CakNun.com
Wedang Uwuh (59)

Masuklah Dengan Kepatuhan

Kedaulatan Rakyat, 2 Januari 2018
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Sama sekali di luar persangkaan Simbah, bahwa di awal laporan Pèncèng itu ia menuliskan: “Masukilah. Masukilah dengan kepatuhan. Kepatuhanmu La ilaha illallah. Bersihkan jasadmu, mandikan batinmu. Kemudian berdirilah sembahyang. Maka akan turun kepadamu payung perlindungan...”

“Apa itu, Cèng?”, Simbah bertanya.

“Manusia tidak punya kemungkinan lain kecuali memasuki hidupnya dengan total, sepenuh-penuhnya, ajur-ajèr”, jawab Pèncèng. Dan ini juga tidak kalah mengherankan. Selama ini Pèncèng kelihatannya berperilaku liar, berkarakter agak kurang ajar, tetapi ternyata ia punya daya tafakkur, punya bakat kontemplasi, dan pengenalannya terhadap dunia esoteriknya ternyata tidak bisa diremehkan.

“Manusia memasuki hidupnya dengan kepatuhan. Berarti harus belajar menunduk, membungkuk, ngapurancang, karena tidak ada sasaran lain untuk patuh kecuali kepada Yang Maha Menciptakannya. Manusia tidak sanggup menciptakan dirinya sendiri. Manusia itu makhluk, bukan Khaliq. Manusia itu kartu, bukan pemegang kartu. Berdasarkan fakta sejarah asal-usulnya, manusia itu lukisan, bukan pelukis, apalagi Maha Pelukis. Kartu tidak punya kemampuan dan hak untuk menentukan apakah ia balak-6 atau ndol-ndol, kemudian tidak juga bisa mengambil keputusan mutlak untuk membanting kartu yang mana demi karier kehidupannya…”

Simbah mendengarkan dengan agak heran dan sedikit kagum. Juga Gendhon dan Beruk, berkali-kali berpandangan wajah satu sama lain.

“Sebuah lukisan tidak berposisi untuk menentukan selera warnanya, jenis garis dan cuatan-cuatannya, juga pola-pola sapuannya”, Pèncèng meneruskan, “Memang manusia sebagai kartu dan lukisan berbeda posisi dan levelnya dengan batu, kerikil, tanah, bahkan lebih dari itu dipinjami fadhilah atau keunikan, spesifikasi, personalitas dan keistimewaan oleh Maha Penciptanya. Manusia dipinjami sedikit hak untuk ikut menentukan dirinya, mentakdirkan langkah-langkahnya dalam mengembarai ruang dan menyusuri waktu. Tetapi manusia tidak akan mampu lepas bebas, merdeka dan semaunya. Maka masukilah hidupmu dengan kepatuhan…”

“Kok tiba-tiba kamu omong soal itu, Pèncèng?”, Simbah memotong.

“Saya tidak omong, Mbah”, jawabnya, “saya cuma menirukan”

“Menirukan apa?”

Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo. Siramo menyang solo, leh-olehe payung mutho...”

“Lho, apa hubungannya?”

Usluk, usluk bitho’ah. Masukilah hidupmu dengan ketaatan. Tho’ati la ilaha illallah. Mandilah dan shalatlah, agar Allah menganugerahimu payung mutho, perlindungan yang kokoh. Fa-jaddid...”

“Itu maksudmu pak jenthit...?”

“Ya…”

Lololobah-nya apa?”

Lau lubab. Meskipun kamu sudah merasa benar dan sampai ke inti kebenaran, tapi perlu terus memperbaharui pemahaman. Mumpung masih hidup. Nanti kalau sudah mati ora obah. Kalau tajdid diungkapkan oleh orang yang sudah mati, semua generasi muda akan takut dan tidak percaya”

“Itu kamu mengutip siapa? Bahanmu dari mana?”, Simbah mengejar.

“Ada banyak penafsiran. Saya husnudh-dhon semuanya benar, karena bermaksud mulia dan melestarikan nilai-nilai sejati dari piweling para Wali. Di antara semua penafsiran itu, ada yang saya sependapat, ada yang saya cari sendiri”

“Awas jangan sampai kamu ngawur lho…”

“Lho Mbah ini bukan soal ngawur atau tidak. Juga bukan soal benar atau salah. Ini soal mengolah agar semua warisan dari nenek moyang menjadi manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kalau mau yang sungguh-sungguh benar, sekali lagi, ya ketemu langsung dengan penggubahnya. Semua pemaknaan dan penafsiran kadarnya sama: yakni relatif, belum tentu benar”

Mungkin ada baiknya diingat bahwa Selasa yang lalu Simbah mempertimbangkan untuk menyimpan saja semua yang dikemukakan oleh Pèncèng, Beruk maupun Gendhon. Sebab omongan mereka sangat peka dan bisa menimbulkan konflik, bisa mendorong anarkhisme, bahkan makar. Apalagi kalau menyangkut Pancasila dan Khilafah, Islam dan yang disebut Agama-agama. Ada pula analisis 2018-2019. Terus ada daftar komandan-komandan Pasukan Jin di seantero Pulau Jawa. Ditambah kutipan dari lagu era 1960-an yang menyebut Sosialisme Pasti Jaya segala. Kan bahaya.

Kita semua cinta media tertua se-Indonesia kesayangan dan kebanggaan Yogya ini. Syukur yang diungkap Pèncèng Selasa ini adalah “Sluku-sluku Bathok”.

Tapi tiba-tiba Simbah ingat dan bertanya: “Pèncèng, kok ending lagu itu bunyinya ‘yen urip goleko duwit’? Gimana maksudnya? Apa Kanjeng Sunan Kalijaga pendukung Kapitalisme Liberal?”.

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib