CakNun.com

Mengerjakan Islam (dan) Nusantara

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 5 menit

Islam dan Nusantara, punya banyak sisi perjodohannya. Bisa disebut saking cocoknya, jadi seperti botol ketemu tutup sehingga menjadi kurang enak didengar kalau kita sebut jadi “Botol bertutup” atau “Tutup berbotol”. Tutup botol itu satu benda, tapi botol tutup? Analogi sekedar bermain kata-kata ini tentu jauh dari substansi. Istilah anak gaul wal galau “Karena terlalu dekat jadi ndak bisa jadian” (abaikan analogi yang ini).

Bisa kita ambil satu kesamaan lagi bila kita persempit. Yakni tidak ada pihak yang bisa betul-betul berhak mengklaim untuk jadi wakil legitimasi formal dalam dua kata ini. Namun juga, siapapun boleh ikut memberi warna, menyapukan impresi serta menyumbang pemaknaan padanya dan mengerjakannya dengan aktif kalau dua kata ini tetap dimaknai sebagai kata kerja. Ya Islam, ya Nusantara. Dalam Islam, hanya Rasulullah Saw legitimasi jasadiah manusia. Selebihnya sekadar pendapat dan tambahan data pendukung.

Al-yawma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ni’matii warodlitu lakuumul islaama diina“. Konon dengan bahasa akrab kita berarti: “Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu dien-mu, dan telah Aku sempurnakan nikmatKu dan Kuridloi Islam sebagai dien-mu”.

Ayat tersebut yang turun paling akhir dalam kronologi ayat-ayat kitab suci, bisakah kita tadabburi sebagai pengesahan serah terima sesuatu bernama dien yang bersifat Islam?

Serah terima? Dari siapa ke siapa? Nampaknya dari Subjek Maha Subjek Tunggal kepada Kamu yang jamak. Dengan ayat itu berdirilah, tegaklah, melangkahlah dan dimulailah secara formal proyek kerja peradaban bernama Islam. Ayat ini menjadi salah satu titik pembeda Islam dengan sistem kerja tauhid sebelum-sebelumnya.

“Islam” adalah satu-satunya yang diberikan label tidak berdasar nama tokoh maupun wilayah, maupun dari pandangan komunitas lain di luarnya. Maka ayat ini menjadi pembeda antara dien dan agama; sebagaimana agama yang dipahami oleh sementara orang pada masanya dan masa sebelumnya, dan mungkin juga hingga saat ini.

Namun lagi-lagi ini juga sekaligus penegasan bahwa setiap orang yang terangkum dalam kata kamu jamak itu boleh dan bisa mengerjakan Islam atas peresapannya sendiri-sendiri. Rasanya hal begini tidak ada pada wacana-wacana tauhid terdahulu. Bahwa kemudian tak lama setelahnya Islam kembali dieksklusifkan cara kerja, pemaknaan, serta klasifikasinya oleh elit ulama agamawan, pimpinan mazhab maupun komrad thoriqot, itu adalah perkembangannya saja. Atau memang, itu pentadabburan dari sisi berbeda lagi mengenai Islam itu sendiri.

Tidak semua orang siap merdeka dan mengerjakan kemerdekaan. Butuh kesiapan mental berabad-abad mungkin untuk betul-betul matang mengerjakan Islam. Simpulan sederhana yang bisa kita ambil dari tadabbur ala awam dari ayat tersebut adalah: ayat ini adalah penutup namun sekaligus membuka. Bukan tutup botol atau botol tutup. Bukan.

Nusantara di satu sisi, punya hal-hal kebebasan radikal semacam itu. Banyak tata kelola masyarakat (kemudian kita kenang berdasar data sejarah) seperti kerajaan, kesultanan, kedatuan, kekeratonan dan lain sebagainya yang lahir dari rahim Nusantara. Semua Nusantara, sekaligus juga semua adalah dirinya masing-masing. Tombol “reset” sejarah terpencet ketika meletus Perang Diponegoro banyak data sejarah, naskah, catatan, bukti fisik yang hilang.

Saksi sejarah yang berusia cukup panjang untuk bercerita hingga pada awal 1900-an kemungkinan Eyang Santri Tejamalela di Gunung Salak. Tapi berapa banyak yang bisa disaksikan dan dikisahkan oleh sepasang mata manusia? Berapa banyak distorsi ketika (kalau ada) pencatatan kisahnya dilakukan? Apalagi kemudian nama beliau hanya menjadi sumber legitimasi para tokoh, baik agamawan maupun nasionalis. Bahkan kaum teosof yang juga memberi warna pada spiritualitas kejawen pasca 1800-an (semacam jadi sah ketokohan kalau sudah sungkem pada beliau, dan sekedar itu). Data sejarah bergantung pada apa yang tertinggal, setiap detik berharga, ini mungkin salah satu pesan “wal ‘ashri” pada Nusantara yang asri ini.

Nusantara adalah perjalanan panjang yang masih berlayar, seperti bahtera Nuh yang menampung segala kehidupan. Namun tak jarang memang yang di atas perahu saling ribut hingga membuat kapal oleng bahkan bocor. Bukan saja menampung anak kandung tanahnya, dia menampung pelaut-pelaut Eropa, kongsi dagang. Dibubarkannya Freeport… eh VOC oleh Napoleon yang memulakan infrastrukturisme Daendels, reformasi birokrasi Raffless, rezim-rezim kolonial silih berganti dari yang sangat ramah pada pertumbuhan pergerakan dan pengorganisasian pribumi di era 1900-1930, hingga rezim tangan dingin De Jonge. Kemudian berganti Nippon. Lalu berganti NKRI.

