CakNun.com

Membangun Peradaban Dari Tembang Dolanan

Dimas Syaiful Amry
Waktu baca ± 6 menit

Dalam dunia pendidikan, ada berbagai metode yang dilakukan oleh para pendidik. Di antaranya adalah metode belajar sambil bermain ataupun bermain sambil belajar. Pada hakikatnya dua macam metode tersebut sama-sama saling mendukung dalam proses belajar anak didik.

Cara ini akan lebih berkesan dalam memori otak anak-anak untuk perkembangan pengetahuannya karena pada usia dini adalah masa-masa perkembangan memori otak sangat pesat.

Bermain bagi anak bagaikan bekerja bagi manusia dewasa. Ada anak-anak yang bermain dengan patut, namun ada juga yang bermain “cukup berbahaya” mereka lakukan sebagai kanak-kanak. Peran pendidikanlah untuk mengawal bagaimana permainan dapat menumbuhkembangkan mereka secara patut dan utuh sebagai anak manusia.

Seluruh potensi kecerdasan anak akan berkembang optimal apabila disirami suasana penuh kasih sayang dan jauh dari berbagai tindak kekerasan, sehingga anak-anak dapat bermain dengan gembira. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang efektif pada anak dilakukan melalui cara-cara bermain aktif yang menyenangkan, dan interaksi pedagogis yang mengutamakan sentuhan emosional, bukan teori akademik.

Khazanah dolanan anak-anak di Nusantara telah ada sejak berabad-abad lampau. Pada zaman ini, khazanah tersebut masih diperlukan sebagai salah satu metode pendidikan sebagai bekal membangun masa depan. Cak Nun dan Kiai Kanjeng sangat memahami akan hal tersebut, itu sebabnya mereka sering membawakan dolanan anak dalam Sinau Bareng seperti Jamuran dan Cublak-Cublak Suweng.

Pada Sinau Bareng di Perum VIlla Jasmine III di Sidoarjo 4 Agustus 2018 lalu, KiaiKanjeng sempat menyisipkan tembang “Jaranan” dalam dolanan.

Jaranan-jaranan, jarane jaran teji
Sing nunggang ndoro bei
Sing ngiring para mentri
Jeg-jeg nong, jreg-jreg gung
Jeg-jeg gedebuk krincing
Gedebug jedher
Gedebug krincing
Jeg-jeg gedebuk jedher

Tembang dolanan “Jaranan” merupakan salah satu warisan pengajaran berciri khas budaya timur, yang berbeda dengan pengajaran budaya barat yang lebih cenderung bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercatat dengan mudah untuk dipelajari seperti adanya. Sedangkan, model pengajaran timur lebih mengarah kepada estetika spiritual, yang lebih banyak dituturkan secara simbol dan kiasan-kiasan.

Maka, sebagai orang timur yang sebenarnya menjadi rujukan orang barat dalam menyusun pengajaran-pengajarannya yang terukur, kita tak boleh kehilangan jati diri kita. Kita mesti peka terhadap segala hal, mampu berpikir dalam dan luas. Tidak terjebak kepada wujud atau materi agar kita mampu menangkap arahan dan pesan pesan leluhur kita. Kepekaan dan dalamnya pemahaman itu bermanfaat sebagai bekal untuk mempelajari peradaban leluhur kita di masa lampau dan mampu mengantisipasi hal-hal yang mengarahkan kita pada keruntuhan.

Melalui tembang dolanan, kita dapat melihat bagaimana leluhur kita membangun peradaban dengan mengarahkan generasi sedari dini, sejak masa kanak-kanak di mana bahkan dalam bermain pun mereka sudah dibekali dengan pesan-pesan yang bermakna dalam. Dari situ kita dapat melihat betapa pahamnya para leluhur kita tentang syarat masuknya ilmu yang tergantung pada suasana hati yang positif seperti keceriaan saat bermain, dan mereka faham bahwa itu semua harus ditanamkan sedari dini. Itu membuat kita melihat bahwa para orang tua atau guru pada zaman dahulu pastinya senantiasa mendampingi anak-anak mereka bermain dan tumbuh menjadi dewasa. Mereka membuat anak-anak hapal di luar kepala akan simbol-simbol, lalu kemudian tinggal menjelaskan pada saat fase menuju dewasa.

