Membuka Ruang-Ruang Kontinuasi


Mas Romli menyapa JM dengan lantunan ayat-ayat suci dilanjutkan dengan sholawatan. Entah berapa abad perjalanan yang telah ditempuh oleh kalimat-kalimat ini untuk sampai ke kita sekarang, saat ini. Di Tamantirto, Kasihan, Bantul. Majlis kemesraan kembali digelar seprti tanggal tujuh belas setiap bulannya. Tak ada kelelahan dalam kegembiraan ini, pengetahuan yang bersifat kognisi biarlah kita gali-gali sendiri sesuai kebutuhan dan kapasitas masing-masing. Tapi ayat suci itu melantun khidmat dan gembira, melampaui zaman demi zaman.
Apa sesungguhnya budaya dan tradisi? Kenapa pada masa-masa tertentu, tradisi tumbuh subur namun dimasa sekarang kita hanya jatuh pada romantisme kenangan masa lalu? Apakah tradisi sekedar kebiasaan yang dikenang tapi tidak dikontinuasi? Kapan ini mulai terjadi? Kapan segalanya membeku dan membatu?
Jodho Kemil tampil malam itu setelah ayat-ayat kegembiraan dan sholawat kerinduan melantun, memantul dari mukut ke gendang telinga menghempas ke ruang dan waktu. Jodho Kemil, ini band tradisi atau modern? Andai kita terjebak pada pengistilahan, mungkin bingung saja pikiran dan hilang kesempatan menikmati. Jodho Kemil, saya selalu menikmati penampilan mereka. Alat-alat musik mereka memang akustik yang disebut musik modern. Tapi ada kejenakaan, keliaran dan kekompakan khas manusia Nusantara. Kesederhanaan, bukan presiden sederhana tapi sepele. Justru keseharian, dari Kalijaga sampai pengalaman nginjak bekicot (bikin lagu nginjek cebong dan kampret, boleh mas-mas Jodho Kemil?)
Ini, saya sebut kontinuasi budaya. Bukan sekedar karena lagu pertama yang mereka bawakan berasal dari syair Sunan Kalijaga, kita juga tidak tahu betul karena syair itu juga telah melewati masa-masa pencetakan pada era tertentu.

Jodho Kemil, sepertipun KiaiKanjeng, adalah sekumpulan manusia yang lepas dari kebekuan budaya. Kebekuan yang mungkin bermula ketika tahun 1910 pemerintah Belanda berniat mengikut sertakan Hindia-Belanda sebagai negara koloninya dalam pameran negeri jajahan di Brussel. Satu buku disusun bertajuk Geillustreerd Hendboek Van Insulinde (Illustrated Handbook of Insulinde) karena handbook ini ditujukan untuk memamerkan kekayaan dan kemenarikan negri jajahan. Maka tentu berisi kekhasan pakaian, rumah adat, upacara adat dan sebagainya yang berasal dari penelitian dan pengamatan pada era yang berbeda-beda. Keberagaman fisik yang mampu dicerna oleh mereka.
Itulah kenapa kita lihat ada pakaian adat Nusantara yang masih sangat sederhana dan ada yang sudah sangat rumit, adakah masuk akal bagi kita seorang raja jawa menggunakan kain beludru pada iklim tropis begini? Mbah Nun sering menyarankan kita untuk tabayyun sejarah. Sejarah busana mungkin perlu agak kita seriusi.
Penyusun handbook pameran budaya itu adalah Dirk Van Hinloopen Labberton, seorang pegiat teosof. Teosofi yang berasal dari jatuh cintanya manusia kulit putih pada eksostisme asia, kemudian menjadi dramatisasi spiritualitas, pemahaman shortcut asal welas asih, asal toleran, asal cinta-cinta sufi-sufian tapi kurang jauh jangkau pikirnya. Dia seorang pengagum Kalijagaa Siti Jenar serta pemerhati wayang. Hampir semua naskah Wali Songo diterbitkan atas saran dan dorongannya. Dramatisasi spiritual bermula, dan beberapa aliran spirtual jawa bermunculan, yang sebenarnya hasil dari liberalisme ekonomi.
Dengan penyusunan handbook ini, berangsur-angsur kita mulai menyepakati bahwa diri kita seperti yang ada pada handbook tersebut. Kebekuan itu rupanya baru berlangsung seabad. Sejak itu, budaya kita tidak lagi meruang tapi menjadi perabot pajangan. Itupun, ketika pameran serupa diadakan di Paris, anjungan Hindia-Belanda dengan pajangan rumah Padang, Jawa, ukiran dan patung Bali serta berbagai tarian dan tontonan juga masih mencengangkan mata dunia. Namun jangan terkecoh, sebab tujuan utama pameran ini sejak awal diadakan 1898, adalah demi mengundang investor asing. Justru kemegahan pajangan di Paris itu, kemenangan semu itu, kita makin membekukan budaya kita. Satu keaempatan, anjungan pajangan Nusantara itu mengalami kebakaran tanpa diketahui penyebabnya.
Lanturan di atas cukup panjang untuk ukuran reportase singkat, pengantar. Saya teringat hal-hal ini saat duet redma Mas Jamal dan Mas Helmi telah diatas panggung.

Mas Helmi menyampaikan bahwa momentum tahun baru hijriyah bisa kita gali, penggalian dilanjutkan oleh Mas Jamal.“Kita butuh sifat me-ruang” . Itu kalimat kunci yang membuat saya terhempas pada ingatan soal handbook yang membekukan kebudayaan, menjadi pajangan-pajangan hingga kebanggaan pembukaan Sea Games, apa bedanya? Tapi kita tidak protes apa-apa. Kita tampung segala kekurang-jangkepan. Bahkan menurut Mas Jamal, saking tak mampunya manusia menjadi ruang yang nyaman bagi sesamanya sekarang ini, kalimat meneduhkan seperti “Islam Rahmatan lil Alamin” pun bisa jadi alasan untuk mencela, mengusir dan menghantam yang berbeda.
Pun, kita menampung ruang bernama Pak Titut dari Juguran Syafaat. Kalau Jodho Kemil adalah kontinuasi budaya, Pak Titut mungkin adalah peradaban anarkis yang luas, tak mungkin tertampung keluasan dan keliarannya oleh ormas-ormas maupun NKRI yang beku. Pak Titut yang liar, dilanjutkan oleh akademisi ekonomi kerakyatan. Dari menampung keliaran, kita menampung pagar akademis, menampung berbagai bentuk. Kita latihan menjadi ruang, demi agar Nusantara tetap berlanjut mengarungi ruang dan waktu. Kelak, generasi-generasi baru akan mengingat ini sebagai titik pemecah kebekuan satu abad yang lalu. Maiyah ini, adalah terbukanya ruang-ruang kontinuasi. (MZ. Fadil)