Membangkitkan Dongeng, Membawa Senyum di Tengah Zaman Kecemasan
Sekarang ini kita punya banyak sekali orang terkenal, sebagian sangat disanjung-sanjung oleh followers-nya dan hampir tidak boleh dibantah. Tapi kita tidak punya karakter kepemimpinan yang sanggup menahan diri untuk tidak menularkan kecemasan. Hampir semua pernyataan yang kita lihat setiap hari di berbagai media mengandung unsur kecemasan. Cemas harga meroket, cemas Wahabi merajalela, cemas keutuhan negara terancam, cemas agamanya dinistakan, cemas pemerintahnya digoyang, cemas ini, cemas itu banyak sekali (jangan dinyanyikan dengan nada lagu Doraemon, jangan. Yah, terlanjur).
Sehingga hampir semua kubu mengidap semacam “enemy complex”, perasaan selalu terancam oleh musuh, sekali lagi cemas. Waspada dan cemas adalah hal yang berbeda dan Mbah Nun mengelaborasi satu inovasi pemahaman bahwa sepertinya, daripada eling lan waspodo, “Lebih tepat eling bèn waspodo”. Dan untuk recovery psikologis ini menggoda saya untuk menulis mungkin sekitar tambahan lima halaman lagi, tapi saya cukupkan dulu soal ini, di sini.
Dan eling, oleh Mbah Nun kita dajak untuk ngiling-ngiling dongeng-dongeng pada masa kecil kita dulu. Dongeng memang bukan data sejarah, walau bisa saja ada serpihan sejarah yang bisa kita teliti. Misal kalau dalam dongeng tertentu ada urusannya sama kain (dongeng Ajisaka misalnya), berarti kita bisa melacak kisah itu terjadi pada era di mana manusia sudah kenal kain dan pengolahannya.
Mbah Nun membabarkan beberapa dongeng dan memang banyak dongeng kita yang merupakan peringatan agar kita waspada. Dongeng Ande-Ande Lumut, membuat kita mesti waspada pada apa-apa yang berpotensi mengantarkan kita ke seberang tapi ingin memperkosa Kleting Kuning. Juga dalam tembang “Man-Paman Sing Ngguyang Jaran” Mbah Nun meminta vokalis KiaiKanjeng, Mbak Nia yang biasanya seorang qori’ah. Sensasi mendengarkan tembang tersebut pada malam itu, tidak akan bisa saya lupakan, emosi tercampur aduk.
Tembang mengalun, syahdan seorang ibu mencari popok bayinya yang hanyut di sungai bertanya pada paman yang sedang memandikan jaran, tidak lihat. Berjalan lagi bertanya pada paman yang memandikan sapi, ndak ngerti. Jalan lagi bertanya pada paman yang mandiin kerbau, ndak tau. Hingga akhirnya ketemu seorang ibu yang sedang nyuci beras. Ada, di situ tapi untuk mengambilnya harus mau menjual dirimu pada Buto Ijo. Buto Ijo, kita sedang dikepung Buto Ijo yang mungkin tidak merasa dirinya Buto. Berpuluh-puluh hinga beratus-ratus ribu mungkin pula jutaan Buto Ijo menjadikan dirinya syarat mutlak demi martabat popok bangsa.
Apakah karena Mbah Nun tadi sudah membabarkan lebih dulu pemaknaan mengenai kain sebagai gambaran martabat? Ataukah karena suara sang vokalis? Atau apakah ini karena nada minim yang dimainkan KiaiKanjeng? Saya akan coba mejelaskan sensasi mendengarkan nadanya. Denting halus sekali, musik mengalun lembut dan seperti hati-hati waspodo agar tidak menyentuh puncak, turun pun tidak rela hingga ke dasar, rasanya terenyuh tapi juga mendebarkan.
Gambarannya seperti perasaan kita sedang berjalan di sebuah titian yang sangat tipis di antara dua tebing, sedangkan di bawah kita adalah jurang gelap mencekam, dan kita tahu bahwa luput sedikit saja diri ini akan jatuh tanpa pernah kembali ke permukaan. Hampir-hampir ngilu, seperti ada teman SD kita yang menggarukkan kukunya ke papan tulis di depan kelas. Entah kenapa mata saya berkaca-kaca. Ah ini pasti mata lelah saya saja yang sedang kumat.
Anehnya, bahkan sampai keesokan paginya saat di motor, tembang itu terngiang dan mata saya tetap berkaca-kaca. Tapi di atas motor itu saya ndak berdiskusi dengan diri sendiri seperti rekan mahasiswa kita yang bertanya tadi. Memang secara perhitungan rasional apapun, negeri ini sedang membuat trenyuh dan mencekam, bikin ngilu tapi juga menggelikan. Secara rasional tak ada harapan. Tapi saya tidak berdiskusi dengan diri saya sendiri karena saya Sinau Bareng. Maka Sinau Bareng perannya sangat sederhana tapi tidak sepele, yakni mengusir kecemasan yang mengipas-ngipasi kita. Dan sejak awal mula peradaban, tauhid berperan penting sebagai penyelamat jiwa manusia dari kegilaan peradaban. Datangnya tauhid bukan karena tuhan haus ingin disembah, tapi karena jiwa manusia perlu penyelamatan darurat.
Puncak kemesraan Sinau Bareng disempurnakan dengan kegembiraan Medley Era. Semua yang di panggung ikut urun, diberikan secarik lirik dan diajak ikut bernyanyi. Lelaki muda yang tadi bertakbir-takbir sebelum bertanya, paling aktif berjoget. Adik mahasiswa kita yang hobi diskusi dengan diri sendiri tadi, masih datar-datar saja. Memegang mikrofon dan membaca liirik lagu dengan serius seperti sedang memecahkan teori maha pelik. Saya agak membatin, “Senyum Mas, senyum sedikit saja, itu sudah sangat menghibur.” Tapi rupanya bagi orang-orang yang duduk di belakang dan menikmati sajian dari layar besar, tingkah serius adik mahasiswa kita ini justru yang paling menghibur. Tiap sosoknya kena sorot kamera, orang-orang terpingkal-pingkal, betulan ini bukan tawa merendahkan. Hanya kontras saja.
Mas Imam yang sedang sibuk bernyanyi agak membatasi jarak sama mahasiswa tersebut, takut mungkin. Tapi pada penghujung ketika ending lagu “Sayang”-nya Via Vallen, Mas Imam menepuk bahu mahasiswa kita ini sambil melantunkan “Cintakuu tetap abadi…” dan sekilas, sekerjap, i see a glimpse of smile mekar pada otot-otot mikronya. Untuk sekejapan itu, yang bahkan saya ragukan sendiri ingatan saya tentangnya, saya mau bertakbir seperti penanya yang berpeci putih. Takbir! Dan Sinau Barenglah, supaya sering-sering tersenyum.