Mendedah Maiyah dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan
Ketiga, dialektika dua dimensi antara kebenaran dan kebaikan itu meniscayakan keindahan. Maiyah meneroka dua hal tersebut sebagai suatu harmoni yang bukan hitam-putih lagi yang ada, melainkan gugusan keanekaragaman kehidupan. Oposisi biner seperti benar-salah dan baik-buruk sangat relatif dan niscaya terkonstruksi oleh pandangan partikular. Maiyah mencoba memperluas dan mencairkan kotak-kotak fragmentaris itu dalam perspektif estetika yang lazim terjadi di dunia. Realitas semacam itu tak mungkin terhindarkan di jagat dunia supaya manusia menggunakan akalnya untuk berpikir.
Maiyah mengakui sumber kebenaran Al-Qur’an secara absolut. Tapi Maiyah tak terperosot ke dalam kubangan tafsir mengenainya yang acap kali diperdebatkan jamak orang. Posisi manusia dan Al-Qur’an bersifat dialektis. Maiyah mengacu pendekatan antardua hal itu melalui metode tadabbur, suatu cara pengkajian privat yang mempunyai dampak kebaikan. Metode tadabbur memberi kesempatan belajar lebih leluasa ketimbang tafsir.
Tafsir memiliki beban ilmu dan pengetahuan yang hanya tercapai bagi segelintir orang. Tadabbur lebih cair, sementara tafsir cenderung padat. Tingkatan ini bukan diposisikan opsional yang satu lebih tinggi daripada yang lain, melainkan menekankan pada kesadaran personal di mana dan bagaimana potensi seseorang sekarang melalui refleksi diri. Walaupun demikian, tadabbur memiliki preferensi rendah hati karena pemahaman seseorang akan teks Al-Qur’an bisa kurang tepat, namun dengan kesadaran melalui metode itu ia punya potensi untuk belajar lebih.
Epistemologi Maiyah juga berpijak pada solusi segituga cinta, yaitu kesadaran tipologis antara Allah swt., Rasulullah saw., dan hamba. Tuhan merupakan faktor primer bersama kanjeng nabi “dalam mengupayakan solusi atas segala permasalahan”. Posisi ini sekaligus sebagai antitesis anggapan sebagian orang betapa Tuhan hanya difungsikan sebagai faktor sekunder dalam rangka pelengkap penderita. Pijakan semacam itu bisa problematik karena Tuhan sekadar dimunculkan ketika manusia dirundung gundah-gulana semata.
Aksiologi Maiyah
Aspek askiologis yang berangkat dari “kegunaan nilai” menempatkan Maiyah berokus pada banyak hal yang tak dapat dikategorikan secara parsial. Bilapun disimplifikasikan supaya terlihat jelas orientasi Maiyah, setidaknya terdapat tiga hal. Pertama, dekonstruksi nilai yang diarahkan untuk “mengurai ulang” kemapanan partikular yang kerap dipandang banyak orang sebagai sesuatu yang baku, mandek, dan absolut. Maiyah menawarkan nilai-nilai atas hasil dekonstruksinya sebagai alternatif diskursus keilmuan. Kedua, perspektif mendedah suatu obyek yang tak hanya melalui sudut pandang, tetapi juga resolusi pandang, jarak pandang, dan sisi pandang.
Titik koordinat memandang sesuatu berkelindan dengan limitasi subyek. Maiyah menyampaikan metode semacam itu supaya tak sempit menyimpulkan sesuatu. Terjerat pada kesimpulan atas premis yang limitatif dan tak representatif akan berimplikasi pada kesimpulan semu. Maiyah, karenanya, memberi sketsa cara berpikir yang jamak keluar dari arus utama. Berbeda pandangan bukan berarti menyimpang, melainkan memiliki preferensi khusus kenapa bisa berbeda. Alasan bisa argumentatif tergantung pada analekta perspektif.
Ketiga, Maiyah secara implisit mengekspresikan budaya tanding atas pelbagai kemapanan atau yang dimapankan secara hegemonik. Maiyah “menelanjangi” kemapanan itu dengan pendekatan struktural, bahkan post-struktural, tanpa harus menjadi strukturalis. Ia hanya difungsikan sebagai metode untuk mendedah relasi obyek dengan “kuasa” obyek lain. Memandang dengan cara ini memberi keluasan perspektif secara komprehensif. Michel Foucault dalam bukunya Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977 (1980) telah menteorikan secara apik kecenderungan tersebut.