Mempelajari Darmanto Jatman, Jimatnya Semarang
Bu Mur, istri Pak Darmanto Jatman disertai oleh anak-anaknya berdiri di panggung “Doa untuk Darmanto Jatman” yang diselenggarakan di Kantor Redaksi Suara Merdeka Jalan Pandanaran 2 No 10 Pada Sabtu (20/01) Pukul 20.00 hingga selesai. Di tangannya serangkai bunga warna putih. “Saya bersyukur telah menjadi perempuan pertama dan terakhir bagi Pak Darmanto Jatman. Terimakasih atas bantuan selama 11 tahun Pak Dar sakit”, begitu ungkap perempaun yang telah menemani Pak Dar.
Sebagaimana kita tahu, istri adalah seorang yang sangat spesial dalam diri Darmanto Jatman. Pak Dar, demikian beliau biasa dipanggil, menulis buku kumpulan puisi berjudul “Istri”. Dalam pembuka buku puisinya berjudul Golf Untuk Rakyat, Pak Dar menulis, “Untuk istriku, ibu sajak-sajakku.”
Berikut sajak istri: /isteri mesti digemateni /Ia sumber berkah dan rezeki /(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul) /Isteri sangat penting untuk kita /Menyapu pekarangan /Memasak di dapur.
Acara itu diselenggarakan untuk memperingati tujuh hari meninggalnya Pak Dar, pada tanggal 13 Januari 2018. Acara ini dihadiri oleh teman-teman dan murid-murid Pak Dar baik ketika masih di Yogyakarta maupun ketika di Semarang. Mereka antara lain Eko Tunas, Pak Nurdin, Pri GS, Hendry TM, Agus Dewa, Timur Sinar Suprabana, Gunawan Permadi, Sosiawan Leak, Tanto Mendut, Mbah Nun, dan lain-lain.
Mereka mengungkapkan kesan yang mereka tangkap dari Pak Dar. Rata-rata mereka mengungkapkan tentang kedermawanan, kelembutan, dan kasih sayang Pak Dar. Pri GS menceritakan pengalaman mengharukan ketika Pak Dar mantu, dia menyewa mobil rental dan dikasih amplop oleh Pak Dar. Demikian pula dengan Mbah Nun, beliau menceritakan sering ditraktir oleh Pak Dar.
Sutanto Mendut mengungkapkan bahwa membaca puisi Darmanto maka bisa menjadi filter kata-kata. Menulis itu dipilih diksinya, diperhatikan ketukannya. Menurut Sutanto Mendut jika kita membaca Pak Dar maka tidak ada lagi perdebatan antara pribumi dan non pribumi. Jika kita membaca puisi Pak Dar maka akan muncul kebudayaan Jawa berikut istilah-istilahnya sekaligus bahasa asing serentak dalam satu puisi.
Puisi pria kelahiran Jakarta 16 Agustus 1942 ini juga sangat menyentuh sisi kemanusian, sebagaimana pengakuan Pak Dar selama hidup bahwa bekal terpenting seorang penulis adalah pemahaman tentang manusia, itu alasan mengapa dia mengambil jurusan psikologi saat kuliah. Pola ekpresinya yang unik karena ia berpindah-pindah tempat tinggal. Selain Yogya dan Semarang, Pak Dar pernah hidup di Hawaii, Bali, dan London.
Menurut Mbah Nun jika kita ingin mempelajari tentang Darmanto Jatman maka kita harus bertanya kepada Bu Mur. “Untuk menunjukkan kemuliaan Mbak Mur, dan untuk menunjukkan kemuliaan beliau. Kejembaran samudra hati beliau maka harus ada Darmanto Jatman. Yang melatih Bu Mur ya Darmanto. Kalau tidak ada Darmanto seperti itu apa ya tampak kemuliaan Mbak Mur seperti ini.”
