Menikmati Kenakalan-kenakalan Kecil Sebagai Manusia Nusantara
Apakah ada pesannya, atau hanya sekadar kebetulan? KiaiKanjeng melantunkan Rampak Osing yang liriknya menceritakan betapa semrawutnya dan betapa tidak harmonisnya kehidupan di antara mereka yang saling berebut harta dan jabatan, saling berambisi menghancurkan dan membinasakan. Nomor yang sangat faktual menggambarkan kondisi kehidupan berbangsa Indonesia di zaman sekarang ini.
Rampak Osing, perlawanan atas modernitas yang dibawa oleh kaum kolonial pada masanya. Seperti kelompok Amish, kalau di US sana. Memang selalu ada kelompok-kelompok yang menolak hanyut pada budaya dominan global. Sekarang di era gadget, banyak juga pemuda di Amerika yang menolak menggunakan smartphone. Perlawanan kecil-kecilan memang selalu ada, selalu hadir.
Yang saya agak bertanya, soal apakah itu kebetulan, yakni justru setelah KiaiKanjeng selesai melantunkan nomor Rampak Osing, elaborasi tema yang dibawa oleh Mbah Nun malah membawa kita untuk khusyuk menikmati kondisi kita pada masa ini, sekarang, di sini. Di negara yang untuk sementara ini bolehlah kita namakan Indonesia. Tidak jarang kita mendengar narasi-narasi kebanggaan sebagai masyarakat Nusantara, selalu dengan legitimasi kebesaran masa lalu. Hampir melulu soal kebesaran-kebesaran kerajaan, pengaruh budaya, kesaktian militer dan sejenisnya. Tanpa kita sadari, itu juga adalah ukuran kaum kolonial dalam memandang mana budaya unggul mana yang budaya rendahan. Tapi coba itu kita simak apa yang Mbah Nun sampaikan di depan arek-arek Jombang, pada Sinau Bareng di desa Karangdagangan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang pada hari Rabu 12 Desember 2018 M.
Mbah Nun membawa kita menikmati hal-hal yang (selalu dianggap) kecil, yang sehari-hari yang lumrah dan wajar. Disadari atau tidak, pembabaran ini menjadi kontras dengan nada rebel dari Rampak Osing. Mbah Nun mengajak kita melihat betapa asyiknya hidup di tengah masyarakat, di mana inovasi budaya, kuliner hingga cara-cara hidupnya selalu kreatif, liar, nakal sesekali brutal. Brutal itu, kalau lihat sahut-sahutan arek-arek Jombang tiap Mbah Nun bicara, memang di sini rasanya Mbah Nun tampak lebih feel home. Bahasa mesra Mbah ke cucu atau bapak ke anak, yang sesekali menegur sesekali mesra dan sesekali misuhi selalu membawa kemesraan sendiri. Saya sangat tertarik untuk fokus pada bahasan ini, untuk liputan yang lebih komplet dan menyeluruh, tentu pembaca yang budiman bisa membacanya nanti di reportase Mas Saiful.
Cara Mbah Nun saya rasa cukup asik kita perdalam kembali, bagaimana agar kita bisa menikmati menjadi manusia Nusantara tanpa selalu harus terbawa romantisme masa lalu dan legitimasi sejarah walau tentu itu juga, kita tidak boleh lupa pada sejarah. Cuma memang yang asyik pada manusia Nusantara ini adalah pada manusia-manusia ‘kecil’nya. Yang sudah terlanjur ‘membesar’ karena harta dan jabatan rasanya sering kehilangan hal-hal itu, kalaupun ada sering juga tampak terlalu dibuat-buat. Sekadar branding. Tapi di Sinau Bareng kita dilatih untuk menikmati menjadi diri kita. Mbah Nun ajak kita melihat betapa istimewanya bahwa di Jawa dan di Nusantara ini yang namanya minuman saja bisa berragam jenis dan bahannya. Keisitmewaan kecil-kecilan dari bagaimana para kere-kere ngakalin dealer dan para jomblo menikmati… sabun? Ah kalau itu mungkin bisa dibilang fenomena global.
Selain menjadi kontras dengan Rampak Osing, juga kontras dengan alunan lembut Nassam Alayna. Cara pandang Mbah Nun melihat keistimewaan-keistimewaan kecil ini juga dikontraskan dengan pengalaman Mbah Nun hidup di berbagai wilayah dari Filipina hingga ke Amerika. Ibu pemilik perusahaan pengembangan perumahan yang memiliki sembilan pegawai juga sempat sampaikan bahwa banyak energi bahkan ide yang beliau dapat dari mengikuti berbagai majlis Maiyah lewat internet “Saya tiap malam ganya bisa tidur kalau sambil mendengarkan Cak Nun,” ujar Ibu itu dan tampak sangat lega hati beliau karena malam ini bisa bersua.
Kisah-kisah pengalaman Mbah Nun yang tetap membawa keliaran dan kenakalan Jawa-Jombang-Nusantara ke tempat seperti Filipia dan hingga ke baik kumuhnya wilayah Bronx atau megah bekunya New York. Rasanya seperti kosmopolitan dibawa masuk jauh ke jantung-jantung masyarakat pedesaan. Tidak berapa lama lagi trend bernama negara sudah akan berakhir. Kita memasuki era pasca negara dan hanya yang siap dengan jiwa merdeka dari batas geografis imajiner negara yang siap menghadapi era pasca negara. Mereka yang kosmopolit, istilahnya. Namun adakah yang lebih kosmopolit dari manusia desa yang murni?
Mbah Nun mengajak kita malam ini untuk menikmati betapa kuat dan dahsyatnya manusia Nusantara. Namun juga dengan sendirinya, mendorong agar keberdayaan-keberdayaan serta keliaran pikir semacam ini selalu meningkat. Dahsyatnya kekuatan manusia Nusantara itu juga tampak dari bagaimana para jamaah dan para hadirin bertahan di lokasi yang tanahnya basah, berlumpur karena baru saja disepuh oleh hujan. Keliaran dan keistimewaan-keistimewaan kecil seperti ini memang perlu kita syahadati, akui dan kenali betul letak istimewanya agar kita tidak melulu terjinakkan baik oleh negara, sistem pendidikan yang tidak mendidik, patron agamawan, tafsiran mazhab, komandan ormas dan berbagai jenis metode-metode penjinakan lainnya. Di sini keliaran manusia Nusantara tetap mendapat tempat pada situasi global yang sedang umum. Begitulah yang dilakukan dalam berbagai gelaran Sinau Bareng.