Menemukan Kembali Ruang Publik di Sinau Bareng
Ruang Publik yang Terbuka
Arus informasi dan diskursus dalam kelompok-kelompok yang sayangnya tertutup, tidak mendapatkan kesempatan dan tempat untuk berinteraksi secara equal dan santai dengan arus informasi lainnya, yang sebenarnya ada di dalam masyarakat. Kalaupun ada interaksi, hampir sebagian besar bersifat konfrontatif dan dalam tendensi yang tinggi.
Media massa mainstream sebagai sebuah media bertemunya informasi dan diskursus menjadi tidak efektif karena persoalan kapital. Lalu media sosial datang menjadi media baru. Sayangnya, percepatan informasi yang mengalir serta keberlimpahan informasi yang ada di dalamnya, tidak memberikan kesempatan dan ruang untuk eksplorasi dan dialog yang egaliter. Sehingga akhirnya didominasi oleh klaim-klaim, propaganda dan agitasi yang semakin memperkeruh suasana.
Belum juga filter bubble pada media sosial juga memberi andil terhadap proses pembenaran secara internal pada setiap pengguna. Rekam jejak interaksi seorang pengguna media sosial digunakan oleh penyedia layanan untuk memodifikasi informasi dan content apa yang disuguhkan kepada si pengguna. Meskipun tujuan besarnya adalah untuk iklan dan komersial, pada konsentrasi tertentu, ini menghadirkan ilusi pembenaran atas pendapatnya sendiri.
Pada titik semacam ini, kekhawatiran Juergen Habermas menemukan koordinatnya. Habermas memprihatinkan ruang publik yang hilang, di mana masyarakat bisa bertukar informasi, menginteraksikan ide dan opininya dengan santai dan tanpa tendensi politis tertentu. Kalau Habermas melihat salon-salon di Perancis dan café-café di Inggris sebagai ruang publik yang hilang, Indonesia punya banyak warung kopi, punya banyak tahlilan dan kenduren, yang bisa menjadi tawaran ruang publik yang terbuka dan egaliter.
Sinau Bareng Sebagai Ruang Publik
Sayangnya, beberapa bentuk ruang publik tradisional kita di Indonesia, semisal warkop, tahlilan atau kenduren mulai diidentikkan dan diberi label pada kelompok-kelompok tertentu. Sehingga menimbulkan kekhawatiran baru mengenai level of acceptance-nya terhadap kelompok lain dan/atau ide lain yang dianggap “berseberangan”.
Tawaran ruang publik yang bisa menampung dan memiliki tingkat penerimaan yang luar biasa jembar adalah yang bisa saya temukan di SInau Bareng. Sebuah kata kunci yang sering disampaikan Mbah Nun dan Mas Sabrang adalah “kesadaran ruang”, yakni mampu dan bisa dimasuki perabot apapun saja. Jadi setiap yang hadir Sinau Bareng, masing-masing datang dengan menyediakan dirinya sebagai “manusia ruang” yang membuka diri terhadap apapun dan siapapun saja, tanpa harus setuju atau sepakat dengan yang lain.
Adagium “wajar dan normal kita berbeda pendapat mengenai suatu hal, namun kita seharusnya bersepakat untuk mempercakapkannya dengan cara yang lebih beradab dan terbuka tanpa harus saling menyalahkan” dijalankan secara “telanjang” di dalam setiap maiyahan.
Menarik benang merah antara penelitian-penelitian mengenai radikalisasi dan ruang tertutup (clustering) hingga ke ruang publik, saya secara subjektif melihat Maiyah dan maiyahan sebagai sebuah metode deradikalisasi sekaligus pembelajaran praktis demokrasi yang terang benderang. Pada ujungnya, maiyahan menjadi sebuah tawaran solusi atas meningkatnya rasa ketidakamanan global (global insecurity) sebagaimana juga disampaikan Mas Ian L. Betts. Lalu di-jlentreh-kan Mas Karim, baik melalui Menek Blimbing di CakNun(dot)com ataupun melalui catatan-catatan dan risetnya di securetnography(dot)com
Dan Sinau Bareng membukakan lebar kedua tangannya dan dengan senyumnya menyambut siapapun dan apapun saja di dalamnya. Senyampang lapangan masih luas, silakan duduk dan ndeprok di mana saja. Atau jika sudah kehabisan tempat untuk duduk, tembok pagar dan dedahanan pohon juga menyediakan dirinya untuk yang ingin hadir. Hal jamak yang bisa ditemukan dalam setiap Sinau Bareng.
Dan berikutnya berpulang pada kita sebagai bagian dari masyarakat, akankah memanfaatkan ruang publik yang tesedia ini untuk saling berinteraksi dan bertukar informasi secara santai dan terbuka. Atau kita yang sudah merasa paling benar enggan memanfaatkannya karena memang kita sudah nyaman di kutub sendiri dan menempatkan orang lain di kutub yang berseberangan dengan kita.