Menggali Otentisitas Diri
Dua tahun sudah Suluk Surakartan lahir menjadi sebuah wadah sinau bareng dan wahana menjalin tali paseduluran bagi jamaah Maiyah di sekitar Solo raya. Ini merupakan sebuah anugerah terindah yang diberikan Gusti Pangeran kepada semua dulur-dulur Maiyah Suluk Surakartan. Dari sebuah wadah ini, banyak sekali yang kita dapatkan dan tentunya itu semua tak ternilai dengan nominal-nominal material. Dari kita mengenal Maiyah hingga saat ini, entah berapa banyak keberkahan yang tercurahkan kepada kita. Tentunya itu yang mengetahui pribadi kita masing-masing.
Pertemuan Suluk Surakartan edisi yang ke-28, bertepatan dengan peringatan 2 tahun kelahiran Suluk Surakartan sebagai Simpul Maiyah. Selain itu juga, ini merupakan bulan kelahiran Mbah Nun yang menjadi salah satu Marja’ Maiyah.
Dengan 2 tahun kelahiran ini, penggiat Suluk Surakatan bersepakat untuk megadakan wilujengan (tasyakuran) di pertemuan Suluk yang ke-28. Susunan acara tersebut tidak jauh berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Hanya saja ditambahi dengan acara potong tumpeng dan dimakan bersama dengan seluruh sedulur-dulur yang hadir. Hal tersebut bertujuan agar rasa paseduluran satu dengan yang lain bertambah nyawiji.
Para penggiat yang pada rapat sebelumnya bersepakat pada hari itu untuk datang lebih awal sebelum maghrib. Datang lebih awal untuk persiapan dan juga dalam rangka buka bersama. Karena saat ini bertepatan dengan bulan puasa.
Namun karena beberapa hal teknis, kehadiran saya telat sekitar 30 menitan dari adzan maghrib, dan segala persiapan sudah hampir selesai. Perasaaan serba salah menghantui. Bagaimana tidak, karena seringkali kita diajari oleh Pakdhe Herman untuk menjadi seorang Ksatria. Dan salah satu fase awal untuk menjadi seorang Ksatria yaitu ditempuh dengan cara menjalankan segala kesepakatan yang telah diputuskan bersama dalam sebuah forum rapat.
Hangatnya Suasana Malam Itu
Suatu nuansa yang jarang saya temukan di majelis manapun itu, ialah nuansa kehangatan paseduluran-nya. Dan itu sering saya temukan dalam Maiyahan, entah itu di manapun tempatnya. Walaupun mereka bukan saudara kandung, namun di antara satu dengan yang lain telah menganggap menjadi bagian dari hidup mereka. Sehingga pola komunikasi yang terjalin cenderung pada keharmonisan. Begitulah yang saya rasakan pada malam itu. Malam peringatan 2 tahun kelahiran Suluk Surakartan.
Setelah sesi ndarus dan shalawatan, dilanjutkan dengan permainan musik blues yang dilantunkan Santo Seytiawan, Klowor, Gema Isyak, dan seorang bule dari California, AS. Duet banyolan antara Santo dan Klowor menjadikan suasana majelis malam itu semakin menambah kegembiraan.
Walaupun Santo mengalami tuna netra, akan tetapi ia tak mengeluh dengan kondisi yang beliau alami. Dan itu tidak mejadikannya untuk dikasihani oleh orang lain. Dengan konsidinya tersebut, malah ia jadikan bahan banyolan pada malam itu. Apalagi permainan keyboard-nya yang ciamik, tak menandakan kalau ia seorang tuna netra. Sehingga para jamaah secara sadar maupun tak sadar terbius akan permainannya tersebut.
Permainan musik blues yang mereka bawakan terus berlanjut sambil mengiringi para jamaah yang sedang melaksanakan makan bersama dari tumpeng yang telah disedikan penggiat. Sebagian besar dari yang hadir malam itu menyantap hidangan tumpeng dengan lahapnya sampai ada beberapa yang tandhuk. Mungkin karena keterbatasan piring yang disediakan, atau memang sengaja, saya melihat beberapa orang bergerombol makan dengan satu piring untuk beberapa orang. Itu syahdunya melebihi judul lagunya Ikke Nurjanah, “Sepiring Berdua”.
Memasuki sesi kedua, Wasis selaku moderator mewakili dulur-dulur penggiat memohon maaf kepada seluruh jamaah yang hadir. Karena pada pertemuan bulan lalu telah menjanjikan mengundang Syaikh Kamba sebagai narasumber pada sinau bareng untuk edisi malam ini. Namun ternyata Syaikh sudah ada undangan untuk menghadiri acara sinau bareng dari sedulur simpul Maiyah Lingkar Daulat Malaya, Tasikmalaya.
