Mengingat Kembali Sejarah Salatiga
Rangkaian acara penyambutan mahasiswa baru angkatan 2018/2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga dipuncaki dengan acara Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng (13/08). Dengan mengambil tema Islam Rahmatan lil’Alamin, rektor IAIN Salatiga Dr. Rahmat Haryadi S.Pd mengatakan, “Dalam acara sinau bareng ini, diharapkan mahasiswa IAIN Salatiga bisa membuka cakrawala mereka tentang keislaman dan keindonesiaan.”
Di atas panggung, Pak Rektor duduk di samping Mbah Nun. Keadaan itu mengingatkan Pak Rektor pada kejadian 30 tahun lalu. “Saat itu tahun 1988, saya sowan ke Cak Nun, ikut menyimak diskusi di Patangpuluhan. Saat itu saya masih mahasiswa sowan ke Cak Nun untuk meminta nasihat tentang pergerakan mahasiswa. Ternyata kejadian itu berulang sekarang. Saya dipertemukan lagi dengan Cak Nun.”
Menurut Budiman Sudjatmiko, dalam novel biografinya “Anak-anak Revolusi” jilid I, pada periode 1980-1990-an, Salatiga menjadi “Makkah”-nya pergerakan mahasiwa. Di kota ini tinggal seorang dosen kritis yang selalu menjadi kawan diskusi yang mengasyikan bagi mahasiswa. Orang itu bernama Arief Budiman, kakak mendiang aktivis angkatan 66 Soe Hok Gie. Tentang Arief Budiman ini Mbah Nun berkata, “Beliaulah yang membimbing Soe Hok Gie menjadi pemikir progresif.”
Pada masa itu aktivis-aktivis mahasiswa di seluruh Indonesia, terkhusus di Jawa menjadikan Salatiga sebagai tempat pertemuan diskusi menyusun pergerakan. Arief Budiman bisa dikatakan menjadi “Bapak” bagi aktivis mahasiswa. Pak rektor yang juga masa itu kuliah di IAIN Salatiga mungkin merasakan atmosfer kota Salatiga sebagai salah satu kota rujukan mahasiswa untuk menyusun ide-ide progresif.
Kalau mahasiswa di kota lain perlu datang ke Salatiga untuk menambah amunisi semangat. Pak Rektor justru perlu ke kota lain untuk melakukan hal yang sama. Di Yogya, ada pertemuan yang dinamakan Patangpuluhan, yang tak lain adalah ngumpulnya para aktivis di rumah kontrakan Mbah Nun di Patangpuluhan Yogyakarta. Pak Rektor mengikuti pertemuan tersebut, sowan ke Mbah Nun, dan meminta nasihat.
Kehadiran Mbah Nun di IAIN Salatiga tadi malam, mengingatkan Pak Rektor akan posisi kota Salatiga pada 1980-an, yaitu sebagai salah satu tempat bersemainya ide-ide kritis pergerakan mahasiswa. Sayangnya sejarah ini tidak banyak diketahui oleh anak-anak sekarang. Mbah Nun mengingatkan agar hadirin dan para mahasiswa tidak melupakan sejarah Salatiga.
Sebelum datang ke lokasi Sinau Bareng ini, Mbah Nun menjenguk Pak Arief Budiman. Cerita Mbah Nun saat menjenguk Arief Budiman ini memperkuat semua orang yang berkumpul malam itu untuk mengingat sejarah kota Salatiga sebagai salah satu tempat pergerakan, tempat menempa intelektualitas, dan tempat ide-ide progresif berkembang di Indonesia. (Yunan Setiawan)