Dalam tembang dolanan “Jaranan”, terkandung makna yang sangat dalam tentang pentingnya pengendalian diri.

Di mana arti Jaranan adalah sebuah kegiatan menunggang kuda, dan kuda yang ditunggangi adalah jaran teji, yaitu kuda yang besar dan tinggi.

Sesuai dengan yang disebutkan dalam Al-Qur`an, “Dan Dia menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada bulu yang menghangatkan, dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang, dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan dia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 5-8)

Kuda adalah binatang yang gesit, lincah dan tangguh untuk menjelajah berbagai medan di permukaan bumi ini. Hampir seluruh bangsa di dunia ini menjadikan kuda sebagai kendaraan perang mereka. Allah telah merancang tubuh kuda dengan kokoh dan berimbang untuk menopang ketika dia berlari cepat agar tidak mudah terjerembab. Sementara bentuk lekuk tubuhnya yang proporsional sangat nyaman untuk dikendarai. Bahkan menurut penelitian dapat memberi efek bagus bagi kesehatan punggung penunggangnya.

Allah juga telah memberikan kemampuan penting lainnya pada bulu-bulu kuda. Bulu kuda menjadi semacam thermostat atau alat yang digunakan untuk mengatur suhu tubuh bagi mereka. Tubuh mereka harus terjaga pada suhu 38 derajat Celcius. Untuk memelihara suhu ini, bulu kuda menjadi lebih panjang di musim dingin. Di musim panas, kuda merontokkan bulu-bulunya, dengan begitu suhu tubuh mereka tetap terjaga.

Sifat menarik dari kuda adalah kuda dapat tidur sambil berdiri. Mereka tidak dapat terjatuh karena tulang kaki mereka memiliki kemampuan untuk “mengunci” selama tidur. Berkat kemampuan yang telah Allah berikan pada kuda ini, mereka dapat tidur berdiri dan juga membawa beban berat. Sementara itu, kepala manusia terkulai jika ia tertidur di atas kursi.

Kaki kuda diciptakan tidak hanya untuk dapat membawa beban berat tetapi juga untuk berlari cepat. Tidak seperti binatang-binatang lainnya, kuda tidak memiliki tulang selangka, suatu ciri yang memungkinkan mereka melangkah lebih lebar. Selain itu, terdapat mekanisme pada tulang dan otot kaki mereka yang menurunkan jumlah tenaga yang dikeluarkan ketika mereka berlari semakin cepat dan meningkatkan kemampuan bergerak. Fungsi mekanisme ini mirip dengan gigi persneling pada mobil. Seperti mobil yang beralih pada persneling lebih tinggi ketika semakin kencang, kuda pun beralih pada “persneling” lebih tinggi jika ingin berlari lebih cepat. Sementara tenaga yang diperlukan untuk mendorong menurun, kemampuan geraknya meningkat.

Kemampuan ini diberikan kepada kuda bukan untuk kebutuhan mereka sendiri, melainkan untuk melayani manusia. Dengan kata lain, Allah telah menciptakan kuda dengan kemampuan-kemampuan tadi sehingga mereka dapat melayani manusia.

Kemudian, Nabi memberikan isyarat dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Kuda itu ada tiga macam, kuda Allah, kuda manusia dan kuda syaitan. Adapun kuda Allah ialah kuda yang disediakan untuk berperang di jalan Allah, maka makanannya, kotorannya, kencingnya dan apanya saja — mempunyai beberapa kebaikan. Adapun kuda syaitan, yaitu kuda yang dipakai untuk berjudi atau untuk dibuat pertaruhan. Dan adapun kuda manusia, yaitu kuda yang diikat oleh manusia, ia mengharapkan perutnya (hasilnya), sebagai usaha untuk menutupi kebutuhannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan tentang bentuk pengendalian diri dapat dilihat dalam bait “sing nunggang ndoro bei, sing ngiring para Mentri”.

Ndoro dalam bahasa Jawa berarti tuan atau seorang yang berkuasa. Dan ndoro bei berasal dari kata ndoro kang ngabehi. Ngabehi berasal dari kata dasar kabeh yang artinya semua atau segalanya, ndoro bei artinya seorang yang menguasai segala hal. Senada dengan anjuran Nabi yang berbunyi, “Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah” (HR. Bukhari Muslim). Ngabehi artinya menguasai segala hal seperti fokus dan ketepatan sasaran yang dimaksud Nabi melalui memanah, juga menggerakkan kaki dan tangan agar tak tenggelam, seperti saat berenang.

Kemudian, para Mentri artinya adalah penasihat yang menguasai bidang masing-masing. Nasihat nasihat atau ilmu itulah yang mengiringi seseorang untuk bisa berkuasa dalam mengendalikan diri. Nafs atau nafsu dalam pandangan sufi ibarat kuda liar di dalam diri manusia yang harus dikendalikan.

Sebagai kuda liar, nafsu harus kita kendarai untuk menyelesaikan perjalanan kehidupan duniawi kita. Sebagai perbandingan atau ibarat, kuda adalah perbandingan yang tepat. Karena seekor hewan yang belum dijinakkan adalah kekuatan yang liar dan tidak terkontrol. Jika dibiarkan berkelana ke tempat-tempat yang ia sukai dan melakukan apa yang ia inginkan, maka akibatnya tak lain adalah pergolakan dan kehancuran. Dan jika si pengendara tidak dapat mengendalikannya, maka ia akan lari bersamanya jatuh keluar jalan yang membawanya ke tujuannya dan akhirnya melemparkan dia ke reruntuhannya yang terakhir.

Tetapi jika si kuda bisa dijinakkan dan dengan hati-hati diajari untuk mengikuti perintah tuannya, maka ia akan menjadi kendaraan sehingga ia bisa sampai ke tujuan yang sebenarnya. Jadi nafsu bila dibiarkan liar dan tidak terkendalikan akan membawa manusia ke rimba belantara hawa nafsu dan syahwat yang kotor, di mana ia tidak menemukan tempat istirahat dan berakhir dalam keadaan tertinggal dan rusak. Sementara jika ia menerima pelajaran disiplin dan pelatihan yang panjang, maka ia akan menjadi sahabat dan penolong manusia yang dipercaya untuk memenuhi takdirnya yang paling mulia, yaitu mengenal Tuhan dan bermanfaat untuk tujuan-tujuan-Nya.

Pesan-pesan pengendalian diri itulah yang mengarahkan manusia menemukan profesionalisme dalam hidupnya, melalui profesi apa pun manusia dapat menunggangi dan mengendalikannya untuk menuju kepada Allah.

Begitu juga dalam pemerintahan, seorang ndoro atau penguasa yang memahami pesan dalam tembang dolanan jaranan seharusnya memiliki kemampuan yang komprehensif dalam menjalankan pemerintahannya, bukan hanya bermodal dandanan atau hiasan-hiasan tanpa isi.

Dari tembang dolanan tersebut, dapat lahir seorang penguasa yang mampu mengendalikan tunggangannya. Bukan seorang yang berkata “bukan urusan saya” dalam menghadapi dialektika pemerintahannya yang disebabkan oleh menteri atau penasehat yang memberi solusi jauh dari akar permasalahan. Seorang ndoro bei adalah penguasa yang menunggangi, bukan ditunggangi. Yang mengendalikan tunggangan, bukan yang kelimpungan mencari alasan untuk menutupi bahwa ia telah menjadi tunggangan.

Dengan kuda, Allah pun telah mengingatkan manusia agar terhindar dari sifat kufur dan aniaya. “Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada? Sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Adiyat: 1-11).

Sebagai generasi penerus, kita diharapkan untuk terus mampu menggali warisan-warisan kearifan dari leluhur agar tidak terkubur semakin dalam oleh kecenderungan materialisme. Itu adalah harta karun yang harus segera diangkat dari timbunan-timbunan pembodohan agar menjadi bekal kita dalam membangun peradaban menuju kejayaan kembali Nusantara.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yg kamu sanggupi dan dari (pemeliharaan) kuda-kuda yg ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah.” (QS Al-Anfal: 60).

Lainnya

Exit mobile version