Narasi tema Sinapih dimulai oleh Pak Munir dengan menengok tradisi nenek moyang yang tinggi budaya dan spiritualitasnya. Pada hari kelahiran biasanya diisi dengan puasa, prihatin, dan atau laku lainnya. Itu menunjukan mereka paham bahwa pada hari weton atau pada saat tanggal pasaran mereka dilahirkan. Juga menyadarkan mereka adanya beban tanggungjawab yang perlu disikapi dengan prihatin. Pada dasarnya setiap peningkatan atau pertambahan fase setiap tahun disebut ambal warso. Yaitu suatu perubahan yang terjadi setiap saat. Maka dalam tradisi Jawa, nenek moyang kita benar-benar sadar secara berkala untuk menjauh dari keramaian dan cenderung melakukan lelaku prihatin.
Meminjam istilahnya Syaikh Nursamad Kamba, Maiyah itu internalisasi nilai. Yaitu bagian integral yang tidak bisa dipisahkan. Ketika kita hadir dalam acara sinau bareng atau menerima informasi yang bermanfaat, senantiasa diupayakan untuk diproses menjadi laku harian yang bentuknya pun tidak harus sesuatu yang rumit dan susah. Misal bagaimana sebaiknya bersikap kepada keluarga, teman, dan lingkungan kecil sekitar kita. Ketika tidak melakukan internalisasi nilai, sedangkan umur kita terus bertambah, bisa jadi kita hanya bertambah umur tetapi tidak dibarengi dengan kedewasaan sikap dan laku.
Otentisitas Kita, Ya Kita Ini
Mas Harianto yang malam itu hadir juga, mengkontekskan perjalanan Suluk Surakartan dari awal hingga mencapai proses pada saat ini. Jika dua tahun perjalanan Suluk Surakartan ini dikontekskan dengan proses hidup manusia, maka dua tahun ini masih pada fase bayi yang mulai beranjak disapih dari persusuan ibunya.
Atau terkadang karena faktor tertentu, sebelum menginjakan umur 2 tahun sang buah hati malah sudah disapih. Itulah proses biologis yang dialami hampir setiap umat manusia di muka bumi ini. Walaupun setiap umat manusia hampir memiliki kesamaan dalam proses biologis, belum tentu memiliki kesamaan kualitas hidup. Itu semua tergantung pada proses yang dijalankan masing-masing. Bisa saja seseorang yang berumur 17 tahun pola pikirnya lebih dewasa dari pada umur 20 tahun.
Setiap proses hidup ini memerlukan sebuah perjuangan dan ketekuan untuk menjalaninya. Tak serta merta setiap kehidupan dilalui dengan hal yang instan. Karena setiap proses yang instan tidak akan bisa bertahan secara lama. Apalagi bagi yang lalai atau tak waspada akan raihan pencapaian yang dilalui. Seperti halnya idiom yang jamak di telinga kita tentang bayi ajaib. Misalnya saja julukan bayi ajaib dalam kancah sepakbola tanah air bagi Persikota Tangerang. Berapa lama Persikota Tangerang bertahan dalam kompetisi persepakbolaan tanah air? Begitu kata mas Harianto.
Lalu mas Harianto mentaddaburi Quu Anfusakum Wa Ahlikum Naara, bahwa kita disuruh oleh Gusti Pangeran untuk memperbaiki dulu diri kita masing-masing. Setelah urusan diri kita selesai baru meluas ke keluarga, lingkungan sekitar kita dan seterusnya. Sedangkan pada Afala tadzakkarun, ia memiliki pemahaman bahwa kita disuruh untuk menggali potensi atau jati diri yang kita miliki. Dalam wilayah proses pencarian jati diri atau mencari takdir kita dari perjanjian yang agung dengan Gusti Pangeran. Ya nek semisalnya kita ditakdirkan sebagai orang Jawa, ya Jawa kita dijadikan sebagai alat untuk mengapai kesempurnaan proses hidup kita sebagai manusia.
Senada dengan uraian yang disampaikan Harianto, Pakdhe Herman menyitir salah satu ungkapan Jawa dahulu, wong jawa kari separo, cino londo kari sejodo. Ungkapan ini memiliki makna yang begitu mendalam dan sesuai dengan konteks masyarakat Nusantara pada saat ini. Sebab mayoritas masyarakat kita saat ini telah melupakan kebudayaan yang telah diwariskan leluhur. Misalnya saja dalam sesrawungan sehari-hari, banyak yang tak tahu tentang tata krama, subasita, dan unggah-ungguh. Itu merupakan sebuah indikator kemunduran budaya yang memprihatinkan.
