CakNun.com

Mendedah Maiyah dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 6 menit
Kenduri Cinta Januari 2016
Kenduri Cinta Januari 2016

Pembagian “dunia” dan “akhirat” sering dipahami sebagai dua komponen yang terpisah dan seakan-akan memiliki demarkasi. Maiyah memandang kedua itu sebagai perjalanan yang kontinu sehingga konseptualisasi akhirat ialah episode integral dari dunia. Keduanya berada pada poros dan pijakan yang sama, walaupun batas “ruang dan waktu” jelas berbeda. Pendeknya, kedua dimensi tersebut dalam pengertian Maiyah tetap disandarkan pada kesadaran sangkan dan paran  manusia.

Titik tolak sangkan dan paran itu menguatkan kembali posisi sentral manusia sebagai khalifah, yakni pemimpin bagi alam semesta—suatu kesadaran universal akan posisinya dalam konstelasi jagat. Pada landasan demikian manusia memiliki kewaskitaan yang bukan seakdar mikro, melainkan makro: ke-aku-an diperluas menjadi ke-kita-an. Itu kenapa manusia Maiyah berusaha menjadi ruang atas liyan, bahkan konsep “mereka” dianggap menjadi kita. Di sini letak kolektivitas yang diorientasikan Maiyah dalam pengertian kesadaran bersama.

Epistemologi Maiyah

Letak epistemologi mempunyai beban verifikatif yang memposisikan apakah dimensi kebenaran yang dianggap benar memiliki metode saintifik agar dapat membuktikan tesis yang diajukannya. Maiyah meletakan ranah epistemologis itu untuk mencapai kebenaran sebagi fondasi eksklusif dan gradual. Pengertian tersebut berangkat dari tiga komponen antara lain kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Pertama, kebenaran yang dicari di dalam Maiyah tak bersifat final karena ia tak lepas dari relativisme siapa yang memandang kebenaran itu sendiri. Agar kebenaran terletak pada sebuah proses maka Maiyah memberi tekanan “mencoba mencari kebenaran” melalui dialektika terus-menerus supaya ketika kebenaran terentu direngkuh, kebenaran dalam skala lebih luas didapatkan.

Proses ini tak pernah final dan dikondisikan agar tak berhenti pada kebenaran pada level tertentu. Maiyah, karenanya, tak berpretensi “mendapatkan kebenaran”, tetapi “berproses mencari kebenaran” — “proses” menjadi pijakan Maiyah supaya berkembang untuk tak letih mencari, menggumuli, dan menikmati suatu pertumbuhan ilmu. Maiyah menghindari status quo kebenaran yang acap digradasi sebagai pembenaran. Metode verifikasi semacam itu terus dilakukan secara personal dan komunal melalui laku. Diferensiasi kebenaran dan pembenaran relatif tipis.

Kedua, kebenaran yang diposisikan secara privat kemudian mesti diekspresikan dalam rangka kebaikan bagi liyan. Analogi kebenaran terletak di dapur agaknya menjadi relevan di sini. Kalau kebenaran terletak di dapur maka kebaikan berada di ruang tamu. Maiyah melompat satu tangga di wilayah kebaikan karena kebenaran, jika dikontestasikan, malah akan menimbulkan friksi. Mempertahankan kebenaran, dengan demikian, ialah sikap ilmu, sedangkan memproyeksikan kebaikan adalah sikap bijaksana. Kebijaksanaan melalui kebaikan itulah yang dikonstruksi Maiyah dalam rangka kehidupan sosial.

Parameter kebaikan bisa beraneka rupa. Yang jelas, Maiyah, di satu sisi, menarasikan kebaikan kepada orang lain karena menyadari kalau mereka memiliki tingkat dan resolusi kebenaran masing-masing sehingga membentangkan sikap kebaikan adalah ciri manusia yang arif dan bijaksana, sedangkan di sisi lain kebaikan meniscayakan kerekatan sosial yang orang lain akan menghormati bila dihormati. Hukum sebab-akibat berlaku di sana.

Lainnya

Topik