Marhaban Ya Remember
Setelah kesekian kalinya mengunjungi kota Den Haag yang juga dikenal sebagai the Hague (Inggris), La Haye (Perancis), La Haya (Spanyol, jangan-jangan salah satu nama anak Cak Nun terinspirasi dari nama ini?) yang secara harfiah mengandung arti “pagar”, atau juga Hofstad (kota istana), baru kemarin saya akhirnya menemukan gedung Theater De Regentes di bilangan Weimarstraat sebelah Barat Laut pusat kota Den Haag.
Ini bukan gedung teater sembarangan karena Prince Willem Alexander dan Princess Maxima juga menonton Romeo and Juliet di tempat ini. Dan di gedung teater yang sudah berdiri sejak 1920 dan sebelumnya merupakan indoor swimming and bathing facility terluas di Eropa inilah Kiaikanjeng mengawali aksi panggung mereka dalam rangkaian tur Voices & Visions pada Oktober 2008, yang oleh Mas Ian L. Betts sebut sebagai the Golden Experience.
Yang menarik dari napak tilas Cak Nun dan Kiaikanjeng di Den Haag ini bagi saya bukan pada penampilan mereka di Gedung teater keren itu, tetapi pada dipilihnya lagu Marhaban yang kemudian mendapat maqom untuk di-videoclip-kan dan link-nya sudah di-upload di Youtube sejak 2012 lalu. Scene awal videoclip tersebut mengingatkan saya untuk segera pulang kampung setelah 9 bulan “Marhaban ya Amsterdam”.
Lirik lagu Marhaban ini singkat, hanya dua bait dengan nuansa dokumentasi acara awal Kiaikanjeng di Belanda yang penuh dengan kegembiraan namun sarat makna. Versi marhaban ini sangat berbeda dengan versi marhaban yang sudah populer dan banyak dinyanyikan orang, atau ala berjanjen (tradisi pembacaan dan senandung sholwat Mahalul Qiyam Al Barzanji ) yang sudah saya kenal sejak kecil sebagai kekayaan khazanah religius-kultural warga Nahdliyin di desa-desa di Wonosobo dan tanah Jawa pada umumnya.
Marhaban ahlan wa sahlan
Marhaban ya nuroz zaman
Marhaban ya nurol ‘aini
Marhaban jaddal husaini
Ya rosululloh salaamun ‘alaik
Ya rofi’asyani wad daroji
Athfatay ya jirotal ‘alamin
Ya uhailal judi wal karomi
Dua bait syair marhaban ini sebenarnya diinisiasi pertama kali oleh kaum Anshor di kota Madinah untuk menyambut tamu besar hijrahnya Rosulullah (pada bulan Juni tahun 622 Masehi) yang sekaligus menjadi awal ditetapkannya perhitungan tahun Hijriyah. Bagi umat Muslim di bumi Nusantara yang tidak diberi keberuntungan bertemu dan hidup di zaman Rasulullah, salah satu bentuk penyambutan, ungkapan terima kasih, dan ekspresi kerinduan itu ya dengan berjanjen itu tadi.
Dengan nguri-uri tradisi marhaban itu, minimal mereka bisa ngincipi atau setidaknya menghadirkan dan mengabadikan spirit marhaban kapanpun dan dimanapun. Meskipun anehnya, di Arab Saudi sana, bumi asal kata, ekspresi, dan tradisi marhaban itu, justeru sudah sejak lama di-bid’ah-kan dan diharamkan oleh pemerintah kerajaan.
Dan bagi jamaah Maiyah, sebagai sebuah entitas yang bukan ormas tetapi aktivitas utamanya mengorganisasikanurusan kemasyarakatan, bukan parpol namun tema diskusi rutinnya mengupayakan pendidikan politik, bukan pula orsos tetapi para aktivisnya meng-organisme diri hampir ke seluruh elemen dan ruang-ruang sosial yang ada, juga bukan jamaah tarekat (thoriqoh) namun sepak terjangnya mengaktualisasi melalui metode dan uslub tarqiyah, atau bahkan bukan sebuah social and religious movement meski laku utamanya adalah movement in both social and religious spectrums, Marhaban ini ternyata juga memiliki warna tafsirnya sendiri.
Mengapa tafsir? Ya karena hidup itu sendiri adalah tafsir, karena tak satu pun manusia di muka bumi ini yang bisa haqqul yaqin paham dan mengetahui seratus persen tentang benar-salahnya satu hal atau satu benda saja yang ia lihat. Contoh sederhana yang sering Cak Nun utarakan misalnya, apakah kira-kira ada orang di dunia ini yang bisa tahu persis berapa jumlah (mohon maaf) jembut-nya sendiri? Itu baru untuk satu hal yang nampak, kasat mata, bahkan menempel dan tumbuh di tubuh kita, bukan hal-hal yang abstrak, konseptual, dan transendental hanya ada di alam pikiran atau permenungan.