerus masa depan Indonesia. Bagi saya, tidak ada yang lebih indah dari sebuah persaudaraan ketika bersaudara dengan yang bukan kerabat sendiri.

Lainnya

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Salah satu pertanyaan workshop dalam Sinau Bareng di balai desa Condongcatur pada hari Jum’at malam 20 Desember 2019 menarik perhatian saya.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil