CakNun.com

Membentangkan Cakrawala Rindu Berjumpa Kanjeng Nabi Muhammad

Catatan Majelis Maiyah Padhangmbulan, 22 November 2018
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 7 menit

Mbak Yuli memungkasi kerinduan kepada Sang Junjungan dengan lantunan shalawat. Lengkingan suaranya menandaskan rasa perjumpaan dengan rohani Sang Junjungan. Saya tercenung sendiri. Ash-sholatu wassalaamu’alaika ya sayyidi ya Rasulullah.

Tugas saya yang pertama adalah mbeber kloso untuk teman-teman jamaah. Pesan Mbah Nun di Padhangmbulan beberapa waktu lalu saya gunakan untuk memasuki ruang dialog bersama jamaah. Mari kita berangkat dari kata, ujar saya. Lalu terlontar sejumlah kata dari jamaah terkait “konotasi” yang melekat dengan momentum kelahiran Nabi Muhammad. Beberapa kata itu adalah muludan, tauladan, shalawat, berhala dan seterusnya. Saya ambil dua kata sesuai kesepakatan dengan Cak Fuad: shalawat dan tauladan. Kedua kata tersebut bisa dieksplorasi melalui berbagai sudut pandang, cara pandang, sikap pandang, yang intinya tetap fokus pada tema shalawat dan kisah hidup Nabi Muhammad.

Pintu kedua yang saya gunakan untuk memasuki ruang dan memantik loading berpikir kita semua—sambil tetap mengikuti wejangan dari Mbah Nun—adalah bertanya kepada teman-teman, siapa yang harus berpikir dalam majelis ilmu? Siapa narasumbernya? Tentu saja pertanyaan itu dijawab secara kompak bahwa kita semua adalah narasumber, yang setiap orang menjalankan software berpikirnya.

Tidak butuh waktu lama. Sebelas teman-teman jamaah naik ke panggung. Conditioning sinau bareng berjalan alamiah, jujur dan menggembirakan. Saya mencatat satu persatu apa yang disampaikan teman-teman. Rata-rata mereka mengemukakah kisah hidup Nabi Muhammad. Mulai dari sisi manusiawi Muhammad yang kadang guyon dengan para sahabat, kisah di Thoif, pengertian ummy, hingga kesabaran dan sifat pemaaf Nabi.

Yang menarik adalah dari beberapa cerita yang disampaikan teman-teman jamaah nyaris bukan kisah yang sering kita dengar. Misalnya, ada teman yang meminta konfirmasi kepada Cak Fuad tentang jangan sampai satu tetes darah Nabi jatuh menimpa tanah. Apabila hal itu terjadi niscaya akan tamat alias khatam seluruh kehidupan karena semesta tidak rela kekasih-Nya disakiti.

Tiba waktunya bagi Cak Fuad menyampaikan respon. Ternyata beliau juga mencatat satu persatu poin-poin yang disampaikan teman-teman. Beliau menanggapinya orang per orang, satu persatu, baik menjawab pertanyaan maupun menjelaskan versi kisah hidup Nabi Muhammad. Saya yang duduk di samping beliau menyaksikan adegan ketelatenan dan kesabaran itu.

Dua metode, menurut Cak Fuad, yang perlu dipahami untuk membaca kisah hidup Nabi Muhammad. Yang pertama adalah hadist atau sunnah. Tingkatan hadist shahih, hasan, dloif dengan mencermati siapa perawi hadist tersebut penting diperhatikan. Metodologi ilmu hadist mengambil peranan untuk memotret kisah hidup Nabi.

Yang kedua adalah shirah atau sejarah. Data yang terkait dengan kisah hidup nabi dicatat dan dikumpulkan. Metode ini tidak terlepas dari metodologi riset, latar belakang politik, visi dan misi penulisan shirah, serta beberapa aspek dimensi penulisan sejarah lainnya. Intinya, selama hasil rekonstruksi data tidak melanggar martabat dan kehormatan Nabi, penulisan sejarah itu bisa diterima.

Dialog berjalan dua arah. Usai Cak Fuad menyampaikan beberapa respon, teman-teman tidak sungkan kembali menanyakan beberapa hal yang dirasa belum jelas. Misalnya, peristiwa menjelang di akhir hidup Nabi yang menyebut umatku, umatku, umatku. “Nabi mengucapkan ummaty, ummaty, ummaty bukan saat sedang mengalami sakaratul maut,” jelas Cak Fuad. “Ucapan itu keluar dari bibir suci Nabi sebelum Beliau merasakan betapa beratnya menghadapi maut.”

Di tengah memaparkan pikiran-pikiran yang sarat hikmah, Cak Fuad sempat berhenti beberapa saat. “Bahkan ketika detik-detik awal maut menjelang, Kanjeng Nabi masih sempat memohon kepada Allah. Betapa sangat-sangat berat menghadapi sakaratul maut. Yang paling berat ini timpakan semua kepadaku, pinta Rasulullah, agar umatku merasa ringan saat sakaratul maut datang,” tutur Cak Fuad lirih dan tersendat. “Itu semua dilakukan karena Muhammad Saw mencintai kita semua.”

Cak Fuad diam sesaat. Hening menikam batin. Saya mematung di samping Cak Fuad. Ash-sholatu wassalaamu’alaika ya sayyidi ya Rasulullah...

Lainnya

Topik