Mema’rifati Manusia, Ma’rifat Biasa Saja
Setiap orang dima’rifati dengan kisah-kisah kecil keseharian di masa lalu. Kisah-kisah kecil inilah yang membuat manusia sangat manusia, bukan sekadar kisah-kisah yang glamour dengan kemewahan heroik. Era modern mengungkung pandangan kita bahwa manusia hanyalah karier, profesi, anutan ideologi bahkan cantolan komunitas belaka, penting memang. Tapi seberapa penting dibanding jadi manusia? Jadi manusia yang memandang manusia, seberapa penting?
Saya rasa ini perlu diberi perhatian khusus, coba lihat narasi-narasi sejarah kita, begitu kita sebut Kyai Hasyim Asy’ari yang terkenang-tau-tau NU, memangnya Hadratussyaikh ndak pernah remaja puber yang belum NU? Begitu pun kalau mengenang KH Ahmad Dahlan, harus mengenai Muhammadiyah masa ndak pernah galau beliau? Soekarno harus soal nasionalis plus istri-istrinya dan Cokroaminoto nah, gurunya Soekarno? Yang benar saja kita ini, seolah tanpa embel-embel tambahan, manusia kurang kualitasnya. Lantas Muhammad SAW, kita sholawatin terus tapi kita kenang seolah dia adalah manusia setengah dewa?
Pandangan sejarah kita berkelindan dengan pandangan kita dengan hidup kekinian. Sekarang, kita lihat ustadz anu langsung Wahabi, liat kiai itu langsung Islam Nusantara, saya kepikiran ini ketika mendengar Mbah Nun berkata
“Mas Danarto adalah cermin supaya kita tidak terlalu lebay sama yang ndak-ndak”.
Benarlah kita hampir-hampir kehilangan kemampuan mengenali, mema’rifati manusia, begitu lantas ngarep mau ma’rifat ke Gusti Allah? Bagaimana logika kita sebenarnya?
Maka pentas ini oleh Mbah Nun adalah “supoyo manungso tetep dadi manungso”.
Ma’rifat pun biasa saja, mungkin term ma’rifat ini seringnya dibikin agak ngeri-ngeri merinding gimana gitu supaya orang lebih waspada menempuh jalan ke tuhan.
Mbah Nun sempat membagi klasifikasi tipe manusia berdasarkan sudut pandang ke-pengusaha-annya. Bahwa ada tipe manusia yang pengusaha dunia, lalu pengusaha akhirat, kemudian pengusaha dunia-akhirat dan yang keempat adalah pengusaha akhirat-dunia.
Singkatnya bisa begini, pengusaha dunia artinya orang yang selalu dan melulu hidupnya berkenaan dengan proses dan hasil keduniaan. Tolok ukurnya adalah dunia, dunia dan dunia. Sebaliknya “pengusaha akhirat” maksudnya orang yang sangat mengesampingkan dunia dan konsentrasi pada capaian akhiratnya. Dua yang terakhir, dibagi berdasarkan lambaran kesadaran yang dominan “Pengusaha dunia-akhirat” maksudnya orang yang berusaha soal dunia TAPI tidak melupakan akhiratnya. Jadi akhirat sekadar-sekadar saja. Sedang yang terakhir, “Pengusaha akhirat-dunia” adalah orang yang lambaran kesadarannya menuju akhirat TAPI dunia jangan sampai terlupakan.
Kalau memang memilih tipikal “pengusaha dunia”, ya yang total juga tapi “Negaramu ini gimana? Kan tolok ukurnya pengusaha dunia to, lha kok jeblok?”
Nah lantas, almarhum Danarto masuk yang mana dalam empat klasifikasi itu? Menurut Mbah Nun “Mas Danarto adalah tipe kelima”. Artinya bagi Mbah Nun, Danarto adalah sosok yang sudah tidak ada urusan dengan usaha maupun hasil, baik dalam terminologi dunia maupun akhirat, dunia-akhirat maupun akhirat-dunia. “Mas Danar ini ya bukan orang yang mencari tuhannya juga, beliau melakukan gitu aja”.