Mbah Nun mengajak kepada murid dan teman-teman Darmanto Jatman untuk mikul duwur mendem jero kepada Pak Dar. Mendem jero itu artinya kita mencari apa saja yang dapat dipelajari dari Pak Dar, entah itu di wilayah seni, budaya, karakter kemanusiaan, atau cara dia membaca puisi. Cari yang baik-baik dari Pak Dar. Yang dipelajari itu seperti dialektika antara puisinya dengan ilmu sosialnya, Mbah Nun mengajak untuk berpikir tentang apa yang perlu dilakukan untuk Pak Dar. “Mas Darmanto tidak boleh mati, Mas Darmanto harus hidup terus dalam cinta kita.”
Mbah Nun menganalogikan antara kitab suci dan kambing. Sebuah Qur`an atau Injil tidak akan ada artinya untuk kambing. Jika masyarakat sudah menjadi wedus maka tidak tahu arti pentingnya seorang Pak Dar. Hal-hal yang bisa dilakukan menurut Mbah Nun misalnya festival puisi Darmanto, festival musikalisasi puisi Darmanto, hingga belajar pemikiran Darmanto.
Mbah Nun menyampaikan kegelisahannya karena kita telah kelihangan banyak tokoh seperti Umar Kayam, Rendra, Gus Dur yang kepergiannya tidak kita hikmai, tidak kita pelajari. Mbah Nun mengungkapkan kesedihannya melihat Gus Dur, Bung Karno, dan banyak toloh lain tidak dihormati sebagaimana mestinya oleh para pewarisnya. Tokoh-tokoh itu hanya dipasang sebagai alat kampanye untuk keperluan kekuasaan. “Aku khawatir, mengko aku ora ono, mengko do kerengan sing ora-ora kae. Apa yang saya lakukan selama hidup menjadi tidak ada maknanya sama sekali.”
Menurut Mbah Nun, Darmanto Jatman adalah jimatnya Semarang baik dalam bidang ilmu maupun kesenian. Maka Pak Dar harus dipelajari semaksimal mungkin. Kitalah yang harus menguri-uri jimat itu karena pemerintah sudah tidak mengerti jimat, sepuan, tidak mengerti rohani. Sebuah agenda harus dirancang untuk Darmanto Jatman agar yang sudah mati itu tidak dimanipulasi dan dieksploitir untuk keperluan-keperluan yang tidak ada hubungannya dengan yang mati.
Dalam kesempatan itu Mbah Nun juga menyinggung tentang kesenian dan kebudayaan yang menjadi arena Pak Dar berkecimpung semasa hidup. Menurut Mbah Nun, Semarang adalah kota yang teruji senimannya. Karena iklimnya tandus maka senimannya mencari jalan untuk menghidupi dirinya sendiri sehingga melahirkan manusia-manusia otentik. “Yang dapat kita pelajari dari Mas Darmanto Jatman adalah orang yang otentik. Puisinya sak karepe dewe tetapi menarik.”
Dalam kesempatan itu Mbah Nun menjelaskan tentang tingkat manusia mulai dari kebenaran, kebaikan, dan keindahan atau cinta. Karena cinta juga Tuhan menciptakan semuanya. Jika kita berdebat tentang kebenaran, benar salah maka Tuhan juga akan mengalkulasi kebenaran dan kesalahan kita. “Sama Mas Darmanto Jatman urusanku cinta. Saya melihat Mas Dar itu melihat pementasan cinta yang luar biasa.”
Mencari Hikmah Dari yang Sudah Pergi
Jika boleh disimpulkan maka ada empat hal penting yang disampaikan Mbah Nun dalam acara “Doa untuk Darmanto Jatman” ini. Pertama, tentang bagaimana kita menghidupkan lagi Darmanto dengan formula-formula yang kita selenggarakan semacam forum, diskusi rutin, membahas pemikiran Pak Dar, dan lain-lain. Formula itu harus dirumuskan oleh kita pewaris-pewarisnya. Akan sayang sekali jika yang sudah pergi tidak kita hikmahi dan pelajari.