Semua ditampung. Sayang aduhai sayang, ketika akhirnya bentuk nation-state diadopsi menjadi NKRI, itulah proses peradaban ke-Nusantara-an mandek. Tapi ini sudah konsekuensi logis dari bentuk nation-state. Dia memang perlu keras dan beku seperti statue dan statis; tidak (boleh) dinamis.

Konsep ini mengandaikan kebudayaan yang tidak lagi cair, tapi dibekukan bersama identitas individu. Maka memang tidak perlu heran kalau sejak nation-state bernama NKRI berdiri, kreativitas Nusantara mandek, buntu dan tak ada lagi tradisi baru tercipta. Sebab memang, distatiskan.

Banyak budaya terbentuk karena sifat cair era pra nation-state. Artinya, sejak memilih nation-state sebagai patung (statue) sesembahan baru kita, keberhalaan merasuk ke dalam. Dulu manusia bisa membuat petilasannya sendiri. Sekarang hanya mentok mengunjungi petilasan yang sudah ada. Tradisi tahlilan merasuk ke pedesaan tapi kemudian tidak ada kelanjutannya. Semua membeku dalam waktu.

Nusantara hanya dikenang dalam tradisi seremonial dan romantisme. Namanya dipakai di mana-mana tapi tidak dikontinuasi. Rupanya, Islam (dan) Nusantara mengalami nasib serupa: terpadatkan dan terbekukan. Maka dua-duanya tentu perlu dicantolkan satu sama lain, bila memang ingin total menuju kebuntuan demi kebuntuan belaka.

Masa kita jadi pilih kasih sekarang, mana yang tergolong sebagai Islam (dan) Nusantara? Apakah KH Hasyim Asy’ari? KH Ahmad Dahlan? Abu Bakar Baasyir? Syaikhona Kholil? Siapa yang berlegitimasi memilih kasih seperti itu? Padahal dalam Islam dan dalam Nusantara, tidak ada kuasa sah atas wacana kebenaran. Dan padahal lagi, tidak semua orang juga mau dilabeli Islam Nusantara.

Tulisan ini lahir juga ketika dalam sebuah Maiyahan, Mocopat Syafaat Juli 2018 M, Mbah Nun sedikit menggugat “Saya juga mengamalkan semua-semua yang disebut sebagai Islam Nusantara itu, masa tau-tau masuk ke situ?” Kutipan ini, bisa jadi tidak presisi detail per kata dan kalimat, tapi begitulah kesan yang tertangkap.

Jangan-jangan Wali Songo juga ndak terlalu mau disebut Islam Nusantara begitu. Kenapa? Soalnya begini mungkin: versi sejarah yang selalu dikisahkan mengenai masuk dan populernya Islam di Nusantara via Walisongo selalu seolah para wali itu adalah semacam pendakwah misionaris haus jumlah ummat. Sehingga dengan sangat licik menunggangi budaya pop (wayang, gamelan, dll) pada masanya hanya supaya Islam populer. Betapa dangkalnya andai begitu.

Bukankah bisa kita baca begini, bahwa para wali adalah orang yang sangat baik akhlaknya, jembar hatinya, dan wajar sebagai manusia sehingga ya sesekali berkesenian, sesekali bertani, sesekali mengemban tugas kenegaraan. Sehingga kemuliaannya memancar dan memikat, bukan sengaja pencitraan budaya seperti dahulu kala: Caesar menempelkan nama Ra pada nama Jupiter supaya kekuasaan Romawi di Alexandria jadi terlegitimasi budaya.

Masa para wali selicik itu? Ra dan Jupiter itu, dulu ya patung (statue). Alasan Caesar adalah untuk membentengi Alexandria dari radikalis. Terdengar akrab? Toh, siapa radikalis siapa toleran bergantung siapa yang menyamankan posisi budaya dominan kekuasaan dan siapa yang bersikap menggoncang kemapanan. Begitu saja melulu, terus berputar.

Rasanya Sinau Bareng dan Maiyah bukan terusan tradisi berontak atau memesrai budaya dominan. Maiyah melangkah saja. Dia juga terbentuk tanpa tanda tangan maupun pengesahan kolonial (dan atau) NKRI. Di sini kita mulai bekerja dari awal lagi, mengerjakan Islam dan mengerjakan Nusantara, tanpa perlu di-Islam-Nusantara-kan. Walau bila ada yang menyebut seperti itu juga bila bukan untuk kepentingan apa-apa, rasanya tidak perlu terlalu diterima atau ditolak dengan keras. Karena Islam dan Nusantara di Maiyah adalah tugas yang selalu didialektikkan dengan segitiga cinta, dielaborasi dalam realita kontekstual.

Maiyah seperti tradisi baru namun justru kebaruan tradisi adalah khas Nusantara itu sendiri, kan? Cari yang terbaik, gali dengan dalam, luaskan pencarian, belajar sejangkau-jangkaunya.

Islam dan Nusantara itu dikerjakan, tidak perlu urusan soal ingin dikata radikal atau ingin tampak moderat. Mau menampilkan ranah atau marah, sejuk atau hangat. Semua ada konteksnya. Panggonan yang pas tidak bisa satu tok. Keluasan Islam mengerti itu, kedalaman samudera Nusantara paham itu.

Kita yang sibuk berproses dan mengerjakan Islam dan mengerjakan Nusantara, tidak punya waktu untuk membekukan dan meng-Harga-Mati-kan keduanya.

Lainnya

Topik