Melakukan, di luar konsep mau ini-itu, mau paham, di luar konsep mencari dan menemukan, mau menyatu, melebur, ingin ma’rifat, jadi tercerahkan, bukan mau dekat sama Gusti Allah dengan konsep kedekatan ala selera sendiri. Lakukan saja hidup karena sepengetahuan kita begini ini hidup yang diciptakan Gusti Allah. Kalau ada hidup dengan cita rasa lain, ya mungkin itu pada era lain atau pada dimensi yang berbeda. Nikmati hidup, dengan yang kita tahu dan ketidaktahuan yang melingkupinya.
Salah satu totokan kritik pada wacana sufistik formal yang pernah saya dengar entah di mana, adalah konon para penganut tarekat-isme secara psikologis bisa jadi justru orang yang bernafsu, tidak sabaran untuk kenal sama tuhan dan kebenaran. Ngapain nafsu amat? Mbok sabar aja, toh “ilaihi roji’un” itu mau kemana sih se-tersesat-sesatnya manusia? Lia Eden? Ya segitu aja. Mbah Nun bercerita malam itu bagaimana dulu beliau menemani Lia Eden dengan segala tingkah-polahnya, sampai berbalas puisi dengan (yang Bu Nyai Lia anggap) Jibril as.
Kalau kita tarik lagi, Mbah Nun pernah menemani banyak sekali tipe manusia, dari Lia Eden sampai jamaah Abu Bakar Ba’asyir siap ngamuk, Soeharto sampai Gus Dur kepada Gombloh, ketemu Yusuf Islam (Cat Steven) hingga ke keluhuran peradaban Mama Cammana, di Mandar. Ada manusia yang ekstrim NU-nya, ada fans MU, ada yang militan ke-Nusantaraan-nya, ada yang percaya mati sama HTI, ada yang kayak tidak bisa hidup tanpa NKRI, kiri mentok sampai kanan kejedot, banyak lagi. Toh seekstrem-ekstremnya paling manusia cuma bisa menghancurkan satu dunia kan? Ndak usah resah, nanti bikin baru lagi. NKRI juga bukan produk asli Nusantara, kalau mesti bubaran tanpa jadian ya bikin yang lain, ndak usah dramatis mau berontak tanpa otak atau membela tanpa harga diri. Negara, dunia, sudahlah. Manusia, itulah yang wajib kita mesrai dan ma’rifati.
Keberadaan Mbah Nun di lokasi acara, di atas Jokteng Wetan, dengan semilir angin akhir bulan Juli semriwing, tak beratap, mungkin Pak Danarto hadir juga memantau dengan pesawat alien yang bzzttt bzzt bzzttt tapi bukan bunyi, bersama lingkar majelis sholawatan dari galaksi lain. Sambil menyetel Bethoven walaupun rasanya Ziggy Stardust-nya David Bowie lebih cocok menurut kapten kapal lintas galaxy, yang bukan kapten sebutannya. Dia mau protes tapi hari itu mulutnya sedang ingin ada di tumit jadi susah bicara. Alien lain (yang juga tidak menganggap dirinya alien) mengganti playlist dengan musik khas daerahnya yang terpencil, sehingga kawan-kawannya sesama alien tidak tahu itu lagu apa. Musik bagi mereka dinikmati dari aromanya. Pak Danarto senyam-senyum saja. Maafkan, ini imajinasi saya terpetik ketika Mbah Nun mengelaborasi
“Mungkin Adam adalah manusia generasi ketiga, di mana sudah ada standardisasinya” Aneh, kalimat singkat itu melayangkan imajinasi saya kemana-mana. Mbah Nun juga bilang bahwa sangat mungkin kalau Pak Danarto hadir malam ini.
Api-api kecil jadi penyemarak, kemesraan sedikit nostalgis. Hangat malam itu, sampai teman saya, Veri, masuk angin.
Penyelenggara acara berinisiatif membuka kesempatan untuk tanya jawab. Sekali lagi Mbah Nun menjadi ruang yang menampung ragam pertanyaan, ini bukan sesi tanya-jawab yang sudah diatur. Benar-benar di luar rundown acara. Dari soal tasawuf sampai siapa presiden di 2019 yang mencintai seniman?