CakNun.com

Membaca Psikologi Pertanyaan Orang Maiyah

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit

Epistemologi diskusi tiap aktivitas Maiyah selalu mengacu pada wacana “belajar bersama”. Tanpa sadar pijakan ini berdampak pada pola pertanyaan kontekstual, yakni rumusan kalimat tanya yang berangkat dari dan melalui pengalaman privat masing-masing. Sejumlah pertanyaan yang dialamatkan itu mengekspresikan autentisitas pencarian personal yang acap kali tak melulu mengacu pada tema sentral pokok pembahasan.

Setidaknya terdapat tiga pola pertanyaan yang dapat digeneralisasikan kecenderungan tematiknya. Pertama, pertanyaan reflektif dengan menarasikan keluh-kesah atas problem hidup, baik dirasakan oleh dirinya maupun keluarganya, yang menginduk pada persoalan ekonomi dan psikologi. Pertanyaan mengenai masalah ekonomi jamak dilontarkan orang Maiyah. Derivasi pokok masalah bisa beragam, namun kebanyakan menyasar pada kemacetan sumber finansial, dililit hutang, manajemen keuangan, dan lain sebagainya.

Faktor ekonomi diposisikan inheren dalam determinasi praktik sosial-kemasyarakatan. Geliatnya yang kerap “kembang-kempis” itu menentukan prakondisi pertanyaan. Situasi demikian, lebih lanjut, bisa dipetakan kembali latar sosial orang Maiyah: apakah masuk ke dalam kategori usia anak, remaja, dewasa, atau manula.

Identifikasi empat lapisan tersebut kemudian dapat dipertajam latar gender penanya sebagai acuan lebih detail. Pijakan semacam itu mengacu pada konsep karakterisasi atas relasi penanya, esensi pertanyaan, latar ekonomi, usia, dan gender sebagai faktor determinan yang saling berpaut.

Penjelasan proyektif semacam itu membantu analisis skema pertanyaan dan relasinya dengan “modal personal” penanya sehingga terurai suatu eksplanasi kecenderungan pertanyaan secara lebih sistematis dan komprehensif. Begitu pula dengan tema psikologi dalam konteks pertanyaan reflektif.

Kerangka referensialnya sama seperti ranah ekonomi, sebagaimana didedah di atas, namun memiliki kekhasan tersendiri. Gaya idiosinkrasi pertanyaan psikologis orang Maiyah tak semata-mata terlepas dari faktor ekonomi. Bisa berkelindan atau sebaliknya. Ia bersifat kasuistik—bertalian dengan kasus partikular.

Tipe pertanyaan psikologis-reflektif terkadang dapat ditemukan dalam kasus religiositas. Sebagai contoh, “Kenapa Tuhan menciptakan kehidupan tapi sekaligus juga kehancuran; apakah melakukan tradisi itu dapat dikategorikan bid’ah; selama ini saya belum beriman kepada Tuhan sebab tak mempercayai agama karena sering dipolitisasi sebagai legitimasi kekerasan” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bernada kontemplasi. Biasanya jenis pertanyaan tersebut diucapkan oleh orang Maiyah dari generasi milenial. Walaupun banyak pula kategori usia dewasa yang mengajukan pertanyaan serupa.

Kedua, pertanyaan konfirmasi karena berangkat dari suatu bangunan konsep pengetahuan yang telah dimiliki oleh penanya. Pertanyaan demikian mirip seperti pertanyaan reflektif, tetapi memiliki perbedaan tata cara penyampaian. Penanya mengujarkan terlebih dahulu latar pengetahuan sebelum menyasar pada rumusan pertanyaan.

Karakteristik pertanyaan semacam ini, dengan demikian, didasarkan atas tuturan argumentatif sebagai landasan premis kenapa pertanyaan itu mesti disampaikan. Ia seakan-akan bertanya dan konfirmasi apakah pemahamannya mengalami kecacatan di satu pihak atau kebenaran di pihak lain.

Kecenderungan pertanyaan poin kedua itu bisa dibagi ke dalam dua aras antara lain (a) falsifikasi rumusan konsep yang melatarbelakangi pertanyaan agar dikoreksi letak kesalahannya dan (b) legitimasi argumen melalui jalan konfirmasi. Yang pertama lebih ingin mencari kebenaran dalam skala lebih luas melalui refleksi atas letak kesalahan pemahamannya, sedangkan yang kedua sekadar menebalkan konstruksi pemahamannya. Keduanya berbeda, bahkan bertolak belakang, tergantung pada apa dan bagaimana penanya menandaskan “kuda-kuda” pertanyaan.

Ketiga, pertanyaan yang berangkat dari respons personal atas tema diskusi Maiyah. Tipe ini menekankan daya analisis penanya yang bisa bersifat penggalian lebih mendalam mengenai pokok pembahasan yang dirasa kurang jelas, kurang berterima, maupun tambahan perspektif. Jamak orang Maiyah berada pada titik koordinat poin ketiga, walaupun bisa dihitung dengan jari.

