CakNun.com

Mengaktifkan Teknologi Eling Bèn Waspodo

Reportase Majelis Masyarakat Maiyah Mocopat Syafaat, 17 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 10 menit

Saya punya rekaman sendiri dalam otak saya, siapa-siapa saja sahabat-sahabat dan sedulur-sedulur JM yang rajin meng-update status dan membuat catatan kecil mengenai forum-forum Maiyah, dan untuk itu semua saya berterima kasih. Saya memilih tidak melihat ke video kalau ada yang live YouTube atau IG, karena rasanya catatan akan lebih menangkap nuansa, minimal suasana batin pencatatnya. Video bagus untuk dokumentasi ilmu. Sedangkan saya tipe yang lebih senang memperhatikan arsiran suasana dan aliran nuansa.

Nasionalisme Boleh Saja, Kosmopolitanisme Maiyah

Secara garis besar kalau kita lihat, sejak awal acara kita sudah disajikan perjalanan seorang seniman Jepang walau batal menghadiri majelis ini, dia baru saja dari NY. Ada Mas Bredd dari Australia, ada Pakde Herman (entah naik ke panggung atau tidak tapi saya sempat lihat di sekitar musholla) lantas pembahasan mengalir dari soal hubungan dengan alam, negara, psikologi hingga tembang-tembang Jawa mengalun. Saya mau bilang, sadar atau tidak, kita di Maiyah ini terbiasa berpikir kosmpolit. Tapi beda dengan kosmopolit tradisional seperti era Diogenes.

Dulu kosmpolitanisme sangat ditentang oleh founding father-nya NKRI. Coba lihat catatan-catatan Bung Hatta, misalnya. Kosmopolitanisme dianggap perusak dan penghambat nasionalisme. Tapi kalau mau jujur, sebenarnya bagaimana bisa ada nasionalisme tanpa kosmopolitan-internasionalisme? Sejarah manusia tidak pernah terpisah satu sama lain, kita sebagai warga dunia mengalami sejarah bersama-sama hanya kadang beda kubu saja.

Apa yang kita sebut nasionalisme, sesungguhnya bila kita genealogikan baru ada ketika Revolusi Perancis menuntut pada kesetaraan dan pemerintahan yang bersih-transparan. Sepuluh tahun berjalan Revolusi Perancis maka lahirlah sosok Napoleon, dia mengembangkan ide ini menjadi cikal-bakal pemerintahan ideal dan menularkannya pada berbagai negara di Eropa. Dari situ diperkenalkan sistem pencatatan sipil, kartu identitas berdasarkan loyalitas pada negara, juga pencatatan bukti-bukti kepemilikan. Kalau kalimat sebelum ini agak susah dicerna, singkatnya begini: itu semua cikal bakal kita punya KTP, SIM, STNK, Surat Tanah dan lainnya, tonggak-tonggak modern society.

Jauh sebelum itu, konon Mataram Kuno sebenarnya sudah punya sistem pencatatan sendiri untuk warganya. Tapi karena sistemnya jemput bola, dia lebih diklasifikasikan sebagai sensus daripada pembentukan identitas. Pencatatan pada Napoleonian, tujuannya salah satunya memang pembentukan identitas; Anda orang mana, beragama apa, lahir di mana, ber-nasionalisme apa. Supaya jelas, anda kawan atau lawan, begitu. Sistem pencatatan sipil ini dibawa ke Jawa oleh Dandels, karena dia memang ditugasi mengurus persoalan di sini setelah Napoleon berjibaku membubarkan VOC dan menduduki Belanda.

Kesadaran serupa juga terbawa oleh imigran-imigran generasi agak awal yang berpindah ke benua Amerika. Percampuran ide-ide revolusi Perancis, semangat reformis Protestan, aristokrasi Inggris dan jiwa petualang para imigran (sebagian kriminil) itu yang akhirnya menelurkan ide dekolonisasi. Kesadaran sebagai koloni yang lepas dari induknya. Ide dekolonisasi ini ketika Amerika bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru yang tertular pada kaum gerakan generasi awal dan diracik, diramu dengan kata-kata sendiri. Apakah itu “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” kalau bukan aplikasi ide “we the people”-nya US? Sebuah konsep yang disusun untuk meyakinkan diri bahwa mereka adalah satu bangsa yang punya pengalaman bersama.

Artinya, ide dekolonisasi barangsur-angsur diterima dan memuncak pada akhir 1920-an, kita sebentar lagi merayakannya sebagai hari sumpah pemuda. Tumbu ketemu tutup pula krisis ekonomi dunia 1930, dan generasi pergerakan 1940 ada sosok Soekarno yang sangat lihai berpujangga dan berorasi. Nippon datang membawa pesan anti Eropa, anti Amerika dan anti renaisance. Artikulasi nasionalisme kita pun putus dari kosmopolitanisme, bahkan kesadaran sebagai warga dunia dianggap lawan wacana dari nasionalisme. Kita perlu ingat bahwa bahkan nasionalisme pun ada sanadnya.

Dulu wajar bila kosmpolitanisme dianggap lawan dari nasionalisme, karena memang kepentingan membangun kesadaran satu bangsa sedang digodok. Tapi kesadaran kosmpolit lahir di Maiyah dengan wajah yang lain, dia tidak memusuhi nasionalisme. Nasionalisme menjadi satu hal yang wajar, tidak ditentang-tentang tapi tidak begitu diberhalakan juga. Dan memang seperti itulah wajarnya, bahwa nasionalisme hanya dan hanya salah satu dari berbagai isme lainnya di dunia. Memeluknya atau tidak adalah sama wajarmya, tapi juga jangan benci-benci betul.

Lainnya

Topik