Mengarifi dan Menghikmahi Leluhur
Backdrop, Supir Taksi dan Si Pendaki
Tak seperti biasanya pada malam minggu pertama bulan Juli ada pemandangan menarik terpampang di depan Rumah Krinkkronk Mendolo Wonosobo. Ya, memang sedikit unik dan bahkan menimbulkan pertanyaan bagi segelintir orang yang melihat, ketika beberapa penggiat pethekelan memasang backdrop bertuliskan “SabaMaiya” dengan corak Merah putih, tulisan Saba dengan warna Merah dan Maiya berwarna putih. Dari segi warna bolehlah kalau menyebutnya Nasionalis.
Ada hal menarik ketika backdrop itu dipasang, seorang bapak dengan pakaian rapi membawa kresek entah apa di dalamnya bertanya. “Eh, nuwun sewu mas, niku badhe acara napa nggih?” tanya bapak tadi ke saya dengan menunjuk ke arah tulisan SabaMaiya.
Dengan pertanyaan yang tiba-tiba kepada saya, saya hanya bisa jawab spontan, “Nganu pak, acara jagongan.”
Beliau lalu mengiyakan jawaban saya. Lanjut beliau bertanya ngalor-ngidul dan saya jawab sebisa mungkin, akhirnya saya menawari, “Monggo pak pinarak mawon?”
Beliau hanya menjawab, “Pingin sanget nderek jane mas, tapi niki kulo tasih makaryo, mugi wulan ngajeng saget nderek. Kulo pamit rumiyen nggih mas maturnuwun.” Beliau pamit dengan berjalan masuk mobil, yang ternyata bapak tadi adalah seorang sopir taksi.
Lain halnya dengan seorang pemuda yang sedang duduk dengan penampilan seperti pendaki gunung, sedang menunggu temannya. Ketika backdrop selesai dipasang tanpa ragu dia meminta foto kepada kawan saya dengan background tulisan SabaMaiya tadi.
“Mas, mohon izin dan minta tolong buat foto di depan tulisan itu, akan saya kirim ke temanku. Aku dan temanku juga sering ikut Maiyahan.” Pinta si pemuda tadi. Dengan senang hati kawan saya mengiyakan, entah apa yang dibatin kawan saya waktu itu. Namun, saya berhusnudhon saja bahwa kita sering diajarkan untuk tidak ada jarak dengan siapapun. Apalagi si pemuda tadi menyebut kata Maiyahan. Obrolan seanjutnya menjadi semakin hangat. Benar adanya, kata Maiyah memang sesuatu yang unik (ajaib). Kita belum pernah bertemu dengan seseorang, tapi obrolan kita dengan orang itu bisa langsung nyambung. Langsung terasa seperti saudara atau kawan yang sudah lama saling kenal.
Saya juga berhusnudhon juga, bahwa bisa jadi itu sebuah getaran pendaran ilmu-ilmu yang memancar sehingga menggerakan berfoto. Paling tidak dengan wasilah backdrop ilmu-ilmu-Nya memancar pada yang berfoto. Setelah ngobrol panjang lebar, si pemuda pendaki itu berpamitan, untuk melanjutkan perjalanannya ke Gunung Prahu.
Sesi yang Santai Nan Menggembirakan
Seusai beres cawe-cawe persiapan soundcheck dan sebagainya, sesi awal pun diawali dengan nderes secara terpimpin oleh Ardiyansyah, mengistiqomahi nderes Al-Qur`an. Semoga pendaran-pendaran ilmu-Nya memancar dengan wasilah ora ketang sa` huruf yang dibaca. Dilanjut dengan pembacaan doa tahlil mengirim doa kepada para leluhur yang sudah berjasa babat alas Wonosobo.
Sela beberapa saat para dulur-dulur dari Sanggar Jagad Kahyangan (SJK) soundcheck, teman-teman dari Komunitas Jalanan pun urun nomor lagu. Tak main-main, lagu Nike Ardila Bintang Kehidupan dibawakan. Sedulur-sedulur dari Wallahu A’lam Band pun tak mau kalah, mereka ikut tampil dengan mempersembahkan nomor Deen Assalam. Kemudian disusul pembacaan puisi dari SJK.
Tak seperti biasanya, SabaMaiya episode kali ini dipandu oleh mbak Faza. Dengan gaya yang santai dan asyik dalam membersamai menjadi lebih berwarna, penampilan-penampilan pun cukup asyik dan gayeng ketika Mas Joko Sidharta melantunkan sebuah nomor lagu Sugih tanpo Bondho, yang diaransemen apik. Dengan suara khasnya mampu menghangatkan suasana lereng Sindoro-Sumbing. Tak lupa gerakan tari pun mengiringi, yang dibawakan oleh Jeki Cun. Sungguh SabaMaiya kali ini kaberkahan sekali kerawuhan Jeki Cun dan Gus Imron yang datang dari Pemalang.
Babad Wono, Membuka Kehidupan yang Lebih Baik
Sebelum masuk sesi selanjutnya, Sanggar Jagad Kahyangan mempersembahkan sebuah drama dan dilanjut persembahan monolog Jeki Cun tentang Cleaning Service. Wajah sumringah pun terlihat dari para jamaah ketika penampilan dibawakan, sesekali celetukan-celetukan pun keluar menambah kegembiraan bermaiyah.
