Marhaban Ya Remember
Pun tentang tafsir kata marhaban. Jika kita buka KBBI, kata marhaban ternyata sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki dua makna, yaitu sebagai kata seru (afektif) untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang), atau lagu puji-pujian (yang dinyanyikan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad, dengan diiringi rebana).
Mengapa yang diadopsi bukan kata ahlan wa sahlan yang maknanya kurang lebih sama? Mungkin sekadar persoalan praktis dan simplifikatif, karena tampaknya dua karakter inilah yang menjadi ciri khas bahasa Indonesia. Meski secara etimologis, rahb atau rahbun yang berarti “lapang atau luas” memang lebih menggambarkan karakter Muslim di bumi Nusantara yang lebih terbuka (dibandingkan misalnya dengan orang Muslim di padang Arabia), daripada kata ahl (keluarga) dan sahl (mudah, atau juga berarti “dataran rendah”) yang mungkin terlalu bernuansa Arab. Bahkan, teman saya di SD dulu namanya Markaban.
Yang jelas, dalam ilmu linguistik sudah lama dikenal istilah “language shapes the way you think”, dan marhaban itu tidak sekadar ekspresi “selamat datang” yang diadopsi dari bahasa Arab berdasar persepsi dan alam pikiran orang Indonesia. Marhaban itu sesungguhnya adalah soal ahlak untuk menghormati, bukan hanya menghormati tamu, tetapi juga menghormati tuan rumah.
Saking marhaban-nya umat Muslim di Nusantara, khususnya bagi ibu-ibu di desa saya, dan di dusun-dusun di pulau Jawa, tidak hanya syair marhaban itu yang kemudian di-ijtihadi dengan nuansa estetis yang beraneka warna sesuai karakter budaya lokal setempat, saya juga berani bertaruh soal akhlak luhur mereka dalam hal menghormati tamu yang tidak saya temukan di keluarga-keluarga Belanda atau belahan bumi yang lain.
Bahkan, untuk sekadar memastikan bahwa tamu dari manapun dan siapapun tidak kapiran, jika harus sampai berhutang ke tetangga sekalipun akan mereka lakukan. Maka tidak mengherankan jika suatu saat kita bertamu ke desa-desa, kita akan disuguhi air putih manis karena mereka tidak tega jika hanya menyuguhi air putih tawar. Tamu harus selalu mendapatkan minuman atau makanan yang lebih baik dari yang mereka minum atau makan sehari-hari. Untuk menghormati tuan rumah, satu-satunya cara adalah menghabiskan segelas air putih manis itu, entah berapapun banyaknya gula yang dituangkan ke dalamnya.
Dan dalam perjalanannya, adegan-adegan menarik seperti itulah yang sering ditemukan oleh Kiaikanjeng, kemudian di-sharing ke jamaah, dan menjadi bahan diskusi atau renungan bersama. Sebagaimana bisa kita lihat di videoclip Marhaban tadi, dan sebagai tamu yang diundang khusus oleh komunitas gereja Protestan di Belanda untuk menghibur warga yang hati dan pikirannya saat itu sedang galau dan terprovokasi oleh film propaganda yang mendiskreditkan Nabi Muhammad, seharusnya merekalah yang disambut, di-marhabani oleh tuan rumah. Tetapi, justru merekalah yang menyuguhkan air putih manis itu dan mengajarkan ke orang Belanda soal tradisi maupun karakter Islam Indonesia yang marhaban itu.
Maiyah mengajarkan filosofi hidup kepada mereka untuk tidak pernah mau menjadi tamu, apalagi jenis tamu yang suka minta dilayani dan komplen sana-sini. Mereka akan menyuguhkan yang terbaik yang mereka punya ketika ada tamu datang, dan tetap men-tamu-kan tuan rumah dengan sebisa mungkin mengaransemen lagu marhaban yang dimiliki tuan rumah, yang sesuai dengan suasana kebatinan dan frekuensi tabula rasa si tuan rumah, ketika mereka diundang menjadi tamu.
Karena bagi Maiyah, tafsir marhaban itu lebih sederhana lagi. Mar- (dari bahasa Inggris kuno merran) yang artinya to hinder (menghalangi, mencegah), dan haban (dari kata hub) yang artinya sentral, pusat, atau pemusatan, sehingga marhaban adalah upaya untuk mencegah adanya pemusatan, sentralisasi, karena untuk memperluas cakrawakala harus ada upaya, metode, dan ijtihad serius untuk penyebaran, penjelajahan, dan pengembaraan.
Tafsir itu identik dengan kata remember yang sering Cak Nun lontarkan di acara-acara Maiyah, dari kata re- yang artinya kembali, balik, atau pulang, dan member yang bermakna anggota, sehingga ditafsirkan menjadi kembali menjadi anggota. Orang yang remember adalah orang yang selalu ingat untuk kembali ke nilai hakiki kemanusiaannya.
Dari tafsir dua istilah inilah saya kemudian menemukan alasan mengapa jamaah Maiyah tidak memiliki kantor pusat, apalagi kantor cabang dan ranting, dan kartu anggota, karena ia adalah kumpulan para gelandangan dan pengembara yang mencari dirinya sendiri. Dan boleh jadi karena mereka terilhami oleh ayat di kitab suci yang berpesan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Sedang Tuhan pun Cemburu ketika banyak orang menyangka bahwa Tuhan tidak maha Marhaban dan maha Remember.