CakNun.com

Membangkitkan Dongeng, Membawa Senyum di Tengah Zaman Kecemasan

Reportase Sinau Bareng dalam Dies Natalis ke-24 AMIKOM, 20 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Tampaknya, ujaran kebencian sedang merebak di mana-mana dan tampaknya juga, kita semua sepakat bahwa ujaran kebencian itu harus dibendung. Tapi, kalau kita membendung dengan cara menghantam semua yang kita anggap pembenci, tidakkah kita menjadi sama saja akhirnya? Kita hanya jadi pembenci yang membenci pembenci, wah mbundet. Atau kita memilih menjadi subjektif saja, ujaran kebencian adalah selama itu dialamatkan pada golongan satu species, jenis ormas kita tapi kalau kepada yang seberang itu adalah kritisisme? Begitu? Lantas apa tolok ukurnya? Melawan ujaran kebencian ini memang banyak jebakan yang terkandung di dalamnya.

Tapi kalau kita tengok dalam Al-Qur`an, tampaknya Islam tidak begitu dramatis dengan menghilangkan benci. Bahkan dalam ayat-ayat tertentu, ada kalimat yang saya pernah dengar berbunyi semacam “janganlah kebencianmu terhadap satu golongan menghalangimu dari berbuat adil”. Pada pemilihan kalimat seperti itu, tampaknya Al-Qur`an sendiri memposisikan kebencian adalah hal yang lumrah saja. Hanya produk perilakunya tampaknya yang mesti dikontrol, ya termasuk ujarannya tentu saja. Benci mungkin seperti cinta, datang tiba-tiba tanpa alasan rasional, seperti hidayah yang jatuh begitu saja kepada yang dikehendaki-Nya tanpa kita punya kontrol. Kendali kita adalah pada perilaku.

Dan andai memang kita mau masuk agak ke dalam batin manusia, apakah kebencian itu benar-benar lapisan paling dasar persoalan? Atau, dia hanyalah satu tonjolan dari sekian banyak puncak dalam lipatan labirin jiwa manusia? Apakah ujaran kebencian itu benar-benar lahir dari kebencian, atau dia adalah ekspresi dari dismanajemen akal dan batin?

Beberapa pemuda malam itu ikut berinteraksi di atas panggung pada Sinau Bareng di AMIKOM pada 20 Oktober 2018 M. Seorang pemuda berbaju koko dan peci putih, rapih. Pada gilirannya nyekel mikrofon lantang berseru “Takbiiirrr! Takbiirrrr! Takbiiiiirrr!” Apakah itu ujaran kebencian? Jelas tidak. Dia pemuda dari Lampung yang dipesankan oleh orang tuanya, satu saat harus ketemu sama Mbah Nun. Dia ingin berfoto sama Mbah Nun. Takbir yang bertalu-talu tadi itu lahir dari kerinduannya. Bahwa sekarang pekik takbir itu sering terasa mengerikan (bagi sebagian orang) karena digunakan oleh golongan tertentu sambil bikin keributan, itu karena kesan yang melekat saja. Pada era kerusuhan kaum tarekat pada akhir 1800-an, pekikannya justru “Sabilallah” dan dulu pekikan itu terasa mengerikan karena banyaknya kasus-kasus kerusuhan dengan membawa pekik semacam itu. Jadi, ini hanya pergeseran saja.

Penanya kedua, sedikit mengingatkan sama diri saya sendiri saat mahasiswa. Bertanya dengan sedikit mengkritik kampusnya. Tema yang diusung dalam rangkaian acara Dies Natalis AMIKOM kali ini “Continuous Innovation, Collaboration and Creativity”. Ada gugatan kecil, dan protes-protes tersempil mengenai sistem pendidikan yang menurutnya tidak mampu mengakomodir keliaran ide-ide kreatifnya yang dituangkan dalam skripsi, “Bagaimana Cak?” suaranya datar saja, “saya minta pendapat apakah kita harus melawan atau harus ikut terbunuh mengikutinya?” Ini jelas kalimat mahasiswa revolusioner.

Kalau kata Otto Van Bismarck dengan sedikit kita modifikasi “Bila sebelum usia tiga puluh Anda tidak kiri berarti Anda tidak punya hati. Tapi kalau setelah usia tiga puluh Anda masih kiri berarti Anda tidak punya otak.” Itu kutipan terkenal sekali dulu, tapi biasanya saya coba tanya sama orang yang mengutipnya, apakah kenal sama Otto Van Bismarck? Jarang saya dapati yang punya kelengkapan. Seperti mahasiswa angkatan 2018 itu, saya rasa saya cukup hipster pada masa mahasiswa. Jadi bolehlah kita gubah menjadi “Kalau sebelum usia tiga puluh tidak hipster Anda tidak punya hati, tapi kalau setelah usia tiga uluh Anda masih hipster Anda tidak punya… apa-apa.” Ndak, maaf itu bercanda saja.

Otto van Bismarck seorang kanselir Jerman yang juga berpengalaman memimpin perang Prusia-Prancis, pada 1871. Seorang konservatif aristokrat namun terbuka, agak rumit sosoknya. Perang Prusia-Perancis ini kita tahu cukup mengubah wajah kekuasaan Eropa, memaksa Perancis membentuk Republik ketiga dan berefek dendam panjang hingga puncaknya adalah dukungan Perancis pada kubu aliansi atau sekutu pada PD II. Tapi, kita tidak sedang bahas perang Eropa sampai perebutan wilayah dan jalur-jalur dagangnya, walau itu tentu berefek pada kondisi kita pada masa lalu, dan apa yang terjadi di masa lalu melahirkan kita yang sekarang.

Sampai ketika seorang mahasiswa muda yang satunya, dengan berkacamata, jaket hitam dan tatapannya kosong melompong sambil memegang mikrofon “Kita ini kenapa sih Cak? Kenapa bangsa kita ini? Kita ini kenapa?” dan dengan datar, pelan, mengalun sumbang dia mengeluhkan segala yang terjadi pada negeri ini. Tampaknya adik kita ini melihat kasus intoleransi, pembantaian suporter, pembubaran Sedekah Laut, dua satu dua, asap rokok, negara yang tidak maju-maju seperti negara lainnya dan sebagainya dan sebagainya. “Saya sering berdiskusi sama diri saya sendiri, kadang di atas motor saya bertanya pada diri saya kita ini kenapa?” dan tak ada senyum, tak ada ekspresi.

Saya teringat apa yang dibabar oleh Mbah Nun pada siangnya di kalangan internal dosen dan rektor Universitas AMIKOM ini, mengenai membangun komunalitas dalam komunikasi. Selama ini saya berpikir bahwa komunikasi menjalin komunalitas, tapi rupanya seperti yang kita lihat sekarang, tidak linier seperti itu. Artinya, arus informasi melaju, komunikasi antar manusia mudah terjalin tapi justru manusia tidak menjadi semakin komunal malah semakin berdiskusi dengan dirinya sendiri, seperti adik kita tadi itu. Social media, pada satu teori disebut bahwa manusia mendengar gema suaranya sendiri.

Lainnya

Exit mobile version