Sholawat Nariyah terlantun secara bersama-sama membuka sesi kedua, para penggiat pun mulai mengisi panggung. Mas Zuhud langsung mbedah mengenai tema SabaMaiya episode 28, yang kali ini mengangkat tema “Babad Wono”. Sebuah tema yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap sejarah, khususnya sejarah Wonosobo. Sambung menjelaskan mengenai perbedaan Babad maupun Babat. “Babad berarti menceritakan, menjabarkan sejarah. Sedangkan babat dalam istilah Wonosobo adalah nggumbrang atau memangkas.”
“Memang cerita turun temurun tentang Wonosobo sering kita dengar. Tapi mendengar saja rasanya tidak cukup. Kita sebagai generasi masa kini sudah sepatutnya bisa menghikmahi dari cerita-cerita itu. menjadikannya sebagai salah satu pijakan untuk menemukan jati diri, serta menyadarkan diri untuk menganyunkan langkah demi idealitas tujuan masa yang akan datang. Maka malam ini kita sinau bareng lungguh bareng tentang bab itu”, tutur Mas Zuhud memantik diskusi.
Kang Ahmad sebagai moderator sesi kedua lanjut mempersilahkan Gus Imron yang sudah rawuh dari Pemalang. Beliau mengawali dengan nostalgia ketika tinggal di Wonosobo di era 90-an dengan gaya bahasa beliau jamaah seakan-akan diajak seperti memasuki mesin waktu Doraemon untuk diajak ke masa lalu. Lalu bercerita beberapa tokoh seperti Ki Ageng Wonosobo, Sayyid Abdullah Quthbuddin, dan beberapa tokoh lain yang babat atau membuka Wonosobo menyebarkan syiar Islam lewat ajaran tarekat. Menjeda sesi diskusi persembahan puisi kembali dibacakan dengan puisi karya W.S Rendra, “Sajak Orang Lapar”.
Mikrofon pun berpindah, Pak Amirudin, penulis Buku Kolodete 1 dan 2 ikut urun mengenai Babad Wono. “Kalau orang yang mengenal diri sendiri berarti orang yang berkembang, carane urip ya lebih tertata sebab hidup ini sebenarnya hanya menapaki periode-periode, masa demi masa. Kalau kita mengenal masa lalu maka kedepannya di masa kini akan lebih tertata, dan kedepannya di masa mendatang akan lebih tertata lagi. karena itulah pentingnya mempelajari sejarah”, tandas Pak Amirudin singkat.
Menyinggung tema malam itu beliau mengawali dengan cerita dari Kitab Paramayoga karya Ranggawarsita yang di dalamnya menceritakan tentang asal usul manusia sejak Nabi Adam As. Juga menjelaskan mengenai agama Kapitayan dlsb. Pak Amir kemudian bercerita bahwa kita perlu bangga dan mengakui bahwa Wonosobo adalah pusat peradaban besar yang sudah berabad-abad tahun ada, dan menghargai kebesaran masa silamnya.
Meski waktu menunjukan lewat tengah malam, diskusi melingkar sinau bareng malahan semakin hidup. Momor lagu Suci Dalam Debu juga dibawakan dengan aransemen akustik SJK menyusul sesi respons dibuka. Beberapa respons pun bermunculan menanggapi tema kali itu, dari soal ketatanegaraan maupun Dewa dan Dieng, juga seputar dyang atau danyang.
Memasuki pukul 02.00 Gus Jay kembali menyapa dulur-dulur SM, lantas membuka dengan bercerita tentang seorang santri yang meminta ijazah kepada Kyai Kholil Bangkalan yang kemudian diberi ijazah tasrifan Fa’ala-Yaf’ulu-Fa’lan, dan ketika diamalkan terus-menerus sampai di puncak kesadaran, hal ini bukan hal sepele. “Apa yang kita lakukan saat in murni hanya atas berkat jasa mereka para leluhur. Lanjut menyitir dawuh Gusti Allah dalam Al-Qur`an Inna fi qosshoshohum la’ibratal li ulilabhsor di balik kisah-kisah mereka pasti terdapat pelajaran yang dapat kita pahami.”
Lebih lanjut Gus Jay mengurai bahwa, “Sangat luas cakupannya hanya menyebut nama atau jeneng tokoh, dan ketika kita membaca sejarah para leluhur kita yang sudah berjasa seharusnya isin (malu) kalau perlu ndlosor sekalian. Sebenarnya Babad Wono mengambil pada membuka kehidupan yang lebih baik, dalam arti peradaban yang sekarang isinya wong sing ‘ranggenah-nggenah’. Jika berbicara sejarah hanya menguasai menjadi raja, memindahkan kekuasaan, jangan. Sebab untuk menguasai daerah mereka melakukannya dengan arif dan menghargai seluruhnya.”
Ada pernyataan, “Wah, kita ini mewarisi bangsa yang luhur, tapi apanya yang diwarisi? Dan ini merupakan pertanyaan mendasar diri kita ini siapa? Paling tidak kebanggaan itu bukan rasa memiliki tapi rasa melu handarbeni yang paling penting.” Sesekali pertanyaan dilempar ke jamaah sebagai memantik sianu bareng.
Di balik nama pasti ada peristiwa dan itu harus diyakini. Fa’ala-yaf’ulu fa’lan. Dan di balik tiga kata itu ada maksud tertentu. Tetapi diri kita hanya sebatas membaca saja tidak memahami menurut Gus Jay.
Berpacu bahwasanya ini merupakan skenario tuhan. Paling tidak kita ada kesadaran memahami, mengarifi, menghikmahi dan timbul rasa memiliki terhadap sejarah. (Khusni)