Manusia Segala Cuaca
Berapa pun jumlah mereka yang hadir dan memadati tanah-tanah lapang, ratusan hingga ribuan orang, Maiyah tidak pernah menyebut acara tersebut sebagai Pengajian Akbar, Tabligh Akbar, Pertemuan Kubro. Seperti kita alami bersama acara tersebut dikemas dan “cukup” dinamai Sinau Bareng.
Kebanyakan manusia tengah mengalami ketersesatan, distorsi, degradasi, bias konfirmasi bahkan kebangkrutan cara berpikir. Ghirah belajar dikikis oleh budaya mengajar. Mereka gagap saat mususi beras, ngliwet nasi, nyambel terasi. Sisa kemampuan mereka adalah memelihara budaya konsumtif, menikmati makanan yang telah terhidang di atas meja. Itu pun makan dengan cara didulang.
Apabila budaya tersebut diproyeksikan pada konteks yang lebih luas, masyarakat dicetak menjadi sekumpulan gelas kosong. Berbaris di bawah kran-kran pemasok informasi. Bersikap pasif, menunggu dan selalu menunggu dituangi air.
“Manusia gelas” lantas membangun sekolah, membuka ruang-ruang belajar. Mereka yang duduk di bangku kelas dinamakan murid.
Siapakah murid itu? Merujuk makna dasar, murid dibentuk dari kata arooda, yuriidu, irodatan, muridun. Murid adalah pihak yang menghendaki ilmu. Ghirah belajar dihidupi oleh semangat mencari dan menemukan.
Pada satu sisi mereka yang belajar disebut murid, akan tetapi pada sisi yang lain mereka berada pada atmosfer sikap pasif. Kontradiktif memang. Arus pendangkalan makin tidak terbendung: sebutan murid berubah menjadi siswa, lalu mendangkal lagi menjadi peserta didik.
Belum lagi kalau kita mencermati bagaimana masyarakat memahami makna pendidikan dan sekolah. Wajib belajar disamakan dengan wajib sekolah. Anak yang tidak sekolah dianggap tidak berpendidikan. Sedangkan kita tahu, sekolah atau “lembaga pendidikan” didirikan karena potensi bisnisnya cukup menggiurkan.
Di tengah reruntuhan pilar pendidikan, ketika gairah mengajar mendominasi ghirah belajar, Maiyah menawarkan formula Sinau Bareng. Bukan sekolah, tapi gairah belajarnya tak pernah mati. Bukan pondok pesantren, tapi kandungan pemahaman tentang Islam ditadaburi secara utuh. Bukan perguruan tinggi, tapi mata pandang metodologi dijelajahi secara jangkep.
Peneliti dari Australian National University, Blane Lewis, menemukan bahwa ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap praktik layanan pendidikan tergolong rendah. Ekspektasi yang rendah itu bukan cuma ditandai oleh minimnya partisipasi dan lemahnya daya kritis masyarakat terhadap pendidikan.
Bahwa belajar adalah proses yang memanusiakan manusia sehingga mengendalikan diri (al-shum) merupakan “kompetensi” dasar yang seyogianya dimiliki setiap individu, justru digerus oleh mentalitas yang serba sprint, dihidupi budaya shortcut, dirangsang oleh nafsu yang ngegas terus.
Di tengah rendahnya ekspektasi tersebut Sinau Bareng melunasinya secara kontan melalui majelis ilmu yang memberdayakan; membangunkan masyarakat dari tidur panjang. Menata kembali keseimbangan baru setelah terombang-ambing badai turbulance. Kita jadi waspada terhadap cuaca di sekitar kita.
Kita kembali diingatkan tentang peran iklim, cuaca, atmosfer di mana kita melangsungkan hidup. Pembahasan jadi menarik manakala Mbah Nun membuka pintu tentang cuaca, Jawa dan manusia Jawa.
Manusia Jawa, Manusia Segala Cuaca
“Jawiyyun itu artinya bangsa Jawa,” ungkap Kyai Muzamil. Mengapa dinamakan Jawa? Apakah Jawa itu kata benda, kata sifat atau kata kerja, demikian pertanyaan Mbah Nun. Kata “Jawa” digunakan sering kali tidak sebagai kata benda atau penisbatan terhadap suku bangsa. Misalnya, “Karo adike mbok sing Jawa.” Atau “Orang Jawa telah kehilangan Jawa-nya.”
“Jawa itu kata sifat sekaligus kata benda,” kata Mbah Nun. “Jawa adalah sikap perbuatan yang gemar memberi, menampung, merangkul—bukan sifat perbuatan yang suka menolak (nafi’).”
Ada apa dengan Jawa? Mengapa dinamakan Jawa? Setelah dicermati Jawa berasal dari akar kata Jawwun (bahasa Arab), artinya cuaca. Kalau dihubungkan dengan bangsa Jawa, manusia Jawa adalah manusia segala cuaca, demikian ditegaskan oleh Mbah Nun. Manusia yang sanggup hidup, bertahan hidup, menjalani hidup pada segala situasi cuaca.
Cuaca bukan sekadar dipahami sebagai iklim atau musim. Manusia segala cuaca adalah manusia yang memiliki kelenturan, fleksibilitas dan sikap adaptif yang cukup tinggi saat menghadapi cuaca alam maupun cuaca batin.
