Mas Hernowo dan Gurunya dari Patangpuluhan
Ketika mendengar kabar Mas Hernowo wafat pada Kamis malam 24 Mei 2018, ingatan saya langsung terbang ke perjalanan kami berdua dari Bandung menghadiri Mocopat Syafaat tahun 2012. Itulah momen terakrab kami. Kala itu kami masih sama-sama bekerja di Penerbit Mizan. Pergaulan di lingkungan kantor mau tak mau menciptakan jarak senior-junior, atasan-bawahan.
Mas Her adalah editor generasi awal Mizan, sesepuh yang meletakkan fondasi sistem keredaksian penerbit itu. Dibanding Mas Her, jelas saya editor pupuk bawang. Tapi, dalam perjalanan itu kami hanya dua orang penggemar tulisan-tulisan Cak Nun.
Mas Her tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya bertemu kembali Cak Nun yang tak dijumpainya belasan tahun. Padahal, Mas Her adalah editor yang membidani buku-buku legendaris Cak Nun seperti Dari Pojok Sejarah, Markesot, OPLES, dan lain-lain. Interaksi Mas Her dengan Cak Nun terjalin melalui rajinnya Mas Her bersilaturahmi ke Patangpuluhan–rumah kontrakan Cak Nun di Yogya zaman itu–ataupun lewat korespondensi. Namun setelah Reformasi, arus kehidupan membawa mereka ke arah yang berbeda.
Cak Nun, seperti kita ketahui, bersama KiaiKanjeng memilih berkeliling tanpa henti menyapa masyarakat. Sementara Mas Her mencurahkan pikiran menjadi penulis produktif dan pegiat literasi yang menyebarkan virus baca-tulis di Indonesia. Kedatangan kami ke Mocopat Syafaat salah satunya dalam rangka mengeratkan silaturahim yang sempat kendur itu.
Berkat jadi “pengantar” Mas Her, saya bisa menyadap cerita-cerita menarik tentang Cak Nun dan buku-bukunya. Misalnya, cerita Mas Her tentang perjuangan menerbitkan salah satu buku Cak Nun yang isinya sangat berani di kala rezim Orde Baru sedang sangar-sangarnya.
Zaman itu, proses setting buku untuk dicetak belum memakai komputer. Tetapi dengan mesin khusus. Mizan belum memiliki mesin tersebut, sehingga harus memakai jasa layanan setting. Nah, setiap tukang setting yang membaca naskah Cak Nun itu langsung mundur teratur karena ngeri membayangkan bahayanya. Redaksi berkeliling Bandung untuk menemukan tukang setting yang mau menerima naskah itu. Dan gagal, tak satu pun berani. Akhirnya, demi menerbitkan buku itu, Mizan membeli sendiri mesin setting.
Rupanya, perjumpaan kembali dengan Mas Her itu juga menggugah kenangan Cak Nun. Di atas panggung, Cak Nun menuturkan kisah heroik beliau mempersunting ibunya Mas Sabrang di Lampung. Dalam perjalanan ke sana, Cak Nun terpaksa singgah di Bandung karena kehabisan ongkos. Di Bandung, semalam suntuk Cak Nun ngebut menulis sebuah naskah buku kecil. Esoknya, naskah itu diserahkan ke Mas Her untuk diterbitkan. Dengan uang yang diterima dari naskah itu, Cak Nun dapat meneruskan perjalanan ke Lampung.
Setahu saya itulah kali terakhir Mas Her bertemu Cak Nun. Jika benar, saya bahagia bisa mengantarkan Mas Her berjumpa untuk terakhir kalinya dengan gurunya dari Patangpuluhan.
***
Pada fase karir selanjutnya, Mas Her lebih berfokus membangun budaya literasi Indonesia. Tanpa lelah melalui bermacam cara. Lewat menulis buku, mengajar di kuliah dan sekolah, seminar, pelatihan, kelas online, bahkan tak segan menerima para calon penulis yang ingin berkonsultasi langsung. Bukunya tentang menulis yang terkenal antara lain Mengikat Makna dan Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Pengaruh Mas Her dan buku-bukunya itu tidak kecil dalam perkembangan literasi generasi terkini Indonesia. Dan jika kita cermati tulisan-tulisan Mas Her, di dalamnya akan kita temukan bertaburan pengaruh Cak Nun.
