Menemukan Kembali Ruang Publik di Sinau Bareng
Menarik mencermati reaksi Tri Rismaharini, walikota Surabaya, ketika mengetahui kondisi tempat tinggal keluarga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 lalu. Bu Risma, sapaan akrabnya, menyatakan keheranannya karena kondisi ekonomi maupun intelektualitas keluarga pelaku juga di atas rata-rata.
Sedikit mundur ke belakang, melihat angka-angka statisitik pada Global Terrorism Index 2015, kejadian teror dengan korban meninggal tercatat mengalami kenaikan sekitar 10 kali lipat pada abad 21. Yakni dari angka 3329 pada tahun 2000 menjadi 32685 pada 2014. Pada kurun 2013 ke 2014 saja, angka tersebut mencatat kenaikan 80 persen. Bagi para pengamat psikologi sosial, eskalasi semacam ini memantik sebuah keheranan berupa pertanyaan: Bagaimana mungkin (mereka yang disebut) ekstremis melakukan hal sekejam ini kepada sesama manusia? Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka ketika memutuskan dan melakukan tindakan teror yang menjatuhkan korban yang sebenarnya tidak bersalah atau tidak terkait langsung dengan, katakanlah, pembalasan dendam yang dilakukan?
Sebagian besar masyarakat akan dengan sangat mudah dan cepat jatuh pada titik kesimpulan bahwa para ekstremis ini adalah “mereka” yang berbeda dengan yang di luar mereka pada umumnya. Label psikopat nan sadis pun disematkan pada mereka yang mengenakan rompi berisi bom dan detonator eksekusi ini. Sayangnya, klaim dan labelling ini ternyata tidak sepenuhnya benar.
Beberapa penelitian dan eksperimentasi sosial pada kurun 1960-1970 menunjukkan indikator yang mengkhawatirkan. Stanley Milgram dan psikolog Phillip Zimbardo, salah dua yang melakukan penelitian tersebut, membuktikan bahwa mereka yang sama dengan kebanyakan dari kita adalah yang juga mampu melakukan tidakan ekstrem dan teror yang mengerikan, dan bukan hanya psikopat atau orang yang menyimpan anomali kepribadian saja.
Antropolog Scott Atran yang mempelajari penelitian Milgram dan Zimbardo, pada tahun 2010 dalam bukunya Talking to the Enemy, menuliskan bahwa apa yang menyebabkan seseorang menjadi begitu fanatik dan radikal adalah bukan karena anomali kepribadian tetapi pada perubahan dinamis dan cepat pada orang tersebut karena sebuah kelompok di mana ia ada di dalamnya.
Penelitian ini memberikan perspektif berbeda dari kecenderungan terorisme sebelumnya yang menunjukkan tekanan ekonomi ataupun tingkat intelektualitas yang rendah. Meskipun faktor ekonomi dan intelektualitas tidak serta merta bisa diabaikan, namun penelitian di atas menunjukkan bahwa mereka yang terdidik dan mapan secara ekonomi memiliki potensi yang sama untuk melakukan tindakan terror yang tidak terbayangkan sebelumnya. Hanya karena mereka berada di dalam sebuah kelompok tertentu yang bersifat lebih tertutup dari yang lainnya, serta sirkulasi informasi yang mengalir satu arah di dalam kelompok tersebut. Di dalam kelompok tertutup ini, berdasarkan penelitian Milgram dan Zimbardo, yang dominan adalah adanya tokoh yang kharismatik dan/atau titik tuju yang digambarkan sangat mulia dan bernilai tinggi.
Radikalisasi yang terjadi di dalamnya sebenarnya tidak terjadi di dalam ruang sempit kelompoknya sendiri. Namun juga dipengaruhi secara sangat signifikan oleh hubungan konfrontatif antara kelompok tersebut dengan kelompok lainnya di luar mereka. Isu inilah yang terus menerus menjadi racun yang ditanamkan. Bahkan pada beberapa kasus, isu ini kemudian sengaja diciptakan, dieksplorasi dan terus dipertajam.
Di titik inilah, meskipun sebagian besar dari kita berpikir teroris (yang bersifat ideologi keislaman) dan islamophobia yang terjadi, adalah dua hal yang bertabrakan satu sama lain. Sebenarnya kedua hal tersebut sangat berkaitan erat dan membentuk siklus yang menjadikan proses deradikalisasi sangat berat dilakukan.
Hal lainnya adalah di samping hanya mematuhi seruan pimpinannya dan mengabdikan diri untuk tujuan yang dianggap mulia, beberapa aksi teror dilakukan juga untuk memberikan inspirasi kepada yang lain. Ini bisa dipahami karena yang terjadi dalam kelompok kecil ini adalah keberbagian identitas, yang kemudian bisa dimobilisasi secara sistematis dalam bentuk tindakan-tindakan yang destruktif. Baik al-Qaeda maupun ISIS menerapkan strategi ini secara efektif. Keduanya mengesankan keluar dan menekankan ke dalam bahwa apa yang dilakukannya adalah demi masyarakat yang lebih baik–yakni masyarakat yang dinisbahkan kepada masyarakat madani pada masa kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Shahira Fahmi, seorang profesor jurnalisme University of Arizona, dalam analisisnya mengenai propaganda ISIS menunjukkan bahwa hanya 5 persen saja dari propaganda tersebut yang menunjukkan sifat brutal dan sadis. Selebihnya adalah tentang kekhalifahan yang ideal untuk menyatukan seluruh muslim.
Keberbagian identitas ini menjadi polaritas yang makin menggumpal karena kecenderungan kita sebagai bagian dari masyarakat, diperparah oleh mekanisme interaksi sosial dalam dunia maya yang lebih bersifat broadcasting daripada engagement. Berisi posting daripada diskusi, dan dipenuhi komentar dangkal daripada percakapan yang elegan–membuahkan echo chamber yang makin besar, di ujungnya memerangkap kita dalam gelembung persepsi yang mencitrakan pembenaran atas pra konsepsi yang sudah kita bangun sebelumnya.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa dalam memilih pemimpin, baik non formal maupun formal, baik di tingkat rendah sampai negara, adalah tidak hanya tergantung kepada apa yang disampaikannya, melainkan juga dipengaruhi sangat besar oleh pola perilaku dan respons dari mereka yang dianggap lawan. Maka kelompok tertutup semacam ISIS akan cenderung memilih pemimpin yang radikal ketika dunia Barat yang dianggap musuhnya, memilih pemimpin yang mendeklarasikan hal yang radikal pula terhadap mereka. Dan demikian pula sebaliknya. Inilah yang ditunjukkan dari beberapa penelitian Haslam dan Ikla Gleibs dari London School of Economics.