Mengembalikan Puisi Pada Tempatnya
John F. Kennedy, mantan presiden Amerika mengatakan, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.”
Dalam bahasa Kennedy, puisi diibaratkan air yang membersihkan dari debu-debu yang dihasilkan oleh politik. Puisi juga memiliki tugas mulia, meluruskan kebengkoan politik. Namun akhir-akhir ini puisi dibawa ke panggung-panggung politik. Tentang puisi ini menjadikan gaduh, tuntut menuntut, hingga tuduhan penistaan agama. Puisi telah dikotori oleh politik. Puisi telah dibengkokkan oleh politik.
Perdebatan perihal puisi menjadi mengemuka, memenuhi halaman-halaman muka surat kabar dan viral di media sosial. Tiba-tiba banyak orang merasa menjadi ahli sastra, mereka merasa memiliki otoritas untuk mengutuk-ngutuk, membela dan menuding satu sama lain.
Jauh sebelum perdebatan tentang puisi akhir-akhir ini, Mbah Nun sudah memulainya dengan menulis buku berjudul Sastra yang Membebaskan. Ulasan buku ini ditulis oleh Yudhistira A.N.M. Massardi dan dimuat oleh majalah Tempo pada edisi 09 Juni 1984. Waktu itu Mbah Nun masih berusia 31 tahun. Tampak dalam foto ia duduk di kursi bambu bermain gitar, mengenakan sepatu dan topi. Ia tampak mboys.
Menarik sekali membaca ulasannya Yudhistira Massardi ini. Ia memberi judul ulasannya dengan judul “Bila Gusar Berkepanjangan”. Pengulas bukan tidak setuju dengan sikap Mbah Nun, tetapi ia memiliki perbedaan pendapat. Dari awal paragraf Yudhistira sudah menggoda–jika tidak ingin dikatakan mengejek–dengan kata-kata “seorang yang seolah-olah sedang berjuang”.
Di akhir tulisannya ia mengatakan, “Seandainya musuh-musuh itu dianggap tak ada atau tidak usah digubris saja, maka bukankah sastra (dan juga Emha) akan terbebas dengan sendirinya? Sebab, dengan terus menerus membayangkan diri menggempur “musuh-musuh” dan menuntut mereka untuk takluk dan menempuh jalan sastra selera yang lain lagi, berarti konflik yang tak perlu akan terus berkembang. Kalem sajalah.”
Namun, melihat perjalanan Mbah Nun sampai hari ini, memang sastra dan puisi dalam hidupnya bukan persoalan sepele seagaimana diungkapkannya dalam esai berjudul “Menghadirkan puisi di mana-manapun… Sampai sastra yang membebaskan.” Kesadaran akan kritik dan protes yang terus menerus sebagaimana diungapkan oleh Yudhistira juga menjadi kesadaran Mbah Nun.
Dalam esai sepanjang 20 halaman itu Mbah Nun menerangkan dikotomi puisi yang berkembang di masyarakat puisi pada waktu itu yaitu puisi yang disebut sajak ke luar rumah dan sajak ke dalam rumah. Sajak ke luar rumah dikenal sebagai sajak protes. Dikotomi semacam itu menurut Mbah Nun terlalu menyederhanakan. Menurutnya, puisi memungkinkan ke dalam sekaligus keluar, kontemplatif sekaligus aktif, “Puisi yang keluar rumah tetapi tetap membawa bilik sunyinya” (hal. 115).
Kemudian Mbah Nun dikenal sebagai pembaca puisi protes. Setiap ia naik panggung maka orang-orang yang di hadapannya menunggu ia membaca puisi protes. Mbah Nun merasa diperintah, dituntut, diminta untuk protes. Mbah Nun menyadari itu, ia bukan budak pemuas protes maka ia mengajak berkontemplasi, masuk ke dalam diri.
Perjalanan berpuisi bukanlah perjalanan sepele bagi Mbah Nun. Pada usia itu sebulan sekali setidaknya ia diundang membacakan puisinya sebanyak tiga kali di berbagai kota di berbagai desa. Publiknya bisa anak-anak, orang dewasa, pegawai hingga pernah ia membaca puisi di diskotik di antara kepulan asap rokok, alkohol dan orang menari berjoget sesuka hati mereka. Bagaimanakah cara Mbah Nun memulai sebuah puisi di hadapan mereka yang tidak mengharapkan mendengarkan puisi?
Sikap Mbah Nun berpuisi di diskotik ini pernah menjadi olok-olok oleh teman-teman senimannya, “Emha sekarang elit, emha sekarang elit”. Hal itu terjadi pada akhir Mei 1979. Penyelenggara ingin membuat eksperimen di acara diskotik yang biasanya hanya musik dan jogetan, pada malam itu diselingi oleh puisi. Mbah Nun menjadi kelinci percobaan. Mbah Nun memasuki ruangan yang dingin dan asing bagi dirinya.
Untuk mencuri perhatian, Mbah Nun membaca puisi cinta. Mereka mengira cinta dalam puisi itu adalah cinta antara lawan jenis, muda-mudi, meskipun setelahnya percintaan dalam puisi itu mengalir ke mana-mana. Cinta yang universal, cinta kodok, cinta istri yang merangsang suami untuk korupsi. Yang terpenting adalah mereka terjebak dulu alam pikirnya baru kemudian dibawa ke mana-mana.
Puisi tidak boleh bisu, ia tidak boleh tidak berbunyi. Puisi harus dipersembahkan untuk masyarakat, harus memberi kemanfaatan, harus bersentuhan dan memiliki andil. Jangankan puisi, sedangkan ilmu pengetahuan saja jika hanya berhenti pada ilmu pengetahuan tanpa memiliki kemampuan untuk menyapa masyarakat maka tidak ada artinya.
Melihat apa yang dijalankan oleh Mbah Nun sekian tahun ini maka kata “seolah-olah berjuang” sebagaimana dikatakan oleh Yudhistira pada tahun 1984 dulu saat usia Mbah Nun masih 31 tahun itu sepertinya harus ditelan kembali. Ia manusia konsisten, ia berhenti pada keistiqomahan sebagaimana batu sekaligus mengalir deras membahasai banyak tempat. Apa-apa yang dia ucapkan di buku itu ia pertahankan hingga hari ini.
Mengakhiri tulisan ini akan saya kutipkan pendapat Mbah Nun tentang puisi. Puisi menurut beliau bukanlah hal satu-satunya tetapi unik. “Puisi menumbuhkan suatu sikap sastra yang membebaskan. Pertama membebaskan diri sendiri untuk menjadi otentik dan menguasai semua gerak memilih dan menentukan sikap: yang bagi kita berarti menolak untuk disempitkan dan dimiskinkan oleh berbagai kecenderungan nilai di dalam maupun di luar kasusastraan; kemudian secara sadar meletakkan diri di dalam komitmen dan solidaritas terhadap seluruh permasalahan masyarakat. (hal 120).
Demak, 13 April 2018