Pakdhe Herman selalu membuat tembang dan menyanyikannya di hadapan para jamaah. Hal tersebut merupakan salah satu sumbangsih beliau dalam setiap pertemuan rutin Suluk Surakartan. Dan tembang yang beliau tembangkan malam itu ialah tembang asmaradhana. Kado untuk Suluk Surakartan yang baru berusia 2 tahun. //Wus rong tahun hanekani //Yuswo suluk surakartan //Ngemban dawuh parentahe //Ainun najib guru niro //Ingkang tuhu waskitho //Mugiyo tetep lestantun //Lan mugi biso ngremboko //Piwulang //Pomo ojo kongsi lali //Piwelingku marang siro //Ojo podho dilaleke //Nganggoo teken budaya //Mrih luwes lakuniro //Ngati-ati datan katun //Agama lelandhesaniro.
Pak Munir memantik para fasilitator dengan menceritakan cerita para leluhur kita dahulu tentang pemahaman akan siklus kehidupan. Dari pemahaman tersebut, mereka mampu meramal sesuatu yang belum terjadi. Misalnya saja tentang masa depan Nusantara kelak. Simbah-simbah kita dahulu sudah mampu memprediksi fenomena apa yang terjadi saat ini. Hal tersebut bisa terjadi karena para leluhur kita mampu menginternalisasi dirinya. Kemampuan tersebut, menandakan bahwa para leluhur kita telah mengerti jati dirinya. Atau mungkin mereka sudah mengetahui isi perjanjian yang agung dengan Gusti Pangeran.
Sangu Untuk Hidup
Banyak orang mengatakan bahwa bumi nusantara ini merupakan cuilan dari surga. Atau menurut indentifikasi Arysio Santos dalam bukunya Atlantis, bumi nusantara ini bisa saja merupakan atlantis yang hilang, seperti cerita dari Plato seorang filosof Yunani. Dengan segala kekayaan yang dimiliki Nusantara, memiliki kemiripan dengan Atlantis dalam cerita kuno tersebut. Mas Sigit salah satu narasumber dari Banyuwangi, yang memiliki spesifikasi keilmuan dalam wilayah arkeologi, tak menolak pandangan kalau Nusantara itu adalah negeri Atlantis yang disebutkan oleh Plato. Hal tersebut bisa ia buktikan dengan berbagai pengalaman penelitian yang telah ia lakukan selama ini. Berbagai tempat di seluruh penjuru dunia telah ia teliti semasa ia masih aktif menjadi anggota istimewa atau tim peneliti di bawah naungan UNESCO.
Beragam situs purbakala telah ia temukan di berbagai negara yang telah ia teliti. Dari berbagai situs yang telah ia temukan tersebut, beberapa hasil penemuannya memiliki kesamaan dengan situs atau artefak dari bangsa Jawa atau Nusantara. Namun dari semua atefak penelitian yang telah ditemukan yang memiliki atau berbau Jawa selalu disembunyikan oleh UNESCO. Entah motif apa yang mereka lakukan. Mungkin saja mereka ingin menutupi bahwa nusantara pernah memiliki peradaban yang maju dibandingan dengan peradaban-peradaban bangsa lainnya. Dan tak ingin kemajuan peradaban nusantara pada zaman dahulu diketahui oleh seluruh penjuru umat manusia di muka bumi ini.
Hal tersebut merupakan salah satu faktor pemicu kenapa ia keluar dari tim peneliti yang berada di bawah naungan UNESCO tersebut. Meskipun ia telah bergabung menjadi tim peneliti UNESCO selama 18 tahunan dan gaji yang tinggi.
Dari berbagai penelitian yang telah ia lakukan di bumi Nusantara ini, sebenarnya masih banyak sekali situs yang belum diketahui oleh publik atau bahkan peneliti-peneliti lainnya. Dan situs yang ia temukan tapi publik belum mengetahuinya, banyak sekali artefak yang jauh lebih besar daripada artefak atau sumber daya alam yang telah diketahui publik saat ini. Hal tersebut terjadi, kemungkinan besar sengaja disembunyikan oleh para leluhur kita. Sebab, mereka telah mengetahui masa depan Nusantara saat belum pantas untuk mengelola kekayaan alam yang melimpah di bumi Nusantara.
Menurutnya salah satu cara untuk menggali dan mengelola potensi SDA tersebut ialah dengan cara kita kembali belajar menjadi diri kita sendiri. Atau menerapkan kebudayaan yang telah kita miliki sejak dahulu kala. Karena hampir segala situs yang telah ia ketemukan di bumi Nusantara ini, ia lakukan dengan mengunakan metode yang kebudayaan Nusantara miliki. (Wahyudi Sutrisno)