Membentangkan Cakrawala Rindu Berjumpa Kanjeng Nabi Muhammad
“Meh” Mencintai Kanjeng Nabi
Saat jamaah asyik dialog bersama Cak Fuad, pukul 24.00 WIB Kyai Muzamil datang. Ada kesempatan lumayan luang bagi Kyai Muzamin untuk mencermati tema dialog malam itu, sambil tidak lupa nyruput kopi panas. Cak Fuad memintai kepada Kyai Muzamil merespons beberapa hal yang disampaikan jamaah. Sebelas teman-teman jamaah telah tuntas direspon.
Sinau bareng kembali menegaskan model belajar yang tidak lazim ditemui di acara kuliah, seminar, workshop, sarasehan. Butiran-butiran ilmu tidak secara “semena-mena” digelontorkan kepada hadirin. Tidak tiba-tiba “qoolallahu ta’aalaa” tanpa konteks yang jelas. Jamaah diajak setia dan menyetiai tema belajar—walaupun di tengah perjalanan terbuka sejuta kemungkinan pembahasan menyentuh tema-tema lain sesuai batas kebutuhan. Dan satu catatan lagi, buah dari kemanfaatan belajar diberangkatkan dari aktualitas alam berpikir dan kesadaran jamaah. Malam itu Cak Fuad mengajarkan kepada kita bagaimana Sinau Bareng musti dijalani.
Bukan hal yang sulit bagi Kyai Muzamil masuk ke dalam frekuensi yang telah dijalin oleh Cak Fuad. Langsung tancap gas: “Kita adalah sebutir debu di bawah terompah kaki Kanjeng Nabi.” Kyai Muzamil menekankan beberapa hal, yakni sikap saling rendah hati, saling menyadari kesalahan, saling menghargai. Pada kesadaran tertentu beliau menawarkan sikap berani untuk menyatakan kita adalah umat yang paling tidak mengenal Kanjeng Nabi.
“Kalau menulis buku sejarah Nabi Muhammad, pasang judul: Sejarah Paling Tidak Otentik tentang Hidup Nabi Muhammad,” saran Kyai Muzamil. Tentu saja itu lontaran yang “meledek” sekaligus mengkritik situasi kekinian. Orang saling mengklaim kebenaran diri dan kelompoknya—dalam berbagai tema dan dimensi, mulai “cara shalat menurut Nabi”, “berdakwah model Nabi”, “berdagang sesuai gaya Nabi”, “berpolitik sesuai sunnah Nabi”—dengan sikap berpikir seolah-olah kita sangat-sangat mengenal Kanjeng Nabi.
Padahal kita semua, menurut Kayai Muzamil, baru pada tahap hampir alias “meh”: meh Islam, meh shalawatan, meh mencintai Nabi di tengah situasi mayoritas manusia yang merasa sudah alias “wes”: wes Islam, wes shalawatan, wes mencintai Nabi. Saya tersenyum sendiri. Maiyah memang jos dalam memantik asosiasi berpikir. Saya yakin, jamaah tidak asing dengan kosa kata yang disampaikan Kyai Muzamil. Muhammad Saw sebagai cakrawala bagi hidup kita dinarasikan secara jujur dan otentik.
Pukul 02.30 WIB. Jamaah masih segar bugar dan menyala mripatnya. Tidak kurang tidak lebih—harus pas dan empan papan sehingga saya mempersilakan Kyai Muzamil menyampaikan catatan khusus untuk tema Nyinaui Kanjeng Nabi, sebelum kita berdoa bersama. “Gelas sloki teman-teman harus selalu dibuka supaya tetes demi tetes ilmu, hikmah, cahaya dari Allah dan Kanjeng Nabi memasuki kalbu kesadaran kita,” saran Kyai Muzamil. “Jadilah manusia yang menampung, manusia ruang, sebagaimana sering disampaikan Mbah Nun, bahwa masa depan bangsa ini berada di tangan Anda.”
Kita semua berdiri. Cak Luthfi melantunkan shalawat marhabanan bersama jamaah. Momentum ini saya tangkap sebagai adegan yang tidak lazim. Biasanya marhabanan dilantunkan di awal pengajian. Bukan soal awal atau akhir. Namun, malam ini kami merasakan kehadiran Kanjeng Nabi hadir usai semampu-mampu kami nyinauni Beliau. Merasa bersama Kanjeng Nabi semoga menyertai perjalanan pulang teman-teman hingga selamat tiba di tempat tujuan. Senantiasa membersamai Beliau di setiap aktivitas dan di setiap tarikan nafas kesadaran kita.[]