Masih melekat diingat kita bagaimana daya tahan hidup manusia Jawa terwakili oleh mentalitas nekat. Bukan hanya itu. Manusia Jawa berkata dengan mantab, ”Hari ini dapat rezeki limaratus ribu: Al Hamdulillah.” Besok dapat tigaratus ribu: “Mugo-mugo cukup.” Dapat seratus ribu: “Dicukup-cukupkan!”. Bagaimana kalau “hanya” dapat limapuluh ribu? “Gusti Allah maha welas…!”
Ringkasnya, Allah telah menanamkan semacam radar pada manusia Jawa sehingga mereka sanggup menangkap segala model cuaca lalu menyusun kesadaran dan perilaku hidup berdasarkan kondisi tersebut. Tidak berlebihan kiranya, salah satu pilar peradaban dunia disangga oleh Jawa.
Terminologi Jawa, Jawiyyun, Jawwun mengantarkan kita pada skala pertanyaan yang lebih luas. Budaya umat Islam saat ini dipengaruhi oleh cuaca belajar atau cuaca mengajar? Telah disinggung sebelumnya, cuaca yang melingkupi umat Islam adalah cuaca mengajar. Sebutannya murid, namun kenyataannya murod, pihak yang dikehendaki. Berposisi pasif dan menunggu.
Demikianlah, hidup bergantung dan dipengaruhi oleh cuaca: pemerintah, pendidikan, politik, sekolah, keluarga, pengurus takmir masjid dijalankan sesuai cuaca yang melingkupinya. Bagaimana memproyeksikan kesadaran tentang cuaca ini ke dalam hidup sehari-hari?
Maiyah: Atmosfer Menang Tanpa Ngasorake
Sesungguhnya pada setiap kumpulan, komunitas, jamaah, paguyuban atau apapun sebutannya, di sana pasti terdapat tonggak. Ilmu pathok ini pernah diuraikan di depan jamaah Padhangmbulan beberapa bulan lalu. Mengapa pathok?
Atmosfer yang melingkupi wilayah tertentu dipancarkan oleh seseorang yang berperan sebagai pathok atau tonggak. “Hatinya memancarkan energi, cahaya, quwwah, ilmu yang menjadi pusat bagi cuaca di sekitarnya,” ungkap Mbah Nun.
Seseorang yang berperan sebagai pathok tidak selalu berbicara dengan mulut, tidak harus mendengar dengan telinga, tidak musti melihat dengan mata. Demikian pula manusia di sekitarnya dapat melakukan hal yang sama. Setiap partikel dan unsur dalam kesadaran diri manusia dapat sekaligus mendengar, melihat, berbicara, berpikir, merasakan.
Sederhananya, kata-kata tidak selalu harus diucapkan. Perasaan tidak musti harus diungkapkan. Atmosfer yang dipancarkan oleh “tonggak cuaca” akan menghasilkan conditioning bagi proses transfer rasa, pesan, nilai atau ilmu bahkan tanpa melalui nalar sebagaimana atmosfer materialisme memahaminya.
Manusia Jawa telah mengembangkan atmosfer nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa pasukan). Menang tanpa ngasorake (menang tanpa menghinakan). Filosofi yang jangankan dipahami apalagi diterapkan, misalnya untuk memimpin negara—dilirik saja tidak. Padahal peninggalan nenek moyang itu merupakan kunci untuk menegakkan kembali peradaban yang memangku semua bangsa di dunia.
Ingin menyaksikan bagaimana aplikasi menang tanpa ngasorake? Datanglah ke Maiyah. Lihatlah kesetaraan yang terjalin antarjamaah. Tidak ada yang ditinggikan sehingga tidak perlu merendahkan yang lain. Tidak ada pihak yang dirinya merasa wajib untuk ditaati. Tanpa kekuasaan yang top down, tanpa tali-tali otoritas yang dijeratkan untuk mengendalikan loyalitas, tanpa formalisme aturan tertulis layaknya organisasi— tanpa semua itu jamaah merasa aman; saling menyelamatkan satu sama lain.
Siapa yang jadi pemenang atas situasi yang aman dan mengamankan, selamat dan menyelamatkan itu? Semua jadi pemenang karena semua terlibat dalam atmosfer Sinau Bareng. “Kemenangan dalam Maiyah diraih tanpa mengalahkan pihak lain,” tegas Mbah Nun.
Atmosfer tersebut, sayangnya, tidak dijadikan conditioning saat menyelenggarakan pendidikan, menjalankan pemerintahan, membangun partai politik. Atmosfer yang dipancarkan bukan atmosfer menang tanpa ngasorake atau nglurug tanpa bala. Atmosfer dominan yang menyelusup hingga ke partikel terkecil dari pori-pori kesadaran kebanyakan orang adalah atmosfer predatorisme politik.
Bagaimana dengan atmosfer di Maiyah? Mengapa kita bertahan selama delapan jam, duduk tenang, saling memberikan tempat kepada jamaah yang lain hingga menjelang shubuh? Apakah semua itu karena efek “Mbah Nun mania”? Idolatri buta? Loyalitas individual tanpa batas? Ataukah terdapat atmosfer yang mengatasi semua itu? Bagaimana kita melakukan identifikasi terhadap atmosfer Maiyah?
Mari kita pelajari bersama-sama. Mari Sinau Bareng.[]