Membangkitkan Dongeng, Membawa Senyum di Tengah Zaman Kecemasan
Walau tidak lulus, tapi saya sempat punya sedikit-sedikit bekal ilmu psikologi dan mengamati gerak, sorot, nada dan intonasi rekan mahasiswa muda kita di panggung yang tadi itu, saya agak ngeri membayangkan potensi ke depannya. Manusia akan terasing, bukan karena kurangnya fasilitas komunikasi, tapi ketika tersangkut ke satu sisi ekstrem antara terlalu merasa istimewa atau merasa terlalu tidak berharga, artinya self-esteem yang terlalu tinggi atau terlalu rendah efeknya bisa jadi sama.
Saya lupa istilahnya, tapi dulu ada gejala beberapa orang jenius mengidap rasa menderita melihat ketidaksempurnaan manusia. Charlie Chaplin dalam perfilman, mengidap ini sehingga hampir semua filmnya digarap dengan konsep idealnya sendiri. Dulu, hanya satu-dua orang yang mengidap dinamika kejiwaan serupa, tingkat IQ di atas rata-rata biasanya. Tapi dengan melejitnya kecerdasan generasi muda sekarang, tampaknya rasa kecewa pada dunia, masyarakat, dan manusia menjadi hal yang makin umum. Dan kita tidak bisa spiritual bypass dengan mengatakan, anak ini harus berguru pada mursyid, ikut aliran kebatinan dan lain sejenisnya. Pada tingkat kecerdasan rata-rata, hal semacam spiritual bypass (penggunan istilah ini kurang tepat di sini sebenarnya) ini bisa mengobati. Tapi pada tingkat IQ yang sangat tinggi, hal ini tidak berlaku.
Tanggapan Mbah Nun pada rekan kita ini tidak muluk-muluk, tapi sempat membuat saya tersentuh “Anda itu tidak bisa tersenyum kenapa?” Dan mungkin Sinau Bareng memang tidak muluk-muluk, bila adik mahasiswa kita ini bisa tersenyum saja rasanya sudah plong. Sinau Bareng mungkin memang bukan untuk bikin orang pintar, karena itu dengan sendirinya generasi yang muncul saat ini, masya Allah kecerdasannya melejit jauh dari yang bisa kita bayangkan.
Sinau Bareng sepemahaman saya, tidak membuat kita punya banyak referensi kitab kuning, atau kitab apa saja lainnya sampai berjilid-jilid. Kalau saya boleh sedikit simpulkan, Sinau Bareng sangat berguna dalam hal menghalau kecemasan. Orang yang IQ-nya tinggi cepat merasa cemas, karena tingkat penyerapan dan perekaman informasi yang tinggi. Sinau Bareng adalah untuk generasi-generasi jenius ini, yang tidak pernah terwadahi pada berbagai golongan karena lebih sering butuh jumlah massa, ummat dan followers. Itu bisa ormas, tarekat, negara hingga MLM.
Bagi orang dengan kecerdasan rata-rata, menjadi bagian dari militansi golongan bukan masalah dan selama berabd-abad, ini dimanfaatkan berbagai pihak. Tapi sekarang dunia kembali berubah drastis, adalah mustahil cara lama pembangunan militansi golongan masih akan bertahan di kemudian hari. Saya dan Anda, pembaca yang budiman, mungkin agak susah membayangkan dinamika manusia jenius karena seperti kita tahu, kita tidak cerdas-cerdas amat. Maaf ngejek dikit hehe.
Mbah Nun sedikit memberi workshop teater singkat, bagaimana mengolah otot-otot wajah. Melatih ekspresi, yang akhirnya justru terjadi kelucuan-kelucuan. Manusia timur seperti kita, memang sering bermasalah dalam ekspresi. Sehingga otot mikro di sekitar wajah kurang terlatih, mungkin karena kita itu seringnya kejeron, kita sering ke dalam, adik mahasiswa kita itu misalnya berdiskusi juga ke dalam.
Di awal acara Mbah Nun memang mengingatkan, dalam Sinau Bareng ini kita bisa fleksibel keluar atau ke dalam, ke kiri-kanan, ke depan dan berbagai arah dimensi kita tampung. Dalam hal ekspresi ini kita memang perlu lihat beberapa kultur yang punya kekayaan ekspresi, karena kita mencari titik imbang. Konyol-koyolnya wajah yang timbul, tetap tidak membuat suadara kita tadi tersenyum. Masih murung saja, sepertinya masih berdiskusi dengan diri sendiri.
Kalau kita kembali ke persoalan yang saya tuliskan di paragraf awal, tampaknya persolannya bukan pada kebencian, tapi pada kecemasan. Bahasa keren psikologinya, anxiety. Hampir kita semua sepakat untuk menghalau ujaran kebencian, tapi justru banyak dari kita sering memproduksi ujaran kecemasan. Ini persoalan. Kalau perang, seorang panglima yang mendapat informasi mengenai peta kekuatan musuh, bisa saja terserang kecemasan kalau sudah menakar bahwa secara rasional kekuatan prajuritnya tidak sebanding dengan kekuatan musuh yang akan datang. Dia panglima, informasi ada pada dia dan tentu kecerdasannya di atas rata-rata prajurit. Pada saat begini leadership diuji, seorang pemimpin sejati tahu bahwa dia tidak boleh menularkan kecemasan.
Dia cemas boleh saja, karena dia mendapat informasi yang tidak didapati prajuritnya, dia cukup cerdas menakar dan menghitung. Persoalannya adalah kecemasan menular lebih cepat daripada kecerdasan. Maka kemampuan kepemimpinan yang dibutuhkan adalah bagaimana agar kewaspadaan meningkat tapi kecemasan tidak. Sebab kecemasan akan berakibat fatal, menurunnya moral prajurit atau bahkan munculnya tindakan-tindakan kontra produktif. Maka seorang pemimpin sejati mesti bisa mempuasai pengetahuan dan informasi, nah bukankah itu juga yang sering kita latih di Sinau Bareng? Jadi Sinau Bareng memang mempersiapkan kita untuk jadi leader yang mumpuni.