CakNun.com
Wedang Uwuh (62)

Mendhem (Bukan Mendem) Jero

Kedaulatan Rakyat, 23 Januari 2018
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Simbah mengulangi pernyataannya: “Lho, saya tidak pernah konflik dengan Mbah Linus, Ruk! Memang selama sepuluh tahun terakhir sebelum wafatnya Mbah Linus kami diadu-domba, dipertentangkan identitas keagamaan kami. Tapi kami sama sekali tidak pernah meladeni itu. Kami selalu bersahabat sangat dekat, bahkan juga antar keluarga kami…”

Beruk tertawa, “maksud saya yang beredar di kalangan tertentu seperti itu. Saya tidak bilang Simbah bertengkar dengan Mbah Linus”

“Dan lagi”, Simbah menambahkan, “Kamu jangan ladeni yang begitu-begitu. Pokoknya simpan saja informasi atau Isuzu semacam itu. Paling jauh diserap saja fakta-fakta peristiwanya, tapi jangan lantas ikut bertengkar, berdebat, berantem, bahkan hindarkan menilai atau berdialog”

“Lho kok tidak boleh berdialog, Mbah?”, Beruk mengejar.

“Untuk sementara saja”, jawab Simbah, “siapkan diri saja mungkin sampai 50 atau 100 tahun yang akan datang. Kita semua sedang tidak siap berdialog. Masing-masing hanya siap berdiri bertahan dengan kebenarannya sendiri-sendiri. Tidak mungkin dialog dilakukan di antara orang-orang yang tidak mencari kebenaran. Sekarang ini orang omong-omong dengan berbekal kebenarannya masing-masing tanpa bisa ditawar. Banyak orang sudah saling tidak percaya satu sama lain. Ucapan dan pernyataan tidak dipercaya kejujurannya. Semakin banyak orang mengalami trauma bahwa kata-kata yang datang kepadanya adalah tipuan, lamis, munafik, pura-pura, taktik, strategi, menjebak atau memperdaya…”

“Sampai segitunya, Mbah?”

“Kalau kamu belum yakin ya kamu coba saja omong-omong tentang Agama, Pancasila, Negara, Pemerintah, NKRI Harga Mati, Khilafah. Atau bahkan hindari mulutmu jangan sampai mengucapkan kata makar, musyrik, kafir, bid’ah, rezim, radikal, intoleran dan banyak lagi. Kamu bicara gethuk saja, klanthing, klepon, jadah, lalat, nyamuk, bakmi godog, lotek atau high-tech, dan yang semacam-semacam itu”

Tiba-tiba wajah Beruk sumringah. Bibirnya tersenyum lebar. “Kayaknya ada benarnya juga kata-kata Sampeyan Mbah…”

“Orang sedang mengalami ketidakseimbangan kepribadian yang sangat parah. Sikap mentalnya tidak empan papan. Pengetahuan dan ilmunya lurus-lurus dan semakin menyempit. Pandangannya sumbu pendek, bahkan tanpa sumbu. Banyak orang sedang tertimpa epidemi kesempitan dan kedangkalan. Banyak orang tidak bisa membedakan antara kepentingannya dengan kebenaran objektif. Antara nafsu dengan keharusan. Antara ambisi dengan kewajaran niat. Bahkan semakin banyak orang terbalik sikapnya: seharusnya bangga malah malu, semestinya malu malah bangga…”

“Maksud saya bukan itu, Mbah”, Beruk memotong, “Beberapa lama ini saya antara sengaja dan tidak: ikut nimbrung di sejumlah orang-orang tua yang berkumpul…”

Beruk bercerita. Orang-orang tua yang ia maksud adalah seniman-seniman senior Yogyakarta, dari era 1970-an hingga 2000-an. Ada yang dari teater, sastra, musik, tari, senirupa, dan bidang-bidang lain. Beruk diajak oleh seseorang di antara mereka, dan ia diam-diam mendengarkan obrolan dan rembug-rembug mereka.

Intinya dulunya mereka berada dalam suasana tercerai-berai berdasarkan pemetaan identitas seperti yang Beruk konfirmasikan antara Mbah Linus dengan Simbah. Tetapi para Senior itu berkumpul karena sudah mengubur semua sentimen aneh-aneh itu. Mereka menyadari itu adalah bagian dari masa silam yang sama sekali tidak perlu dibawa ke kehidupan senja mereka.

Mereka melebur dalam lingkar persaudaraan sejati, persahabatan murni, perhubungan kemanusiaan dan nurani. Bersama-sama merancang ekspresi, pementasan atau bentuk apapun yang meramu seluruh potensi keindahan di antara mereka tanpa mempersoalkan latar belakang yang dulu memisah-misahkan mereka. Tidak ada lagi trauma golongan, kecengengan kelompok, permusuhan Utara lawan Selatan, kecurigaan dan dengki antara Timur dengan Barat.

Mereka semua rajin berkumpul, mbakmi bersama, ngopi melingkar, karena sama-sama sudah tidak mendem kekonyolan-kekonyolan masa silam itu. Ada sejumlah pementasan teater yang mereka rundingkan untuk dipentaskan bersama, dengan membebaskan diri dari nama kelompok-kelompok yang dulu bersaing dan bersikap lucu satu sama lain. Mereka menyatu kembali sebagai manusia “telanjang”. Melepas kostum golongan, menanggalkan emblem kelompok, menyatu dalam kebersamaan mencari kesejatian hidup.

Kata Beruk, yang terdekat ini dua generasi mikul duwur mendhem jero kakak generasinya. Yakni yang paling senior. Yang paling sepuh. Karya-karya Sesepuh itu disengkuyung bersama. Dipentaskan. Mereka mikul dhuwur. Tentu saja hal yang mereka  mendhem jero adalah kekonyolan-kekonyolan masa silam mereka.

Lainnya

Ki Gedé Kadisobo

Ki Gedé Kadisobo

Ah, pokoknya sangat banyak tokoh-tokoh Yogya yang tidak dikenal oleh generasi sekarang. Jangankan lagi dikenang, dihargai atau dihormati. Terlebih lagi tokoh-tokoh nasional.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Topik