Mempelajari Prasangka di Kenduri Cinta
Kenduri Cinta edisi April 2018 kali ini mengangkat tema “Seribu Bayang Prasangka”, bukan secara khusus untuk merespons isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat tentang fiksi ataupun non fiksi. Tentu saja bukan. Kenduri Cinta terlalu besar untuk merespons isu-isu semacam itu.
Namun, yang perlu diketahui bersama adalah bahwa meskipun tidak spesifik membahas atau merespons isu-isu terkini di masyarakat, pada akhirnya pembahasan diskusi di Kenduri Cinta menjadi jawaban bagaimana kita merespons informasi yang beredar di sekitar kita.
Berbicara tentang Prasangka, Cak Nun sendiri pernah menulis dalam sebuah tulisan yang berjudul “Dinamika Persangkaan”, di mana salah satu kalimat dalam tulisan tersebut menekankan bahwa manusia memang harus bergaul dan mempergauli prasangka. Secara umum, kita mengenal ada prasangka baik dan buruk, atau istilahnya khusnudzon dan su`udzon. Pada Reboan Kenduri Cinta minggu lalu (11/4) pun disampaikan bahwa keseimbangan antara khusnudzon dan su`udzon itu merupakan keniscayaan, karena itulah dialektika yang memang seharusnya terjadi.
Jika terlalu sering berkhusnudzon, maka kita tidak akan terlatih untuk waspada, sementara jika terlalu sering berburuk sangka, maka kita akan berlaku sembrono. Begitu pula dalam setiap kita merespons informasi yang berkembang di sekitar kita akhir-akhir ini. Seringkali kita terlalu cepat memberikan respons atas informasi yang beredar berdasarkan prasangka yang kita kembangkan sendiri tanpa dasar sumber informasi yang kuat. Sehingga akibatnya adalah terjadinya perpecahan demi perpecahan, karena yang ada adalah saling beradu kebenaran.
Sementara masyarakat kita hari ini begitu mendewakan sumber informasi yang berasal dari media massa, di mana sangat sukar mencari kejernihan informasi di media massa hari ini. Apa yang terjadi di media massa kita hari ini, ketika aib seseorang diketahui publik, maka begitu gencar disebarluaskan, seolah-olah sudah tak ada lagi informasi yang lebih penting dari informasi tersebut.
Cak Nun menggarisbawahi bahwa yang terjadi di Indonesia hari ini adalah parade “Rumongso Biso”, sementara sikap yang seharusnya kita lakukan adalah “Biso Rumongso”. Akibat yang kemudian kita rasakan bersama hari ini adalah bahwa banyaknya persoalan bangsa tidak terselesaikan akibat tidak tepatnya orang-orang yang bertanggung jawab menyelesaikan persoalan tersebut. Maka, yang harus kita latih adalah rendah hati, karena itulah sebenarnya yang lebih utama dimiliki oleh manusia ketimbang ilmu. Tanpa adanya sifat rendah hati, sepandai-pandainya manusia hanya akan menampilkan kesombongan.
Kenduri Cinta menjadi sebuah forum yang dihadiri oleh banyak orang di Jakarta, merupakan sebuah fenomena tersendiri. Apa yang dialami oleh orang-orang yang hadir di Kenduri Cinta adalah bahwa mereka merasakan suasana kekeluargaan dan keakraban yang begitu hangat. Semua orang datang dari berbagai latar belakang kehidupan sosial yang berbeda, namun hadir sebagai manusia di Kenduri Cinta. Mereka melepas semua atribut yang mereka pakai, apa itu atribut ideologi, agama, profesi, pekerjaan, pendidikan apapun saja, semua merasa hadir sebagai manusia. Sama, tanpa ada sekat apapun.
Orang-orang berkerumun di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, bertahan hingga menjelang subuh keesokan harinya. Tanpa sedikitpun terlihat rasa bosan. Justru yang tampak adalah wajah-wajah yang semakin segar, tak terlihat sama sekali raut wajah yang lelah, meskipun sejak malam sebelumnya mereka diajak untuk berfikir menyerap ilmu-ilmu yang disampaikan oleh Cak Nun dan narasumber lainnya di Kenduri Cinta.
Suasana seperti itu selalu terlihat pada setiap pelaksanaan Kenduri Cinta bulanan. Kerinduan untuk bertemu dengan saudara yang tidak terikat hubungan darah adalah kerinduan yang hanya terobati pada saat Maiyahan di Jakarta pada Jumat kedua setiap bulannya.
Lazimnya Maiyahan biasanya, Kenduri Cinta juga tidak hanya melulu menyajikan diskusi dan paparan-paparan narasumber. Ada jeda di sela-sela diskusi unuk menyegarkan suasana Kenduri Cinta. Pada edisi April 2018 lalu, Raras Ocvi bersama adiknya tampil memukau membawakan beberapa nomor-nomor akustik di sesi awal setelah penampilan Pantomim dari Reza.
Menjelang tengah malam, El Bams, sebuah grup musik dengan alat-alat yang lengkap membawakan beberapa nomor-nomor kompilasi karya KiaiKanjeng yang diaransemen ulang oleh mereka, meskipun tanpa adanya alat musik gamelan seperti yang ada pada KiaiKanjeng, El Bams dengan apik membawakan nomor “Duh Gusti”, “Hasbunallah” dan “Rampak Osing”. Kemeriahan Kenduri Cinta malam itu dilengkapi oleh El Bams membawakan lagu “Suket Teki” dan “Sayang” karena diminta oleh audiens yang hadir. Sementara teman-teman komunitas Orang Indonesia, membawakan beberapa nomor-nomor karya Iwan Fals menjelang akhir acara.
Orang yang awam terhadap Maiyah, semakin bingung mendefinisikan bentuk forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini. Dikatakan forum diskusi, memang isinya adalah paparan-paparan ilmu dari narasumber yang hadir. Dikatakan ajang pertunjukan kesenian, juga bisa diiyakan karena setiap bulannya mereka yang tampil di Kenduri Cinta selalu berganti dengan warnanya masing-masing. Disebut sebagai pengajian, juga tidak bisa ditidakkan karena ketika jamaah diajak sholawatan pun mereka fasih melantunkan nomor-nomor sholawatan.
Kenduri Cinta malam itu juga dihadiri oleh Syeikh Nursamad Kamba dan Ust. Wijayanto. Keragaman ilmu dan informasi yang disampaikan oleh beliau berdua menambah wawasan jamaah Kenduri Cinta malam itu. Pada akhirnya, setiap yang hadir di Kenduri Cinta diberi kebebasan dalam mencerna ilmu yang mereka dapatkan.
Memang demikian adanya yang terbangun di Maiyahan, kebenaran manusia adalah kebanaran yang relatif, dan setiap manusia memiliki hak untuk menemukan kebenarannya sendiri. Proses untuk menemukan kebenaran haruslah berlangsung secara otentik, dan di Kenduri Cinta serta di Maiyahan umumnya yang ditanamkan adalah mencari yang benar bukan siapa yang benar. (Red.KC)