Melingkarkan Cincin
Seger tidak menyangka, dan sedikit merasa cemburu, karena di luar lingkaran dengan para Pakde beserta teman-temannya, Mbah Sot ternyata berkeliling ke berbagai wilayah dan karena itu tercipta jaringan dan lingkaran-lingkaran yang disebut Maiyah.
Yang Seger catat hanya sedikit literasi, deretan kata dari Mbah Sot. Dan ini deretan kata sesudah 300 tulisan Daur-II, kelanjutan dari 309 Daur-I serta 123 tulisan lainnya, untuk pembelajaran bersama atau Sinau Bareng.
Semua itu, yang ditulis pada kurang lebih dua tahun belakangan ini, tentu saja tidak termasuk ribuan tulisan lain yang dikerjakan sejak tahun 1969. Juga di luar Wedang Uwuh serta berbagai tulisan lain yang dimintakan untuk menyertai terbitnya Buku-buku atau keperluan-keperluan lain yang memerlukannya.
Di depan Pakde-Pakde dan Junit Jitul Toling serta ia sendiri, Mbah Sot sangat jarang menyebut-nyebut kata Maiyah. Pada saat-saat akhir saja, karena semakin banyak warga Sinau Bareng Markesot itu, Seger secara alamiah tak sengaja terseret untuk memakai kode Maiyah. Untuk memudahkan persambungan silaturahmi mereka.
Ratusan tulisan itu diperuntukkan bagi warga dan anak cucu Maiyah tidak karena pertimbangan eksklusivitas, melainkan karena jelas manfaatnya. Beberapa tahun belakangan Maiyah Sinau Bareng atau Belajar Bersama itu berlangsung semakin marak pada puluhan Simpul Maiyah, ratusan kerumunan Maiyah, ribuan lingkaran pembelajaran Maiyah atau tak terhitung jumlah individu-individu pentafakkur, melalui berbagai media dan jalur.
Itu dilaksanakan tanpa batas usia, kelamin, segmen dan strata sosial, budaya dan kependidikan. Tanpa persyaratan identitas, Agama, etnik, golongan, atau apapun saja. Juga tanpa sponsor perusahaan atau institusi, tanpa backup lembaga kekuasaan, bukan program politik atau proyek dagang.
Semua berlangsung karena semangat mencari kesejatian hidup, karena tali-tali kokoh pengikat persaudaraan, organisme gotong-royong yang luar biasa indahnya. Hampir seluruh prinsip nilainya, dasar filosofinya, metodologi berpikir, pola interaksi intelektual, kultural dan spiritualnya, dinamika komunikasi dan keseimbangan personal maupun kolektifnya—berlangsung tidak sebagaimana yang berlaku pada kehidupan mainstream, umum, dan di tingkat manapun.
Para leluhur masa silam menitipkan “Pisang” dan “Kitab”. Para pewaris zaman tidak mampu memahami kemerdekaan untuk mengolah Pisang agar menjadi berkah bersama. Para pelaku peradaban juga kehilangan kejujuran hati dan kesungguhan berpikir sehingga Kitab-kitab akhirnya menjadi sumber pertentangan. Pisang adalah dunia jasad, materialism, konsumsi dan kenyamanan keduniaan. Pisang mengalahkan rohani, nilai, energi dan cahaya keTuhanan. Bahkan Kitab di-Pisang-kan.
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk” [1] (Al-Baqarah: 16). Para pewaris tidak mampu bercermin untuk melihat wajahnya sendiri. “Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” [2] (Al-Baqarah: 11).
Seger mulai sedikit memahami kenapa Mbah Sot sering menghilang. Ternyata sama sekali bukan menghilang. Ia berkeliling. Menyebarkan kenikmatan Sinau Bareng. Melatih manusia untuk menikmati kebaikan. Mbah Sot memasuki desa-desa, merambah wilayah-wilayah, menaburkan cinta kebersamaan, mencincini Nusantara.
Yogya, 2 Maret 2018