CakNun.com

Mbok Ujiannya Jangan Sekarang Gusti

Agung 'Nonot' Pranawa
Waktu baca ± 2 menit

Ketika pulang dari Mocopat Syafaat menuju Solo jam 3 pagi pada 18 April lalu, dan perjalanan baru mau menanjak flyover Janti, mendadak saya merasakan gerakan-gerakan aneh pada laju sepeda motor yang saya tumpangi bersama teman.

Gerakan liyut-liyut laju kendaraan makin lama makin terasa oleh saya yang duduk di belakang, dan beberapa detik kemudian tersadar ini pasti karena ban belakang dalam keadaan kurang angin. Langsung saja saya minta teman untuk memperlambat laju sepeda motornya dan menepi setelah menuruni flyover Janti.

Benar saja, ketika menepi dan melakukan pengecekan, tanpa memegang bannya pun, sudah tampak terlihat dengan mata telanjang kalau ban belakang sudah kempes sekitar 40-an persen.

“Wah, kalau ini jelas bocor, lik… Tadi waktu berangkat dari rumah kondisi tekanan ban normal. Lalu sampai Kasihan, motor cuma ada di parkiran semalaman, jadi angin tidak bakal sampai segini berkurangnya.” Begitulah uraian analisa saya tentang kondisi ban kepada teman saya, yang tentu saja tanpa saya presentasikan analisanya pun, dia juga sudah tahu. Lha wong dia cah motor juga.

Oh iya, maksud lik itu, dari kata paklik. Sudah lama di wilayah sekitar karasidenan Surakarta sesama teman-teman akrabnya manggilnya Lik, tidak tahu siapa yang memopulerkan pertama kali penggunaan panggilan itu di kalangan anak muda, semacam bahasa gaul lokal begitulah.

Kembali ke ban bocor. Saya ingat kalau sehabis flyover Janti menuju timur ke arah Solo itu, di depan sana ada pom bensin tapi lupa lokasi tepatnya di mana, berapa kilo jaraknya.

“Kamu naik motor berangkat duluan, lik. Di depan sana ada pom bensin, biasanya ada mesin pengisi angin, syukur-syukur ada tukang tambal ban di dekat pom bensin itu. Nanti tunggu di sana, aku tak mlaku wae.”

Mungkin karena teman saya tidak tega melihat saya jalan kaki maka dia ikutan jalan kaki dan menuntun motornya, sambil menertawakan kejadian yang dialami pagi ini. Maka itulah saya putuskan demikian karena menurutku malah jadi tidak efisien kalau kedua orang jalan kaki semua.

Jalan kaki dari flyover Janti ke pom bensin depan Bandara Adisutjipto, setelah dicek lewat Google Map berjarak sekitar 5 kilometer, dengan kondisi belum tidur sejak siang tadi, cukup membuat pagi yang dingin itu jadi berkeringat dan ngos-ngosan juga. Apalagi sekitar 2-3 tahun ini jarang berolahraga dan postur tubuh yang sekarang sudah mulai memasuki “Gempal-Gempal Maiyah” seperti tulisannya MZ. Fadil.

Sebelumnya di Mocopat Syafaat, Mbah Nun dan Pak Eko Tunas bercerita, salah satunya tentang zaman-zaman susah ketika masih ngekos di daerah Kadipaten. Ada kalimat yang saya ingat: “Dalam hidup itu, penderitaan dan kebahagian itu tidak ada. Semuanya adalah anugerah, semuanya adalah bagian dari ujian untuk penguatan.”

Makjleb, rasa-rasanya saya seperti berada dalam kurikulum sekolahan. Kalau di sekolahan itu, biasanya murid-murid dikasih pelajaran teori dulu oleh gurunya, baru di beberapa pertemuan selanjutya adalah praktikum atau bisa juga ujian praktik, tujuannya supaya murid benar-benar memahami tentang aplikasi dari teori tersebut.

Begitu juga yang terjadi pagi ini, baru saja dapat wawasan ilmu tentang tidak ada penderitaan karena semuanya adalah anugerah dari Gusti Allah, lha kok ini baru saja perjalanan pulang dari “sekolahan”, sudah langsung “disuruh” praktikum sama Gusti Allah.

Nyoh le, segera dipraktikkan, dapat ilmu jangan buat wacana doang, ayo praktik praktik praktik…” kata Tuhan.

Njih Gusti, tapi kalau boleh menawar, mbok ujiannya jangan sekarang. Saya kan belum istirahat sejak siang sampai malam lalu sampai pagi ini kembali. Kalau bisa mbok ujiannya dua minggu lagi, saya tak mulai olahraga dulu.” Jawab saya tetap penuh takdzim.

“Woo… dasar bocah kakeyan alesan

Begitulah dalam percakapan imajiner saya dengan Tuhan, sambil menyusuri jalan sepanjang 5 kilometer tadi sambil cengar-cengir. Imajinasi boleh nakal dong.

Lainnya

Maiyah untuk Pembebasan

Maiyah untuk Pembebasan

Perubahan sosial dan budaya menuju keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kemakmuran bangsa, bisa dimulai dari penggalangan jamaah.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa