Mengaktifkan Teknologi Eling Bèn Waspodo
Seorang gadis muda kelahiran Madiun yang sangat senang mempelajari budaya Jepang tapi tetap membawa kebanggaan sebagai manusia Nusantara dalam dirinya, datang ke Majelis Mocopat Syafaat malam 17 Oktober 2018 M ini. Dia datang sendirian, setelah lama sekali tidak bisa menghadiri majelis yang dia rindukan ini karena kesibukannya bekerja di sebuah warung makan khas Jepang yang membuka gerai di sebuah mall di Yogyakarta. Saya tahu keberadaannya dari status di WA. Sahabat saya ini namanya Jhana. Kalau sedang butuh nanya sesuatu yang berbau kultur Jepang terutama yang berhubungan dengan kultur lokal sini, saya biasanya nanya ke nona kecil ini.
Dari dia juga saya dapat koleksi lengkap anime Cardcaptor Sakura. Iya, saya tahu, seorang pria beristri mengkoleksi Cardcaptor Sakura sangat tidak laki-laki yah dalam konstruksi gender yang patriarki seperti sekarang. Tapi biarlah, saya suka anime itu dibandingkan One Piece atau Naruto.
Sahabat saya ini duduk di depan, karena katanya–melalui WA–kangen melihat Mbah Nun dari dekat. Ada tersiar kabar bahwa malam ini akan datang seorang tamu seniman musik dari Jepang yang merupakan rekan Pak Tanto Mendut. Hal ini saya sampaikan ke Jhana dan tampaknya dia semakin bersemangat. Sayang sekali ketika Pak Tanto sudah di panggung, rupanya ada kabar bahwa sang seniman merasa tidak enak badan karena kelelahan setelah perjalanan dari New York. Tapi Jhana, gadis Madiun ini tetap menikmati suguhan sajian kemesraan dan ilmu malam ini hingga tuntas. Seorang Mas Australia yang juga sempat hadir di majelis ini kembali hadir lagi.
Pak Tanto bersama sahabat-sahabat beliau seorang dalang yang dulu mempersembahkan wayang khasnya yang otentik di tempat ini juga. Ada juga seorang ibu yang mendalami psikologi. Mas Sabrang juga hadir melengkapi dengan logika-logika yang rapi serta sepresisi mugkin. KiaiKanjeng menaburkan nada-nada dan kebahagiaan. Mbah Nun…. Bagaimana merumuskan apa yang dilakukan beliau? Saya rasa Mbah Nun menyuguhkan cinta dan penerimaan tanpa syarat pada semuanya dan itu membuat segalanya bisa kita nikmati sebagai satu kesatuan utuh.
Ibu psikolog sedang membahas mengenai lupa, dalam definisi ilmu Psikologi. Mas Sabrang melengkapi bahwa fenomena lupa belakangan ini makin parah oleh situasi sekitar, yang membuat orang dipenuhi berbagai informasi yang langsung menggantikan informasi sebelumnya padahal belum sempat ditelaah. Mbah Nun sempat memberi komentar bahwa dalam Maiyah yang dibangun adalah kecerdasan kolektif, sementara di luar sana ada fenomena kelupaan kolektif. Saya perlu mengingat-ingat agak keras semua itu, karena setelah menyelesaikan reportase singkat sebelum yang ini, saya sedikit mengizinkan tubuh saya untuk rebah sejenak di musholla. Asyik juga karena dari pintu dan jendela musholla, layar LCD yang menampilkan suguhan dari panggung tampak dengan jelas.
Tubuh saya agak terasa beda seminggu ini. Agak lebih cepat kelelahan. Saya mungkin terlalu banyak meningkatkan porsi latihan cardio atau mungkin ada faktor lain. Jadi saya rebah, sambil (inginnya) mencatat poin-poin ilmu dan kegembiraan yang tersaji dan…. Saya sudah lupa. Saya terkaget ketika denting yang sangat saya senangi mengalun, terasa dekat sekali di telinga. Itu musik pembuka Takbir Akbar. Saya tersentak, dan ketika melihat jam dinding ternyata sudah jam 03.00. inilah sesuatu yang dalam ilmu psikologi Jawa disebut “bleksek” yakni satu kondisi dimana Anda tidak berniat tidur, hanya mau rebahan atau baring sejanak dan tiba-tiba… Bablas!
Saya merasa gawat, karena itu berarti saya lalai untuk tugas melakukan reportase. Agak sedikit lega ketika saya teringat Mbah Nun pernah berkata bahwa, tertidur dalam acara Maiyahan tidak apa-apa, karena walau telinga tidak merasa mendengar tapi sel-sel dan syaraf merekam. Saya coba mengamati tangan dan tubuh saya, hmmm apakah akan terjadi mutasi gen? Perloncatan evolusi sel-sel tubuh? Tiba-tiba dalam imajinasi saya melayang menjadi mutant ma’rifat. Nah, ketika bangun tidur entah kenapa khayalan saya suka aneh-aneh begini yah?
Tentu bukan begitu yang dimaksud oleh Mbah Nun ketika membahas mengenai sel-sel tubuh yang merekam ilmu dan kemesraan. Saya perlu cerita hal ini, untuk pembaca yang budiman ketahui bahwa reportase ini kemudian terbatas, saya segera mengumpulkan bahan-bahan dari ceceran-ceceran catatan, status FB, livetwit, grup WA dan lainnya sebisa saya. Tapi tentu jangkauan pandang saya sangat terbatas, salah sendiri ketiduran.