Penyebab sedikitnya orang bertanya niscaya terikat banyak variabel. Sebagian kecil dikarenakan oleh keengganan untuk menjadi penanya aktif. Kebanyakan justru hanya sebatas pendengar pasif. Asumsi terakhir ini, tentunya, membuka lebar pintu perdebatan lebih lanjut.

Membebankan pada keaktifan bertanya orang Maiyah jelas bukan sikap kebijaksanaan akademis. Kondisi sosiologis mereka beragam dan lintas profesi. Dari berlatar belakang pedagang, pelajar, hingga pengangguran tak diparasialkan di depan forum Maiyah.

Substansi Maiyah adalah kebersamaan sehingga nilai fundamental yang dibentangkan bukan hierarki sosial, melainkan egalitarianisme: mereka diposisikan sebagai penggembara ilmu dan pendamba persaudaraan kultural. Kebersamaan semacam itu tanpa syarat, tanpa pretensi, tanpa klasifikasi sosial.

Mentradisikan Literasi

Kotak psikologi orang Maiyah sudah didedah. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mereka mengumpulkan fragmen-fragmen keilmuan dan kearifan acara Maiyah? Apakah sekadar dinikmati sepintas lalu atau dikumpulkan melalui dokumentasi? Pada aras ini muncul konsep “tradisi literasi” yang pengertian ontologisnya meluas, bukan sekadar pencatatan tertulis, melainkan juga perekaman audio dan visual. Kenyataan ini menarik ditelisik lebih lanjut melalui pengamatan sederhana.

Orang Maiyah tak kalah kreatif meliterasikan apa yang diamati, didengar, dan dirasakan selama diskusi Maiyah berlangsung. Kamera multifungsi dijejer rapi di tengah tempat bersila para jamaah Maiyah. Terkadang telepon pintar pribadi diarahkan ke panggung guna merekam dan mengabadikan diskusi.

Sebagian kecil juga terlihat khusyuk membawa buku catatan. Kaum mahasiswa adalah tipe pencatat yang tekun itu karena menulis menjadi bagian dari aktivitas akademiknya. Kendatipun tanpa buku catatan, aplikasi menulis di telepon pintar menjadi alternatif pilihan.

Mendokumentasikan oase ilmu Maiyah sedemikian penting bagi tiap individu yang menyadari urgensi kegiatan literasi. Pengetahuan yang didapatkan mustahil mencapai level pemahaman bila tanpa modal keutuhan informasi. Komprehensi informasi bisa dipetakan secara sistematis selama disiplin pencatatan dilakukan dengan modal ketekunan dan kejelian. Tanpa dua esensi itu, alih-alih informasi mencapai keutuhan, malah bisa tercerai-berai karena keteledoran “membaca bangunan pengetahuan”.

Laku literasi yang diterapkan Mbah Nun menjadi penting di sini. Ia telah membuktikan secara empiris selama bertahun-tahun, sejak periode tahun 70-an hingga sekarang, bagaimana merumuskan gagasan secara rapi, estetis, dan kontinu dengan produktif menulis sekaligus mendiseminasikan argumentasi di dalam arena diskursif.

Pernah Mbah Nun menandaskan proses kreatifnya itu dilakukan dengan bantuan telepon pintar. Ia menulis kapan saja, bahkan manakala acara Maiyah berlangsung. Mas Sabrang menambahkan, Mbah Nun pernah menulis naskah film berpuluh halaman hanya modal gawai Blackberry di pesawat ketika menuju Makassar. Suatu ejawantah konsep literasi di luar nalar tapi konkret karena fondasi tekad yang persisten.

Pada akhirnya, fokus pertanyaan yang paling intim bagi orang Maiyah tak sekadar berangkat dari luar diri, tetapi di dalam diri, yakni refleksi individu soal sejauh mana dan sedalam apa menanya ulang bangunan konsep yang bersemayam di benak. Tak seorang pun tahu letak posisinya kecuali diri sendiri. Kesadaran posisi itu kemudian dikondisikan dan diarahkan sebagai proses pertumbuhan.

Psikologi pertanyaan adalah ekspresi psikis yang dinamis dan niscaya terikat oleh kesadaran diri. Tumbuh atau tidaknya jangkauan dan kedalaman pertanyaan ditentukan oleh diri sendiri. Sementara metode tumbuh, dengan demikian, bergantung pada strategi dan siasat yang diformulasikan berdasarkan preferensi bakat dan minat. Mencatat atau mendokumentasi bisa beraneka cara, namun menemukan strategi yang tepat bagi diri peru ditempuh secara aktif-kreatif.

Lainnya