Mas Her selalu mengakui ada 3 penulis yang dianggapnya sebagai guru: Emha Ainun Nadjib, Jalaluddin Rakhmat, dan Quraish Shihab. Rupanya, Cak Nun sangat berpengaruh pada diri Mas Her. Lewat interaksi langsung ataupun lewat tulisan, Mas Her belajar dari Cak Nun ilmu menulis. Dalam banyak buku atau tulisan Mas Her, nama Cak Nun disebut sebagai sumber inspirasi. Misalnya, dalam sebuah bukunya, Mas Her mengakui, “Cak Nunlah salah seorang penulis yang menjadikan diri saya mau dan mampu menulis secara ringan. Saya banyak belajar kepada pengalaman Cak Nun sebagai penulis. Interaksi diri saya dengan Cak Nun ketika di Patangpuluhan atau lewat surat-menyurat telah mentransformasi diri saya menjadi penulis.” (Mengikat Makna Sehari-Hari)
Kepada kami para juniornya, Mas Her mencontohkan gaya Cak Nun untuk menghasilkan judul maupun istilah yang menggelitik dan memancing rasa penasaran. Tentang hal ini, dalam sebuah bukunya, Mas Her menuturkan pengalamannya menyunting buku Cak Nun: “Setiap kali Cak Nun menyodorkan naskah mentahnya ke Penerbit Mizan, Cak Nun secara rapi menata bagian depannya. Dan bagian depan naskahnya itu tentu menyangkut identitas bukunya. Selalu saja Cak Nun memberikan judul yang “menggigit” dan pas dengan karakter dirinya yang dimunculkan di setiap buku yang diciptakannya.” (Buku Langkah Mudah Membuat Buku yang Menggugah)
Cerita-cerita kecil yang unik, hasil dari interaksi ini, pun bisa kita temukan. Misalnya: “Ketika saya dolan (bermain) di Patangpuluhan, Yogya (markas Cak Nun dulu), saya kadang mendapatkan kabar menarik seputar proses kreatif menulis Cak Nun. Misalnya, agar mudah mengalirkan emosinya, Cak Nun kadang menggunakan kertas warna-warni ketika mengetik tulisannya. Waktu itu belum ada laptop atau perangkat digital yang sudah sangat canggih.” (FB Hernowo Hasim)
***
Pertemuan terakhir saya dengan Mas Her terjadi beberapa tahun silam di kantor Mizan. Waktu itu Mas Her sudah pensiun dan datang ke Mizan sebagai penulis yang menyelesaikan penerbitan sebuah bukunya. Saya sendiri saat itu sudah dalam proses untuk tak lama kemudian “move on” dari tempat kerja kami itu. Pada titik ini, saya tersadar, ternyata pembicaraan terakhir kami itu pun mengenai Cak Nun.
Kebetulan tak lama sebelumnya, saya menghadirkan Cak Nun dalam sebuah acara di kantor Mizan. Mas Her mengungkapkan penyesalannya tak bisa datang karena terlanjur ada acara di luar kota hari itu. Selain itu, Mas Her juga menyatakan salut karena saya berhasil mengundang Cak Nun ke Mizan. Pada masa aktifnya, Mas Her berkali-kali berusaha mengundang Cak Nun ke Mizan, tapi entah kenapa selalu tidak berhasil.
Mas Her sampai akhir hayatnya tidak berhenti memperjuangkan pertumbuhan budaya literasi di Tanah Air. Dalam kondisi sakit kemarin, sebenarnya Mas Her tengah menulis sebuah buku baru, yang sayangnya tak pernah rampung. Lewat puluhan buku, berbagai tulisan, pelatihan, dan seminar, Mas Her membagikan ilmu kepada tak terhitung calon penulis yang punya impian melahirkan karya.
Dan kita boleh yakin, di dalam ilmu yang mengalir dari Mas Her, bersenyawa ilmu yang diserapnya dari Cak Nun. Dari Patangpuluhan ke Bandung lalu ke seluruh Indonesia, mengalir sungai amal jariyah yang tak akan kering, yang akhirnya bermuara ke Samudera Ilmu Sang Awal dan Akhir. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat melanjutkan perjalanan kembali ke Sang Maha Awal, Mas Hernowo.