Mendatangimu dengan Wirid Padhangmbulan
Delapan tahun lalu, 2010. Awal bulan November tahun itu, Merapi erupsi. Dalam muntahan wedus gembel yang besar, Mbah Marijan dijemput oleh Allah dalam caranya yang unik dan mengandung ilmu tapi sedikit orang mau berendah hati belajar. Orang-orang di wilayah sekitar atau radius zona bahaya, harus dan telah mengungsi. Tidak sedikit hewan ternak mati. Pepohonan rubuh tak berdaya, terutama di wilayah arah barat Merapi seperti Muntilan dan Mungkid.
Selain sibuk bersama Tim SAR DIY, di antaranya ikut naik ke puncak Merapi dan turut menemani proses evakuasi, kelingkaran organisme Maiyah membuat Cak Nun terdorong membekali Jamaah Maiyah dengan sejumlah wirid dan bekal ilmu dalam memahami keadaan saat itu. Wirid yang perlu dibaca untuk memohon perlindungan dari Allah dalam situasi yang berbahaya.
Walaupun hanya ditujukan secara khusus kepada Jamaah Maiyah, waktu itu saya coba membagikan itu kepada salah seorang senior saya yang aktif di salah satu organisasi kebencanaan dan aktif di lapangan. Betapa senang hati senior menerima wirid itu. “Matur nuwun atas kiriman edarannya. Dapat menjadi petunjuk dan pencerahan kepada masyarakat Yogya dan sekitarnya juga kepada saya pribadi khusunya.” Rupanya, wirid seperti ini dibutuhkan juga olehnya.
Saat itu saya berpikir bahwa dengan memberikan panduan wirid yang perlu dibaca pada situasi-situasi krusial seperti itu, Cak Nun menjalankan fungsi kepemimpinan kultural-spiritual terutama bagi Jamaah Maiyah. Suatu hal yang barangkali kurang terlalu ada pada saat itu di tengah-tengah kondisi masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan kepemimpinan semacam itu.
Dan kalau saya ingat, dalam berbagai kondisi, selain menanggapinya dengan lontaran pemikiran, gagasan, atau ajakan buat merenung, ternyata satu hal yang sering Cak Nun berikan adalah wirid. Sebut saja yang belakangan: Wirid Wabal dan Wirid Tahlukah. Sebelumnya lagi ada Sohibu Baity. Dan yang barusan dilatihkan di Mocopat Syafaat kemarin adalah Shalawatun Nur. Awal dipraktikkannya Maiyahan pada 2001 dimulai dengan beliau menyusun paket Wirid Maiyah Nusantara.
Kalau dirunut ke belakang ternyata wirid-wirid dari Cak Nun sudah sangat banyak. Teman-teman mungkin perlu ingat yang namanya Wirid Padhangmbulan (yang kemudian diabadikan dalam album Wirid Padhangmbulan). Wirid ini disusun oleh Cak Nun dan Cak Fuad pada 1998 yakni pada masa-masa krusial-transisi menuju Reformasi.
Cak Nun merasakan situasi di mana suhu politik makin meningkat, krisis ekonomi masih berlangsung sejak 1997, kepercayaan masyarakat pada rezim yang berkuasa sangat anjlok dan tuntutan agar kekuasaan diganti menjalar dan merata ke mana-mana. Situasi sangat tidak stabil akibat tuntutan reformasi terhadap kekuasaan yang sudah terlalu lama bercokol otoriter.
Dalam situasi seperti itu, rakyat juga bisa mengalami kerentanan. Rakyat membutuhkan pegangan. Dan puluhan ribu rakyat yang rutin hadir di Padhangmbulan setiap bulannya saat itu menjadi “pikiran” tersendiri bagi Cak Nun. Mereka harus diberi “sangu” dalam menghadapi keadaan rawan secara politik maupun sosial. Sangu intelektual dan pemahaman sudah diberikan melalui ceramah-ceramah maupun tulisan-tulisan beliau kala itu, juga pernyataan-pernyataan sikap dilontarkan kepada kekuasaan dari Padhangmbulan.
Sedangkan sangu spiritualnya adalah Wirid Padhangmbulan. Dan beberapa wirid yang selanjutnya tergabung dalam album Wirid Padhangmbulan, yaitu Wirid Orang Tertindas, Wirid Keselamatan Hidup, Wirid Sapu Jagat dan Wirid Rejeki Melimpah. Semua aspirasi hati dan batin pada saat itu terangkut semuanya dalam wirid-wiridnya. Wirid Padhangmbulan itu sendiri berbunyi:
Ya Allahu Ya Mannanu Ya Karim
Ya Allahu ya Rohmanu Ya Rohim
Ya Allahu Ya Fattahu Ya Khalim
Ya Allahu ya Rohmanu Ya Rohim
Puluhan ribu orang, orang-orang kecil atau mungkin juga orang sedengan dan orang besar, yang datang dari bermacam-macam daerah, berjubel memenuhi halaman rumah keluarga Cak Nun hingga jalan-jalan dan pinggir sawah dalam forum pengajian Padhangmbulan kala itu khusyuk melantunkan wirid ini. Membuat merinding tubuh dan jiwa. Suasana berbalut atmosfer doa yang murni dan otentik kepada Allah Swt.
Wirid Padhangmbulan adalah salah satu wirid “tua” dan awal dalam sejarah Maiyah, yang dulu disusun sebagai sangu spiritual bagi jamaah dan rakyat dalam menghadapi situasi menjelang berakhirnya Orde Baru. Wirid itu mendatangi lubuk hati mereka, agar mereka bisa melantunkannya di rumah masing-masing.
Kini jika dilihat bentangan panjang ke belakang, tampak jelas bahwa Cak Nun tidak saja menghidangkan wawasan, ilmu, cara berpikir, informasi, kegembiraan, musik, kesegaran, paseduluran, penumbuhan generasi baru, dan banyak fenomenologi lainnya, melainkan bahkan mendatangi jamaah, mendatangi kalian, dengan wirid, dzikir, dan doa. Kita pun lantas menjadi sadar bahwa wirid dan dzikir adalah bagian tak terpisah dari Maiyah. Dengan wirid dan dzikir itu, harapannya, hidup setiap jamaah tak kurang suatu thariqat apapun.
Yogyakarta, 21 Februari 2018