Mbah Nun menyampaikan bahwa jangan sampai Pak Darmanto Jatman mengalami nasib sebangaimana kakak-kakak kita yang sudah mati yang lain. Setelah meninggal tidak ada yang merawat pemikirannya. Pak Dar adalah jimat bagi kota Semarang baik dalam bidang ilmu dan budaya. Jimat itu harus dirawat. Saat ini banyak tokoh yang setelah mati malah dieksploitir digunakan sebagai alat pemenangan pilkada seperti Gus Dur dan Bung Karno. “Gus Dur yang tergambar saat ini tidak seperti Gus Dur sebagaimana mestinya. Orang yang menggunakan Gus Dur sekarang bisa saja adalah orang-orang yang dulu menyakiti hati Gus Dur.”
Kedua, Mbah Nun membahas tentang mengapa posisi Darmanto itu penting dan harus dirawat. Peradaban zaman itu bisa diibaratkan sebagai tubuh yang terdiri atas tulang, daging, dan syaraf atau rasa. Saat ini yang diurus hanya masalah daging dan tulang dan tidak ada yang mengolah rasa, maka puisi tidak dianggap penting. Seniman adalah orang-orang yang memelihara manusia. Di sinilah mengapa kita belajar bersama dan mempelajari Darmanto Jatman menjadi penting.
Ketiga, Mbah Nun mengemukakan tentang tiga lapisan otak. Lapisan otak terluar adalah ilmu yang tugasnya mengalkulasi, membedakan benar dan salah, baik buruk. Maka ekpresinya adalah perdebatan di media sosial yang tidak ada habisnya. Meskipun tidak mengetahui apa yang diperdebatkan dan tidak tahu pula cara menemukan kebenaran dalam sebuah perdebatan. Lapisan otak kedua adalah yang mencari persamaan, komprehensi. Sedangkan lapisan otak ketiga adalah cinta, katresnan. “Saya dan Mas Dar ada di level ketiga ini, level cinta.”
Hubungan Tuhan dan manusia juga seperti komposisi otak tadi. Pertama kalkulasi, hitung-hitingan salah benar. Kedua utuh, menyeluruh. “Saya tidak mau di posisi kalkulasi tadi. Saya merasa tidak bisa diandalkan untuk dihitung baik buruknya, maka saya harus pindah ke pasca transaksional yaitu cinta. Saya menikmati cintanya Mas Dar. Pada waktu itu kalau tidak ada Mas Dar yo ora mangan.”
Keempat, Mbah Nun menyampaikan enam tingkat permaafan Allah yang dikelompokkan menjadi tiga tahap. Kelompok pertama adalah ghofur dan ghofar. Jika ghofur adalah kalkulasi Tuhan kepada manusia terkait perbuatannya sendiri yang tidak berhubungan dengan orang lain, maka ghofar adalah permaafan Tuhan yang terkait dengan orang lain.
Kelompok kedua adalah Ar-Ro`uf dan Al-‘Afuw, tingkat ini adalah permaafan Allah karena kesungguhan seseorang, keutuhan hidup seseorang. Sedangkan kelompok permafaan ketiga, yang terdalam adalah Al-Wadud dan Al-Karim, kemuliaan dan kemurahan. “Tidak penting dulu Mas Dar melakukan apa, jika Mas Dar sudah cinta Allah dan Allah cinta dia.”
Lapisan ketiga inilah Tuhan menakdirkan apa saja. Mbah Nun memberi contoh tentang Nabi Nuh, adzab terjadi bukan karena berbuatan manusia yang rusak tetapi karena kekasihnya disakiti. Kaum Nuh diberi bencana besar karena Nuh, kekasih Allah disakiti oleh istri dan anaknya sehingga Allah marah. Mengapa perbuatan manusia sekarang sedemikian bejat dan rusak tetapi adzab tidak datang? Itu karena cintanya Allah kepada kekasihnya, Muhammad. (Muhajir Arrosyid)