Meng-Iqra’ Skala Prioritas


Pukul 20.33 WIB, Mbah Nun tiba di lapangan Desa Baron. Entah perasaan apa yang tengah bergetar di hati jamaah–semacam kerinduan yang tidak pernah tuntas. Sinau Bareng merangkum kerinduan itu dalam irama kebersamaan.
Maka, poin pertama yang disampaikan Mbah Nun adalah menegaskan acara malam ini adalah Sinau Bareng–bukan pengajian, ceramah, pidato, atau orasi. Walaupun setiap unsur tersebut dikandung oleh Sinau Bareng.
Konsekuensinya adalah menyusun rangkaian pertanyaan untuk menjadi pijakan bersama. “Anda datang ke acara ini sebagai orang Baron, orang Islam, atau sebagai siapa?,” tanya Mbah Nun. Ini pertanyaan memancing jamaah untuk berpikir tentang skala prioritas.
Simulasi skala prirotas yang dimaksud, misalnya mengapa firman pertama menggunakan kata Iqra’, bacalah, bukan dengarlah, lihatlah, berpikirlah? Atau bagaimana menerapkan matriks hukum Islam tidak sekadar sebagai standar hukum fiqih, tetapi juga sebagai cara memandang untuk mengukur dan menentukan prioritas dari skala wajib hingga haram?

Terkait tema Sinau Bareng: “Nguri Desa dan Bersih Desa”, gagasan, niat, dan tujuan acara ini berhubungan dengan Allah, Rasulullah ataukah dengan presiden? Mbah Nun menyampaikan gagasan secara melingkar agar jamaah yang hadir malam ini memiliki akurasi terhadap skala prioritas.
“Sing sego ojo dikrupukno, sing krupuk ojo disegono!,” tegas Mbah Nun. Maksudnya, yang nasi jangan diberlakukan sebagai krupuk; yang krupuk jangan dimakan sebagai nasi.
Maka, perintah membaca (Iqra’) apabila diberangkatkan dari konteks skala prioritas, sesungguhnya menunjukkan kasih sayang Tuhan kepada manusia. Mengapa? Perintah “bacalah” memiliki konsekuensi lebih ringan dibandingkan perintah “dengarlah” (istami’). Tanggung jawab dari kesanggupan mendengar lebih tinggi dari kemampuan membaca.
Kembali ke soal skala prioritas, bersih desa yang menjadi tradisi warga semestinya juga diselenggarakan oleh negara. Saat ini kita belum memiliki kebiasaan bersih negara, bersih tanah air, bersih bangsa, bersih pemerintah.

Maka, nguri budaya dan bersih desa, menurut Mbah Nun, perlu ditemukan konteks siapa pelaku utamanya? Sambutan dari Hj. Budiati, Ibu Kepala Desa, menyodorkan jawabannya. “Acara ini diselenggarakan untuk menyukuri nikmat Allah Swt,” ujarnya.
Jelas sudah, acara Sinau Bareng Nguri Budaya dan Bersih Desa disubjeki oleh manusia Baron sebagai hamba Allah yang bersyukur kepada-Nya.
Merespons sambutan Camat Baron, Mbah Nun menekankan, ayo belajar bareng, sinau bareng dadi menungsa. Ayo belajar bersama menjadi manusia. Tanda kita sebagai manusia, dan ini prioritas utama, adalah jangkep. Mengapa?
Manusia itu sendiri diciptakan Tuhan secara jangkep. Tidak ada yang ditolak, disingkirkan, diacuhkan. Bhinneka Tunggal Ika mengacu pada ke-jangkep-an semacam itu.

Walaupun bersih desa identik dengan konotasi tradisional dan praktik bernegara identik dengan konotasi modern, bersih negara–apalagi bersih pemerintah–belum menjadi prioritas utama di tengah fakta subordinasi, polarisasi, kiri dan kanan yang semakin membatu, maka malam ini, kita belajar bersama meng-iqra’ skala prioritas.
Polarisasi tradisional dan modern lebur dalam satu cara pandang: berpikir dan bersikaplah secara jangkep sebagai manusia. Ini prioritas utama. (Ahmad Saifullah Syahid)