CakNun.com

Menghadirkan Komunalitas dalam Komunikasi, Menjelang Zaman Generasi Mutahabbina Fillah

Liputan Sarasehan Dies Natalis ke-24 AMIKOM, 20 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 3 menit

“AMIKOM ini tantanan utamanya adalah bagaimana membangun komunalitas dalam komunikasi manusia.” Itu adalah satu dari sekian poin yang disampaikan oleh Mbah Nun pagi itu dihadapan rektor dan civitas akademika Universitas AMIKOM dalam acara sarasehan yang merupakan rangkaian acara dalam memperingati Dies Natalis kampus yang ke-24.

Oleh AMIKOM, Mbah Nun adalah sesepuh yang selalu dimintai pertimbangan, saran dan masukannya. Padahal kita tahu, Mbah Nun tidak berlatar belakang pendidikan teknologi informasi yang menjadi lambaran utama Universitas AMIKOM ini. Tapi rupanya beberapa poin dari Mbah Nun memang sangat berguna karena memiliki kekhasan sendiri dalam melihat berbagai fenomena.

Acara dimulakan cukup pagi, pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober 2018 M di ruangan Cinema di gedung VI, AMIKOM. Baru saja tadi malam, Mbah Nun masih membersamai warga di sekitar Sidoluhur, Godeaan hingga jam 1 dinihari tadi.

Banyak ragam poin bahasan yang dibabar oleh Mbah Nun, tak jarang ruang Cinema bergemuruh oleh tawa para hadirin bilamana Mbah Nun melontarkan candaan-candaan jenaka, kadang dengan kalimat-kalimat pisuhan tapi bukan kebencian, terasa sangat kental kekeluargaan. Sebagai sesepuh oleh keluarga besar AMIKOM, Mbah Nun terasa sebagai sesepuh yang menanggalkan feodalisme dan membangun kemesraan dengan anak-cucu beliau di kampus ini. Walaupun pada beberapa poin, Mbah Nun juga mengajak berpikir lebih jangkep. Misalnya untuk tidak sekadar mengantagoniskan feodalisme tapi juga mengemongi kesadaran yang berlaku di dalamnya. Penghormatan terhadap orang yang lebih tua, dibabar dengan kesadaran positioning diri.

Satu kutipan di paragraf paling atas tadi, mungkin adalah yang rasa-rasanya cukup mewakili bahasan mengenai komunikasi dan teknologi informasi. Melihat dari ekspresi dan reaksi para civitas akademika, tampaknya kita bisa simpulkan sementara bahwa hal semacam ini terasa segar dan baru.

Minimal untuk saya sendiri, fokus pada membangun komunalitas yang komunkatif terasa menyegarkan pada pagi yang saya belum sarapan ini. Biasanya komunalitas saya sangka sudah satu paket dengan komunikasi, ternyata dalam pembacaan Mbah Nun, peradaban kita sekarang sudah memuncak merusak di mana komunikasi berjalan dengan kecanggihan teknologi tapi justru tidak sejalan sebangun dengan komunalitas masyarakat.

Artinya, bila tekonologi informasi dan komunikasi adalah wasilah dan komunalitas adalah ghayah, ada ketidaksinambungan antara washilah dan ghoyah? Jalan dan tujuan. Thoriqot dengan ma’rifat. Mbah Nun membabarkan bahwa semetinya ini berjalan selaras, ketika orang lebih mudah berkomunikasi, efeknya adalah kebersamaan, kemesraan, cinta kasih dan rasa saling mengenal terbangun. Tapi apa yang terjadi sekarang? Malah berlaku hukum, jumlah informasi yang menyebar berbanding lurus dengan polusi informasi.

Sedangkan sosial media dengan berbagai variannya, tidak menjadikan manusia saling mengenal–walaupun pada beberapa kesempatan Mbah Nun juga mengemukakan optimisme pada generasi baru, milenial–tapi sering terjadi manusia melontarkan kata-kata, menebar informasi tanpa kedaulatan.

Banyak sekali kita temukan kepengecutan dalam media sosial. Banyak sekali ketidakmauan untuk bertemu dalam muwajjahah secara offline tapi melempar-lempar status, kalimat yang berdasar anggapan sendiri, dikomentari sendiri sehingga kemudian ketika ada yang tidak sepaham orang sespesies ini, lantas mudah menuduh bahwa yang tidak sepaham dengannya adalah kaum bodoh, tidak tercerahkan dan atau berbagai sifat tak terpuji lainnya.

Manusia sedang terkungkung pada labirin-labirin pikirannya sendiri, kusut dengan struktur pikiran yang gagal menjadi logika utuh dan hingar-bingar dengan capaian renungan yang tidak pernah diuji. Itulah kenapa kita butuh komunalitas, itulah kenapa kita butuh sinau bebarengan. Dan Mbah Nun menyarankan agar AMIKOM menerima ini sebagai tugas menghadapi tantangan peradaban baru.

Kita sedang menuju peradaban yang serba anyar, serba segar, peradaban pasca-negara di mana lahirnya generasi yang “mutahabbina fillah” menggantikan kaum yang akan segera berlalu, untuk hilang lenyap dalam arus sejarah.

Hal lain yang disampaikan Mbah Nun, salah satunya mengelaborasi dari tagline Dies Natalis ke-24 AMIKOM “Continuous Innovation, Collaboration and Creativity”. Yakni seperti dinamisasi manusia yang ditakdirkan hidup abadi. Dari sesi tanya jawab juga Mbah Nun menyampaikan dua pedoman dalam ilmu Maiyah yang sudah menjadi ilmu dasar Jamaah maiyah: ilmu Pengayoman dari Surat An-Nas:1-3 dan Karakter Pemimpin dari Surat Al-Hasyr: 22-23. Dan beragam pembahasan lainnya.

Yang paling penting dari kesemua pembahasan itu adalah bagaimana kita memaknai apa saja yang disampaikan, bukan menunggu Mbah Nun menyampaikan makna dari suatu hal.

Lainnya

Topik